Varian Baru Virus Corona COVID-19 Asal Indonesia Diduga Telah Tercipta

Diduga saat ini sudah ada varian Virus Corona asal Indonesia yang tidak ditemukan di dunia

Oleh DW.com diperbarui 14 Jul 2021, 19:58 WIB
Tenaga medis merawat pasien Covid-19 di tenda yang didirikan di luar rumah sakit di Bogor pada 29 Juni 2021, saat infeksi melonjak di Indonesia. Provinsi yang cukup banyak mengalami kematian di luar RS adalah Jawa Barat sejumlah 97 kematian dari 11 kota/kabupaten. (AFP/ Aditya Aji)

, Jakarta - Rekor kasus harian positif COVID-19 terus tercatat di Indonesia. Pada Selasa 13 Juli, kenaikan jumlah harian kasus Virus Corona mencapai 47,899.

Bahkan, pada Minggu 11 Juli, tingkat kematian harian akibat COVID-19 di Indonesia mencatatkan rekor tertinggi di dunia dengan 1.007 kasus, melebihi Rusia (749 kasus), India (720 kasus) dan Brasil (597 kasus).

Sejauh ini, empat varian virus corona dunia yang masuk dalam kategori mengkhawatirkan atau Variant of Concern telah terdeteksi di Indonesia dan kini varian Delta telah mendominasi kasus positif COVID-19. Varian Delta pertama terdeteksi dari sampel yang diambil pada Januari 2021 di Jakarta dan Palembang. Sifatnya yang mudah menular membuatnya cepat menyebar ke 16 provinsi.

Penyebaran varian Delta ini membuat sistem kesehatan di Indonesia kewalahan. Namun para pakar mengatakan masyarakat perlu terus waspada, karena varian Delta mungkin dapat terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pakar penyakit menular atau epidemiolog dan dosen di Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan, virus akan mengalami kecacatan atau mutasi kecil setiap kali dia berpindah inang. Hasilnya, virus tersebut bisa melemah atau justru menguat. Namun Dicky menilai, peluang Virus Corona untuk berubah menjadi ganas akan meningkat jika terus menyebar.

"Ketika penyebaran COVID-19 semakin tidak terkendali maka potensi mutasi akhirnya akan melahirkan varian baru yang merugikan masyarakat. Pada negara-negara yang menghasilkan varian mutasi baru ini, umumnya positivity rate-nya jauh di atas 10 persen. Artinya sangat tidak terkendali," kata Dicky kepada DW Indonesia.

"Menurut saya, di Indonesia sudah ada varian asli Indonesia yang tidak ditemukan di dunia. Kita perlu surveillance genome (pemantauan genom virus) yang memadai," lanjutnya.

 


Varian Super

Tenaga kesehatan beristirahat setelah tes swab massal di Puskesmas Ciganjur, Jakarta, Kamis (7/1/2020). Lonjakan kasus virus corona berpotensi terjadinya krisis tenaga kesehatan (nakes) karena banyak yang tertular dan gugur saat menangani pasien Covid-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

Hingga saat ini, ada empat varian virus corona yang masuk kategori paling dikhawatirkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni varian Alpha, Beta, Gamma, dan Delta. Semua varian ini pertama kali terdeteksi di negara-negara di mana pengendalian penyebaran COVID-19 dianggap lemah yakni Inggris, Afrika Selatan, Brazil, dan India. 

Ada tiga indikator yang dapat membuat varian baru tersebut masuk menjadi kategori varian yang mengkhawatirkan. Pertama, seberapa cepat dia menular.

Kedua, apakah virusnya menyebabkan gejala parah bahkan mengakibatkan kematian. Ketiga, apakah dia menurunkan efikasi antibodi yang tercipta di badan setelah divaksin, ujar Dicky Budiman.

Dicky menjelaskan, "Jika sebuah varian (virus corona) mempengaruhi ketiga indikator tersebut namanya Varian Super. Varian Delta yang pertama kali dideteksi di India mendekati varian itu. Mendekati saja bisa sudah seperti ini (dampaknya terhadap dunia). Varian di Indonesia memang belum masuk kategori Varian Super, tetapi itu saja sudah membuktikan (penyebaran) di wilayah kita tidak terkendali, otomatis bisa tercipta varian baru yang berbahaya dan mendekati super. Ini perkara waktu saja."


Genome Sequencing

Petugas bersiap memakamkan jenazah dengan protokol Covid-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta, Rabu (23/6/2021). Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, hingga Rabu (23/6) 900 jenazah dimakamkam dengan protokol Covid-19 di TPU Rorotan. (Lipiutan6.com/Helmi Fithriansyah)

Genome sequencing merupakan upaya untuk mengetahui penyebaran mutasi virus SARS-CoV-2 atau COVID-19. Pengujian genom sangat berperan dalam pemetaan varian baru.

Menurut Pandu Riono, ahli penyakit menular Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia, "Aturan (perihal testing) di Indonesia cukup memadai tapi implementasinya belum optimal. Testing jumlahnya masih terbatas. Tracing masih lemah. Karantina masih lemah. Jadi antara aturan dan implementasi ada gap (celah) selalu."

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui bahwa pada akhir 2020, hanya 30.000-40.000 sampel COVID-19 yang diuji per hari. Kini 200.000 sampel diuji per hari dan jumlahnya ini akan dinaikkan menjadi 400.000 sampel per hari.

Akhir 2020, hanya 420 sampel melalui genome sequencing setiap hari. Telah ada 12 laboratorium di bawah naungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Riset dan Teknologi yang melakukan lebih dari 3.000 genome sequencing dalam 6 bulan terakhir. 

"Kita menyadari bahwa genome sequencing sangat mahal dan sulit untuk dilakukan. Pekan lalu kita berdiskusi dengan pakar penyakit menular Indonesia dan menemukan mekanisme 'genome sequencing' yang memudahkan (peneliti) untuk mengidentifikasi apakah mutasi varian Delta sudah menyebar di suatu wilayah dengan melihat tingkat CT (Cycle Threshold)," ujar Budi.

Isolasi dan karantina bisa hambat terciptanya varian baruVirus corona mudah bermutasi, namun cara yang terpenting untuk mencegah terciptanya varian baru yang berpotensi lebih ganas adalah menghambat penyebarannya di masyarakat dengan membatasi pergerakan dan memenuhi semua protokol kesehatan, ujar Dicky.

Selain itu, Dicky Budiman menganjurkan agar isolasi mandiri tidak hanya dilakukan oleh warga yang datang dari luar negeri atau tertular COVID-19. Masyarakat yang melakukan perjalanan antarkota atau propinsi perlu melakukan isolasi mandiri untuk memastikan bahwa mereka tidak tertular dalam perjalanan atau menjadi OTG (penderita COVID-19 tanpa gejala), sehingga dapat memutus mata rantai penularan.

"Dalam wabah seperti ini, karantina perlu dilakukan oleh orang yang pulang dari Bali ke Jakarta misalnya. Kalau dia belum divaksin perlu isoman (isolasi mandiri) selama 10-14 hari sedangkan bagi yang sudah divaksin cukup karantina di rumah selama 7 hari sebelum masuk kantor lagi. Jangan kurang dari itu," ujarnya.


Perbedaan Gejala Covid-19 Varian Alpha, Beta dan Delta

Infografis Yuk Ketahui Perbedaan Gejala Covid-19 Varian Alpha, Beta dan Delta. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya