Misteri Ledakan Gunung Samalas di Lombok yang Picu Krisis Eropa

Gunung Samalas menjadi salah satu gunung berapi di Indonesia yang letusannya berdampak signifikan ke benua lain, setelah Gunung Tambora, Gunung Krakatau, dan Gunung Agung.

Oleh The Conversation diperbarui 15 Jul 2021, 09:37 WIB
Ilustrasi gunung meletus. (Photo by Marc Szeglat on Unsplash)

Lombok - Gunung Krakatau dan Gunung Tambora telah dikenal oleh dunia internasional, sebab dampak ledakannya bisa berdampak hingga Benua Eropa. Ada pula Gunung Samalas di Lombok yang menyebabkan “tahun yang gelap” di Eropa. 

Para ilmuwan menduga bahwa periode gelap tersebut ada kaitannya dengan letusan gunung api yang menghasilkan aerosol sulfat, yang dapat menyebabkan perubahan iklim, kerusakan ozon, dan mengganggu keseimbangan radiasi atmosfer, tulis Mukhamad Ngainul Malawani dosen environmental geography Universitas Gadjah Mada di The Conversation, dilansir Rabu (14/7/2021).

Tidak ada yang tahu sumber letusan dari mana hingga pada 2013, ahli gunung berapi dari Prancis Franck Lavigne dan tim akhirnya mengungkap bahwa letusan berasal dari Gunung Samalas yang ada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Mereka tahu itu setelah mencocokkan sisa kandungan geokimia material vulkanis yang ditemukan dengan kandungan yang ada di Lombok.

Ini artinya Gunung Samalas menambah daftar gunung berapi di Indonesia yang letusannya berdampak signifikan ke benua lain, setelah Gunung Tambora, Gunung Krakatau, dan Gunung Agung. 

Sejak Lavigne menemukan bahwa Samalas meletus pada 1257, maka Samalas dianggap menjadi penyebab timbulnya krisis global yang terjadi ketika itu, khususnya di Eropa Barat.

Dampak global letusan Samalas 1257 mulai terasa pada 1258 hingga 1259  di Eropa Barat

Krisis yang terjadi antara lain berupa gagal panen, kelaparan, hujan hampir sepanjang tahun, dan gangguan cuaca lainnya.

Dalam temuannya, peneliti pohon dari Swiss Sébastien Guillet menambahkan bahwa sebelumnya Inggris telah mengalami banyak gagal panen, namun adanya gangguan iklim akibat letusan Samalas memperburuk kondisi gagal panen dan kelaparan sehingga menelan korban jiwa.

Ahli sejarah abad pertengahan dari Inggris  Bruce M.S. Campbell menambahkan bahwa kemungkinan krisis gagal panen di Inggris tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya ketegangan politik.

 


Black Death dan Butterfly Effect

ilustrasi lombok (Sumber: Pexels)

Lebih lanjut, Ngainul Malawani menjelaskan Temuan terbaru mengemukakan bahwa penuruan suhu permukaan bumi akibat selubung sulfat di stratosfer dari letusan Samalas memiliki hubungan dengan munculnya pandemi global pada era tersebut yang dikenal dengan Black Death (Maut Hitam) yang merenggut puluhan juta nyawa pada Abad Pertengahan.

Perubahan iklim yang ditandai dengan adanya penurunan suhu global selama 3-4 tahun setelah letusan Samalas diduga menjadi salah satu pemicu merebaknya bakteri penyebab terjadinya Maut Hitam tersebut. 

Dari berbagai fakta sejarah yang terungkap tersebut, dapat disimpulkan bahwa letusan Samalas mampu menimbulkan efek kupu-kupu (butterfly effect), pada Abad Pertengahan maupun dunia. Teori butterfly effect mempercayai bahwa sebuah fenomena yang kecil di suatu tempat mampu membawa dampak yang signifikan di belahan dunia yang lain.

Efek kupu-kupu tersebut menyangkut kondisi sosial, politik, kesehatan, iklim, dan bentang alam.

Dalam kasus Samalas, kita bisa melihat bagaimana letusan yang terjadi mengakibatkan bencana hingga ke benua Eropa. Tidak hanya Eropa, belahan bumi lain juga mungkin mengalami hal serupa. Namun belum ada penelitian yang membuktikannya.


Penelitian Ilmuwan Cambridge

Pemandangan Clare College, Universitas Cambridge. Dok: Wikicommons

Pada 2013, ilmuwan dari Universitas Cambridge juga telah mendeteksi kekuatan dahsyat Gunung Samalas di masa lalu.

Dalam jurnal sains, PNAS, tim internasional menunjuk pada Gunung Samalas di Pulau Lombok, Indonesia -- yang ini dikenal sebagai Gunung Rinjani. Hanya sedikit struktur gunung api yang tersisa -- kini tampilannya hanya berupa danau kawah Segara Anak.

Tim ilmuwan mengaitkan jejak sulfur dan debu di es di kutub dengan data yang ditemukan di wilayah Lombok, termasuk unsur radiokarbon, tipe dan penyebaran batu dan abu, cincin pepohonan, dan bahkan sejarah lokal yang menyebut tentang runtuhnya Kerajaan Lombok di suatu masa Abad ke-13.

"Buktinya sangat kuat dan menarik," kata Profesor Clive Oppenheimer dari Cambridge University, Inggris, seperti dimuat BBC, 30 September 2013.

Koleganya sesama ilmuwan, Profesor Franck Lavigne dari Pantheon-Sorbonne University, Prancis menambahkan, "Kami melakukan sesuatu yang mirip investigasi kriminal."

"Awalnya kami tak tahu siapa tersangkanya, hanya berbekal hari 'pembunuhan' dan jejaknya dalam bentuk geokimia di inti es. Itu memungkinkan kami melacak gunung yang bertanggung jawab."

Ledakan 1257 tersebut sebelumnya dikira terkait sejumlah gunung di Meksiko, Ekuador, dan Selandia Baru. Namun, berdasarkan penelitian, sejumlah kandidat tersebut gagal memenuhi prasyarat karbon dating dan geokimia. Hanya Samalas yang cocok.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya