Liputan6.com, Jakarta - Regulator Uni Eropa menolak mengakui vaksin COVID-19 buatan India, Cina, dan Rusia, meski telah disetujui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hal ini menyebabkan tuduhan diskriminasi dan meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap vaksinasi, lapor SCMP, Rabu, 14 Juli 2021.
Meski vaksin AstraZeneca yang diproduksi di Eropa telah disahkan badan pengawas obat di benua itu, vaksin yang sama produksi India belum diberi "lampu hijau." Pihaknya mengatakan, AstraZeneca belum menyelesaikan dokumen yang diperlukan di pabrik India, termasuk perincian tentang praktik produksi dan standar kontrol kualitas.
Baca Juga
Advertisement
Tapi, beberapa ahli menyebut langkah Uni Eropa sebagai tindakan tidak ilmiah, mengingat WHO telah memeriksa dan menyetujui pabrik tersebut. Pejabat kesehatan mengatakan, situasinya tidak hanya akan memperumit perjalanan, namun juga menggagalkan pemulihan ekonomi.
Ketika tingkat vaksinasi meningkat di seluruh Eropa dan negara-negara lain, pihak berwenang bermaksud memanfaatkan liburan musim panas dengan melonggarkan aturan perbatasan. Awal bulan ini, Uni Eropa memperkenalkan sertifikat COVID-19 digitalnya.
Itu memungkinkan warga negara anggota Uni Eropa bergerak bebas di 27 negara selama mereka telah divaksinasi dengan salah satu dari empat suntikan yang disahkan Badan Obat-obatan Eropa. Selain itu, pelancong juga wajib menyertakan hasil tes negatif COVID-19, atau memiliki bukti bahwa mereka baru saja pulih dari virus.
Sementara Amerika Serikat, Inggris, dan sebagian besar negara Asia tetap tertutup bagi pengunjung luar, sertifikat Uni Eropa dipandang sebagai model potensial untuk perjalanan internasional di era COVID-19. Praktiknya juga dianggap sebagai cara kembali menggerakkan ekonomi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Risiko Kehilangan Kepercayaan
Vaksin resmi yang didukung Uni Eropa mencakup vaksin produksi Pfizer, Moderna, dan Johnson & Johnson. Mereka tidak menyertakan suntikan AstraZeneca yang dibuat di India atau banyak vaksin lain, termasuk yang diproduksi di China dan Rusia.
Masing-masing negara Uni Eropa sebenarnya bebas menerapkan aturan mereka sendiri untuk pelancong dari dalam dan luar blok. Namun, aturan yang sangat bervariasi menciptakan kebingungan lebih lanjut bagi wisatawan.
Beberapa negara Uni Eropa, termasuk Belgia, Jerman, dan Swiss, mengizinkan wisatawan yang sudah divaksin COVID-19 dengan vaksin yang tidak disetujui Uni Eropa masuk wilayah mereka. Sementara, negara lain, termasuk Prancis dan Italia, tidak mengambil kebijakan serupa.
Ivo Vlaev, profesor di University of Warwick Inggris, mengungkap, klasifikasi sertifikat vaksin COVID-19 ini dapat memicu ketidakpercayaan publik akan suntikan vaksin, terutama di negara-negara berkembang. "Orang yang sudah curiga terhadap vaksin akan jadi lebih curiga," kata Vlaev.
"Mereka juga bisa kehilangan kepercayaan pada pesan kesehatan masyarakat dari pemerintah dan kurang bersedia mematuhi aturan (penanganan) COVID-19," lanjutnya.
Advertisement
Mempersulit Kembalinya Perjalanan Internasional
Dr Mesfin Teklu Tessema, direktur kesehatan Komite Penyelamatan Internasional, mengatakan bahwa tindakan negara-negara yang menolak mengakui vaksin yang sudah disetujui WHO bertentangan dengan bukti ilmiah. "Vaksin yang sudah memenuhi ambang batas WHO harus diterima. Kalau tidak, sepertinya ada unsur rasisme di sini," katanya.
Di sisi lain, WHO mendesak negara-negara untuk mengakui semua vaksin yang telah disahkan, termasuk dua vaksin buatan China, Sinopharm dan Sinovac. Negara-negara yang menolak untuk melakukannya disebut "merusak kepercayaan pada vaksin yang telah terbukti aman dan efektif," kata badan kesehatan PBB.
Stefan De Keersmaeker, juru bicara badan eksekutif Uni Eropa, mengatakan bahwa regulator berkewajiban memeriksa proses produksi di pabrik India. "Kami tidak mencoba menciptakan keraguan tentang vaksin ini," katanya.
Penolakan beberapa otoritas nasional untuk mengakui vaksin yang diproduksi di luar Uni Eropa juga membuat frustrasi sejumlah warga Eropa yang divaksin di tempat lain, termasuk Amerika Serikat. Pakar kesehatan masyarakat memperingatkan bahwa negara-negara yang menolak mengakui vaksin yang didukung WHO mempersulit upaya global memulai kembali perjalanan dengan aman.
"Anda tidak bisa begitu saja memisahkan negara dari seluruh dunia tanpa batas waktu," kata Dr Raghib Ali dari University of Cambridge.
"Mengecualikan beberapa orang dari negara tertentu karena vaksin yang mereka terima sepenuhnya tidak konsisten karena kita tahu bahwa vaksin yang disetujui ini sangat protektif," tandasnya.
Infografis Sertifikat Vaksin Covid-19 Jadi Syarat Bepergian?
Advertisement