BI Izinkan Investor Asing Genggam Saham Perusahaan Pembayaran hingga 85 Persen

BI memastikan bahwa perusahaan penyedia jasa pembayaran (PJP) asing bisa beroperasi di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Jul 2021, 22:01 WIB
Ilustrasi Bank Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memastikan bahwa perusahaan penyedia jasa pembayaran (PJP) asing bisa beroperasi di Indonesia. Tetapi perusahaan tersebut harus memiliki atau mendapat izin dari BI terlebih dahulu.

Penyedia jasa pembayaran tersebut tidak hanya harus punya izin dari BI tetapi juga harus membawa izin dari negara asalnya untuk menjalankan usaha di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran (SP).

"Artinya, (PJP) dari luar negeri harus punya izin dan dia juga harus punya izin di tempat asalnya sebagai PIP ataupun PJP. Jadi, tidak bisa kalau dia tidak punya keahlian terus ke sini tanpa keahlian mau berbisnis itu," jelas Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta, dalam konferensi pers virtual, Rabu (14/7/2021).

PBI No 22 Tahun 2020 juga memperbolehkan investor asing memiliki saham perusahaan pembayaran hingga 85 persen. langkah yang cukup progresif ini untuk mengembangkan inovasi digital di Indonesia.

"Bahwa bicara digitalisasi itu perlu inovasi, dan inovasi perlu pendanaan untuk bisa besar. Sementara kita lihat pendanaan dalam negeri juga terbatas, jadi boleh (kepemilikan asing) sampai 85 persen," tekannya.

Meski begitu, BI tetap membatasi asing untuk pengendaliannya. Di mana porsi asing tidak boleh jadi mengendali.

Reporter: Sulaeman

Sumber: merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Bank Indonesia Sederhanakan 135 Aturan Sistem Pembayaran jadi 1 Regulasi

Karyawan menghitung uang kertas rupiah yang rusak di tempat penukaran uang rusak di Gedung Bank Indonessia, Jakarta (4/4). Selain itu BI juga meminta masyarakat agar menukarkan uang yang sudah tidak layar edar. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menerbitkan regulasi baru yang mereformasi 135 ketentuan terkait sistem pembayaran menjadi satu yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/23/PBI/2020 mengenai sistem pembayaran. Penyederhanaan regulasi tersebut untuk menyikapi pesatnya perkembangan ekonomi keuangan digital di Tanah Air.

"Kami jadikan satu untuk mengakomodir ekonomi keuangan digital, melakukan penguatan dan penyederhanaan ketentuan dan juga menata struktur industri," ujar Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta, Jakarta, Jumat (8/1/2021). 

Filianingsih mengatakan, PBI tersebut terbit pada 30 Desember 2020 dan mulai berlaku secara efektif pada 1 Juli 2021. Nantinya bank sentral juga akan membuat sekitar 10 aturan turunan menyusul sebelum peraturan reformasi itu berlaku.

PBI baru tersebut akan memperkuat aturan mengenai akses ke penyelenggaraan sistem pembayaran (access policy), penyelenggaraan sistem pembayaran hingga pengakhiran penyelenggaraan sistem pembayaran (exit policy), fungsi BI di bidang sistem pembayaran, pengelolaan data secara terintegrasi, dan perluasan ruang uji coba inovasi teknologi.

Pengaturan dalam PBI Sistem Pembayaran didasarkan pada pendekatan berbasis aktivitas dan risiko sehingga tidak bersifat diberlakukan sama untuk semua (one size fits all), khususnya dalam access policy dan penyelenggaraan sistem pembayaran serta pengawasan oleh BI.

Selain itu, pengaturan dalam PBI Sistem Pembayaran juga mengedepankan principle-based regulation dan mendorong optimalisasi penguatan fungsi Self Regulatory Organization (SRO).

Penerbitan ketentuan ini merupakan wujud implementasi dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 yang salah satu inisiasinya adalah mengintegrasikan pengaturan, perizinan, pengawasan, dan pelaporan yang diawali dengan reformasi pengaturan sistem pembayaran.

"Tujuan penerbitan ketentuan ini adalah untuk menjaga keseimbangan antara upaya optimalisasi peluang inovasi digital dengan upaya memelihara stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran guna menciptakan sistem pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal, dengan tetap memerhatikan perluasan akses dan perlindungan konsumen," kata filianingsih.

Secara umum, reformasi pengaturan diarahkan untuk menata kembali struktur industri sistem pembayaran, serta memayungi ekosistem penyelenggaraan sistem pembayaran secara menyeluruh yang sejalan dengan perkembangan ekonomi dan keuangan digital.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya