Faisal Basri: Pemerintah Perlu Sungguh-Sungguh Sikapi Keadaan Darurat Covid-19

Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri meminta pemerintah untuk memberikan kejelasan dalam membuat kebijakan mengenai penanganan Covid-19.

oleh Arief Rahman H diperbarui 16 Jul 2021, 18:15 WIB
Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (21/12/2014). (Liputan6.com/herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri meminta pemerintah lebih serius dalam menghadapi kondisi darurat Covid-19. Ia menilai, dalam kondisi saat ini, perlu totalitas dari segala lini termasuk dalam pembuatan kebijakan yang tidak membingungkan.

Adanya PPKM Darurat saat ini yang membatasi berbagai sektor termasuk UMKM dan pekerja harian di banyak wilayah perlu ada peran pemerintah yang lebih totalitas. Ia menilai, tidak bisa menggunakan cara biasa ketika menghadapi kondisi darurat.

Misalnya, pembayaran dana dari pemerintah terhadap rumah sakit yang menangai pasien Covid-19 yang tersendat karena menggunakan mekanisme sebelum terjadi pandemi.

“[Misalnya] Harus lewat audit dulu, banyak step dulu, atau nakes yang belum dibayar insentifnya berbulan-bulan karena lewat berbagai pihak. Ini harusnya bisa lebih serius, harus lebih cepat,” katanya dalam diskusi yang digelar oleh INDEF secara virtual, Jumat (16/7/2021).

Dengan asumsi menghadapi keadaan darurat 'perang' dalam menghadapi pandemi Covid-19, otoritas sepenuhnya dipegang di tangan komandan perang. Ia menilai telalu banyak langkah yang dilakukan pemerintah, jadi kebijakan yang dikeluarkan tidak jelas.

“Misal komando diambil alih Menkes, Menkes minta uang untuk vaksin, Menkeu kasih uang langsung. Tidak bisa mengatasi keadaan darurat dengan birokrasi seperti keadaan normal,” tegasnya.

Sebagai rekomendasi, ia menyarankan presiden untuk membentuk ‘organisasi darurat’, dengan peraturan yang jelas dan tegas yang sesuai dengan kapasitas penentu kebijakannya di tengah pandemi Covid-19 ini.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Antisipasi Pekerja Informal

Pekerja melakukan pembangunan proyek LRT Kuningan di Jakarta, Sabtu (1/12). Badan Pusat Statistik mencatat sebanyak 70,49 juta orang (56,84 persen) bekerja pada kegiatan informal selama setahun terakhir. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pada kesempatan yang sama, Peneliti INDEF, Media Wahyudi Askar mengatakan pemerintah perlu melihat sektor pekerja informal. Ia menyoroti data yang dimiliki Badan Pusat Statistik tentang standar pengangguran.

Menurutnya, perpindahan pekerja formal ke sektor informal perlu lebih diperhatikan, dan dihitung sebagai pengangguran. Pasalnya, orang-orang yang melakukan perpindahan ini sebagai pihak yang paling terdampak.

“Paling terdampak itu menengah kebawah, jumlah pengangguran ini jauh lebih membengkak dari data yang ada, informalisasi pekerjaan ini ayng perlu diantisipasi,” tuturnya.

Media menambahkan jika ditinjau dari sektor mana yang terdampak secara langsung, jawabannya adalah UMKM dan sektor kecil yang berhadapan langsung dengan konsumen. Terkait risiko, dia menilai bahwa pekerja dan orang yang tinggal di kota yang memiliki risiko tinggi, karena ada penurunan pendapatan bahkan tidak bekerja.

Lebih lanjut ia menyoroti tentang wacana penambahan masa PPKM Darurat yang menurutnya tidak sesederhana yang dibayangkan pemerintah. Ia menyarankan kalau evaluasi pergerakan masyarakat selama PPKM Darurat di breakdown lebih lanjut akan mendapatkan data yang lebih konkret.

PPKM Darurat berdampak pada ekonomi, kendati pada tiap provinsi dan sektor memiliki dampak dan tren yang berbeda. Namun, ia mengatakan itu semua saling berkaitan.

Dari lima sektor yakni retail dan rekreasi, toko dan farmasi, taman, stasiun transportasi, tempat kerja, serta pemukiman ada perolehan yang berbeda di beberapa provinsi. Dalam data yang dibagikan mencakup tujuh provinsi, yakni Bali, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Jawa Barat.

“Penurunan aktivitas ekonomi terjadi di semua sektor. Namun demikian skalanya berbeda setiap provinsi, misalnya retail di Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak menrun signifikan dibandingkan provinsi lainnya. Di Jawa Tengah tempat kerja hanya menurun 0,57 persen selama PPKM Darurat,” tuturnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya