Liputan6.com, Jakarta - "Karena sejuk dan cantik," seorang murid pria asal China meminta pada orangtuanya untuk diperbolehkan memakai rok ke sekolah. Tidak terkejut dengan permintaan itu, mereka pun pergi ke mal untuk membeli rok.
Namun, ketika ayahnya menulis tentang pengalaman itu di media sosial, cerita tersebut memicu diskusi tentang pendidikan netral gender di China, lapor SCMP, Sabtu, 17 Juli 2021. "Saya dan istri saya sepenuhnya siap untuk apa yang kita hadapi hari ini, dan mengagumi keberanian putra kami karena ia tahu anak perempuan memakai rok," tulis pria yang diketahui bernama Haixing ini.
Ketika pulang sekolah, ayah 31 tahun itu melanjutkan, anaknya menangis. Ia mengatakan, beberapa teman sekelas mengejeknya, tapi ia tidak keberatan. Ia sedih karena anak laki-laki lain mengangkat roknya.
Baca Juga
Advertisement
Kemudian, seorang guru secara terbuka mengkritiknya selama kelas. Ia dijelaskan mengatakan, "Seorang anak laki-laki harus (berpakaian) seperti anak laki-laki, mereka tidak memakai rok."
Beberapa murid perempuan di kelasnya berdiri, mengatakan bahwa anak laki-laki memiliki kebebasan untuk memakai rok dan sebaliknya. Tapi, guru itu menjawab, "Itu di Amerika Serikat. Di China, tidak ada 'kebebasan' seperti itu."
Tidak berbeda jauh dari situasi kelas, masalah ini juga bermuara pada pro kontra saat diboyong ke ranah digital. Beberapa memuji orangtua atas keterbukaan pikiran dan kesediaan mereka mematahkan stereotip gender. Sementara, yang lain menyerang si ayah dan mengatakan, ia "terlalu benar secara politis."
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kontroversi Pendidikan Netral Gender
Cui Le, seorang mahasiswa PhD di Fakultas Pendidikan dan Pekerjaan Sosial Universitas Auckland, menjelaskan bahwa persepsi publik tentang unggahan tersebut mencerminkan betapa masih sangat kontroversialnya pendidikan gender di China.
"Berbeda dengan praktik pendidikan ayah yang menghormati keragaman ini, anak itu menghadapi segala macam tekanan di sekolah, termasuk kritik dari banyak guru, pertanyaan dari satpam, ejekan dan intimidasi dari teman sekelasnya," katanya. "Hambatan ini menunjukkan bahwa di sekolah di Tiongkok, norma gender tradisional masih dominan."
Ia menyambung, masih sulit bagi mereka yang tidak mengidentifikasi diri dengan arus utama untuk mengekspresikan diri, dan pihak berwenang masih kurang kesadaran gender. Juga, Cui mencatat, ini menimbulkan kekhawatiran tentang pengalaman siswa LGBT, terutama yang transgender, di sekolah.
Advertisement
Praktik Pendidikan Gender
Minggu lalu, lusinan akun WeChat LGBT ditutup, tindakan yang dipuji banyak orang. Mereka menulis, "Anda boleh jadi gay, tapi jangan memengaruhi anak muda kita" dan "Seharusnya tidak jadi hal yang membanggakan, jika saya cacat, apakah saya akan memamerkannya?"
Di Barat, ada lebih banyak konsensus dalam pendidikan gender untuk menerapkan pemikiran kritis pada norma gender biner, tentang meruntuhkan stereotip gender dan menghormati keragaman gender, kata Cui.
"Di Selandia Baru, misalnya, pendidikan seks dan gender menyatakan bahwa sekolah harus menyediakan seragam netral gender, dan siswa dapat memilih seragam dan kamar mandi berdasarkan kehendak bebas dan identitas gender mereka. Guru juga harus menghindari ekspresi gender biner dalam pengajaran, seperti membagi siswa jadi 'laki-laki dan perempuan'," tuturnya.
"Jelas bahwa akan butuh waktu lama sebelum keragaman dan kesetaraan gender dapat diterima dan dipraktikkan di bidang pendidikan di China,” tandas Cui.
Infografis Sekolah Tak Lagi Seperti Dulu
Advertisement