Banyak Orang Ragukan Bahaya COVID-19, Apa Harus Kena Dulu Biar Percaya?

COVID-19 jadi pandemi global. Sudah 14 bulan belum juga bubar. Di Indonesia, lebih dari 72 ribu jiwa terenggut. Kurang bahaya apa?

Oleh Default diperbarui 17 Des 2021, 17:36 WIB
Foto dari udara memperlihatkan proses pemakaman di TPU Rorotan, Jakarta, Jumat (16/7/2021). Akumulasi kasus kematian akibat COVID-19 di Indonesia mencapai 71.397 orang (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Rocky mengaku tidak percaya COVID-19. Menurut pria asal Bali tersebut, penyakit yang memicu pandemi global itu adalah rekayasa belaka, demi kepentingan bisnis semata. 

Ia mengaku, pernah meriang, flu dan demam, yang menurutnya mirip gejala COVID-19. Tapi hanya tiga hari. Sakitnya itu sembuh dengan sendirinya, tanpa ke dokter apalagi antre di rumah sakit. Itu kenapa Rocky menganggap, virus corona hanya flu biasa. 

"Atas dasar apapun, saya enggak percaya COVID-19," kata dia, yang terang-terangan mengaku sebagai pendukung musisi Jerinx, kepada Liputan6.com. Pengemudi ojek online tersebut juga menolak dan tidak sudi divaksin. Kata dia, vaksin adalah racun yang dibuat 'dalang' COVID-19.

Lantas, mengapa rumah sakit penuh pasien COVID-19 dan jumlah korban jiwa di Indonesia sudah melewati puluhan ribu jiwa? Rocky lagi-lagi menjawab, itu sudah dirancang. Ia percaya teori chemtrails atau jejak dari bahan kimia yang disebar menggunakan pesawat. Isinya konon bisa racun atau virus. "Ntar saya kasih tahu videonya, biar mengerti."

Pandangan Artur agak mirip. Pedagang buah di Tangerang itu memang percaya COVID-19 ada. Tapi, penyakit itu menurutnya biasa saja, tidak berbahaya. 

"Saudara saya sembuh enggak sampai dua minggu. Sakitnya ya meriang dan pilek saja. Habis itu, sudah seperti biasa lagi, sampai sekarang sehat. Orang-orang saja terlalu berlebihan. Media juga kan suka membesar-besarkan," kata dia. 

Di tempat terpisah, Setiawan juga percaya, COVID-19 bukan penyakit ganas. Itu kenapa dia memilih kerap tidak memakai masker dan bahkan menyesal sudah disuntik vaksin, meski baru sekali. "Belum tentu yang sudah vaksin itu kebal. Ada kawan saya yang sudah tiga kali vaksin, reaktif. Agak menyesal vaksin," kata pedagang kaki lima itu. 

Abdul juga tidak mau divaksin. "Karena itu bukan suatu kebutuhan untuk saya," kata penjual nasi uduk asal Lebak, Banten itu. "Kalau untuk mencegah virus saya enggak percaya, saya percaya sama Yang di Atas (Tuhan) saja."

Data COVID-19 di Indonesia, Minggu 18 Juli 2021 (covid.go.id)

 

Hingga berita ini diturunkan, Indonesia masih berada di posisi ke-15 kasus COVID-19 terbanyak di dunia, dengan korban nyawa melewati angka 72 ribu jiwa. Belum ada tanda-tanda kasus akan menurun, sejumlah negara bahkan memulangkan warganya dari Bumi Nusantara. Pada hari-hari ini, kabar duka datang lebih kerap. Berita lelayu yang dimumumkan dari pengeras suara masjid sering bikin merinding. Kematian terasa lebih dekat. 

Bagi Rafli Mirza Ananto, COVID-19 bukan hal sepele. Ibu dan ayahnya meninggal dunia akibat penyakit tersebut. Kepergian mereka hanya terpaut 11 hari. 

Sang ibu meninggal di rumah sakit, sementara sang ayah berpulang kurang dari 24 jam setelah dipulangkan dari RS. Mirza dan sang adik kini yatim piatu. 

Pemuda 20 tahun itu berharap, tidak ada orang lain yang mengalami kesedihan tak terperi yang ia rasakan. Kehilangan ayah dan ibu sekaligus.  "Makanya, saya sering berpesan ke teman-teman, selama masih ada orangtua, berbuat baik lah, jangan lupa prokes dijaga kalau masih sering keluar rumah," kata dia. 

Mahasiswa Universitas Brawijaya Malang itu juga punya pesan khusus untuk mereka yang tidak percaya atau meragukan COVID-19. Ia ingin mengajak mereka ke makam sang ibu. "Aku ingin ajak, enggak percaya? Ini buktinya. Mau kasih surat apa? Surat diagnosa kematian? Aku kasih lihat. Kalaupun akhirnya tetap tidak percaya, bilang ini 'di-Covid-kan' segala macam, terserah. Aku sudah kasih bukti," kata dia.  

Saksikan video berikut ini:


Meninggal Gara-Gara Percaya Hoaks

Sebuah unggahan menyanyat hati diunggah Helmi Indra dalam akun twitternya, @HelmiIndraRP pada Jumat 15 Juli 2021. Ia mengabarkan sang ayah baru saja berpulang. Ada dua hal yang membuat almarhum 'kalah' melawan COVID-19. Pertama, komorbid diabetes. Dan yang kedua adalah kabar dusta alias hoaks.

"Lalu apa yang menyebabkan Papah kalah? Hoax berperan besar dalam hal ini diluar komorbid #lawanhoaxcovid19," tulis dia.

 

Unggahan akun Helmi Indra, @HelmiIndraRP pada 15 Juli 2021 (Twitter @HelmiIndraRP)

Dalam beberapa unggahan terpisah, Helmi mengisahkan, sang ayah menjadi korban hoaks yang beredar di grup WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, dan sumber-sumber lainnya. 

Ada banyak kabar dusta yang berseliweran, dari masuk rumah sakit akan di-Covid-kan, interaksi obat membuat meninggal, kandungan babi di vaksin produksi China, dan banyak lagi. "Papah jadi percaya hoaks-hoaks ini. Akibatnya, Papah enggak mau divaksin," tutur Helmi.

Bahkan, ketika sudah dinyatakan positif COVID-19, sang ayah tidak mau mengonsumsi obat yang dianjurkan. Ia terlanjur percaya dengan kabar yang menyebut, interaksi obat dapat membunuh. "Padahal meminum obat dengan resep yang tepat dapat mengurangi gejala dan menambah imun (dengan meminum vitamin)," tambah Helmi. "Ketika keadaan mulai memburuk pun masih takut ke RS karena takut kenapa-napa."

Helmi mengisahkan, ayahnya akhirnya dibawa RS dalam kondisi lemah. Hanya dalam hitungan hari, pasien kemudian meninggal dunia.

Ada alasan mengapa pria yang berprofesi sales marketing itu mempublikasikan kisah sedih bapaknya itu. Ia tak ingin orang lain merasakan kesedihan yang dialaminya. Helmi juga mengajak orang untuk tidak mempercayai, bahkan membagikan kabar hoaks. 

Kabar dusta terkait COVID-19 sudah bermunculan sejak kasus pertama diumumkan di Wuhan, China. Jumlahnya di tahun 2021 ini meningkat. 

Kementerian Komunikasi dan Informasi menemukan 1.735 hoaks seputar Covid-19 periode 23 Januari 2021 sampai 12 Juli 2021, informasi palsu tersebut beredar melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube.

Isu hoaks mengenai vaksin COVID-19 semakin banyak bermunculan sejak awal 2021, dan trennya terus naik hingga pertengahan tahun.

Selain berupa narasi, hoaks terkait COVID-19 juga berupa foto dan video. Di mana jumlah hoaks berupa video lebih tinggi dibanding hoaks yang berupa foto. Perbandingannya 3:5.

Hoaks COVID-19 di media sosial. Olah data: Diyah Naelufar

Sebagai media yang juga aktif melakukan cek fakta, Liputan6.com aktif melakukan verifikasi informasi-informasi mencurigakan yang beredar di media sosial dan grup-grup WhatsApp. 

Sejak awal 2020 hingga pertengahan 2021, lebih dari 50 persen isu yang diverifikasi Liputan6.com terkait dengan COVID-19.

Rata-rata kabar dusta terkait COVID-19 selama pertengahan awal 2021 dua kali lipat lebih banyak dibanding pada 2020 per harinya.

Hoaks terverifikasi oleh Liputan6.com. Olah data: Diyah Naelufar

Berdasarkan temuan Tim Cek Fakta Liputan6.com, misinformasi dan disinformasi terkait COVID-19 tak melulu soal penyakit itu sendiri. 

Hoaks dan teori konspirasi terkait COVID-19 (Tim Cek Fakta Liputan6.com)

Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), Aleksius Jemadu, menyayangkan masih ada sekelompok orang yang menyebar teori konspirasi COVID-19. Dia menilai, penyebar teori konspirasi hanya mencari keuntungan dari situasi saat ini.

"COVID ini sudah hal yang riil. Saya pikir bahwa orang (penganut teori konspirasi) ingin mengambil keuntungan dari situasi yang gawat. Ini selalu bisa terjadi. Bukan soal COVID ini saja, soal-soal lain juga banyak teori konspirasi," tutur Aleksius.

Meski demikian, Aleksius tetap mendukung masyarakat berpikir kritis di tengah pandemi COVID-19. Termasuk dalam disiplin hubungan internasional, bukan tak mungkin suatu negara tergoda untuk mencari keuntungan lewat pandemi.

Keraguan soal COVID-19 tak hanya terjadi di Indonesia. Itu fenomena biasa di banyak negara. Warga Amerika Serikat, Brian Lee Hitchens adalah salah satunya. Sopir taksi itu mengira, COVID-19 adalah rekayasa belaka, beda-beda tipis dari flu biasa.

Pengemudi taksi itu juga termakan teori konspirasi yang mengaitkan pandemi yang terjadi dengan teknologi 5G. Itu kenapa ia memilih cuek, tidak mau pakai masker, ogah jaga jarak. 

Keyakinannya itu runtuh pada awal Mei 2020. Ia dan istrinya, Erin, positif COVID-19 dan harus dirawat di rumah sakit. Brian selamat setelah menjalani perawatan, namun pasangannya meninggal dunia.

Kini, Brian menggunakan akun Facebook-nya untuk menyadarkan banyak orang bahwa COVID-19 itu nyata dan berbahaya. 

Pertanyaannya, haruskah orang menderita COVID-19 dulu sebelum percaya bahwa penyakit itu berbahaya?

 

Baca juga: Bukti Hoaks COVID-19 Bisa Membunuh

 


Apa Harus Kena COVID-19 Dulu Biar Percaya?

(ADITYA AJI/AFP)

Tak sedikit orang dilaporkan meninggal gara-gara hoaks COVID-19, namun jumlah persisnya belum diketahui. Riset terakhir soal itu dimuat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene pada Agustus 2020. Belum ada yang terbaru.

Iran menyumbang kasus kematian terbanyak kala itu. Sebanyak 728 orang meninggal dunia di negara itu akibat keracunan alkohol yang diklaim bisa mengobati COVID-19.

 

Korban 'infodemik' berdasarkan survei The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, Agustus 2020.

 

Namun yang jelas, kasus COVID-19  dunia sudah melewati angka 190 juta, dengan jumlah kematian lebih dari 4 juta jiwa, demikian data dari Coronavirus Resource Center John Hopkins University and Medicine pada Minggu malam, 18 Juli 2021.

Tim Special Content Liputan6.com mencoba mewawancarai sejumlah ahli untuk mencari tahu apa gerangan yang memicu orang meragukan atau menyepelekan dampak COVID-19. 

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menjelaskan, dari sisi psikologi, ada tiga aspek yang membuat orang tak percaya COVID-19. Yang pertama adalah aspek kognitif. 

"Secara kognitif, jangankan COVID-19, yang tak percaya dengan polio saja masih ada. Anak kena polio dibilangnya malah kutukan setan. Jadi, selalu ada tantangan sepanjang zaman dan tidak semua manusia percaya dengan sains," kata dia. 

Yang kedua adalah aspek emosi. Aspek ini biasanya baru akan menyentuh seseorang kalau merupakan pengalaman langsung kena COVID-19, atau kalau ada orang dekatnya yang kena. Tapi sepanjang COVID-19 tak menyakiti orang tersebut, tak memukul orang tersebut, maka emosinya tidak akan kena.

Hamdi mengungkapkan, dalam psikologi juga ada istilah self-serving bias. "Jadi orang tersebut susah untuk diyakinkan soal COVID-19. Pas kena ke dirinya atau keluarganya, baru dia mau percaya."

Ada lagi aspek emosi terkait agama dan keyakinan. "Agama kalau dipakai untuk nakut-nakutin, itu secara emosi akan masuk ke dalam diri orang. Jadi bukan agamanya yang salah, tapi agama dipakai untuk menggoyang emosi orang, sehingga mereka tidak rasional soal COVID-19," kata pria kelahiran Padangpanjang, Sumatra Barat itu.

Aspek ketiga adalah motivasi politik, di mana orang tersebut memiliki motivasi politik tertentu untuk memilih yang sebaliknya dari kebijakan pemerintah.

"Pemerintah kan dalam posisi percaya COVID-19. Logika oposisi sedehana saja. Kalau pemerintah percaya, maka orang tersebut tidak percaya. Benar atau tidak, bisa dicari belakangan, yang penting beda dulu dengan pemerintah."

Hamdi juga memberikan saran bagi masyarakat untuk terus merangkul orang yang tidak mempercayai COVID-19. Hal ini bisa dilakukan dengan mengajak diskusi secara benar dan santai.

"Kalau ketemu orang tak percaya COVID-19, ya dibicarakan baik-baik. Kita kasih data dan fakta yang masuk akal sesuai ilmu pengetahuan. Tapi memang kadang-kadang ada saja yang susah, yang di grup Whatsapp misalkan, sampai berantem karena berdebat."

 

Pengaruh Pilpres 2019

Sementara, Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, berpendapat, sikap orang percaya atau tidak pada suatu fenomena, sangat tergantung pada kemampuan pemahaman orang tersebut. Apalagi COVID-19 hanya bisa dipahami secara baik, paling tidak jika orang tersebut memiliki kemampuan mengikuti kajian hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran.

"Virus ini kan tidak terlihat secara kasatmata dan teorinya juga tidak mudah. Penjelasan kepada publik tentang virus itu memerlukan upaya komunikasi yang tidak mudah, tidak bisa begitu saja disosialisasikan, karena memang kajian tentang virologi itu sesuatu yang rumit. Tidak semua orang bisa memahaminya," kata Imam.

Dengan kesulitan memahami virus corona, maka perlu cara penyampaian yang tepat dari orang-orang yang kredibel. Tidak bisa hanya dijelaskan dengan jalur pemerintah semata.

"Jadi ada masalah komunikasi yang kita alami. Apalagi kita juga mengalami era jejaring komunikasi digital, yang semua orang bisa mengakses informasi, dan siapa pun bisa bikin berita tentang COVID-19, yang tidak semuanya benar secara ilmiah."

Oleh karena itu, masyarakat umum tersajikan banyak informasi yang punya keragaman keakuratan dari sisi ilmiah. Alhasil, kesemrawutan informasi tidak terhindarkan.

Sayangnya, tambah Imam Prasojo, banyak tokoh yang dipercaya oleh masyarakat dan punya akses memberi informasi, justru tidak memahami dan tidak mau belajar soal COVID-19 secara ilmiah atau empirik.

"Jadi pada saat mereka menafsirkan berdasarkan ilmu non empirik, apakah itu ilmu agama, atau ilmu apapun, itu jadi tidak sinkron. Jadi ada dua arus pergulatan ilmu. Yang satu ilmu berdasarkan scientific modern, dan satu lagi pengetahuan non empirik. Itu tidak selalu ketemu. Padahal, kedua ilmu ini punya pendengar sendiri-sendiri."

Integrasi keilmuan dan bahasa dalam menjelaskan fenomena COVID-19 harus diupayakan agar tidak terjadi fragmentasi. Sebab, pemerintah selama ini dinilai terlalu government oriented dalam menjelaskan COVID-19.

"Padahal, residu politik dari hasil pilpres kemaren, ada kalangan tertentu yang tidak mau mendengarkan penjelasan apapun yang dikemukakan oleh pemerintah, sehingga mereka buat narasi sendiri. Tidak semua pihak bisa menerima pemerintah secara baik, apapun penjelasannya, tapi pada saat yang sama pemerintah juga tidak menggunakan tokoh komunitas untuk dimintai bantuan dalam menjelaskan COVID-19 sesuai kajian ilmiah dengan bahasa mereka," ucap Imam.

 

Pola Komunikasi Pemerintah yang Ambigu

Pada awal kemunculan virus corona, banyak pernyataan pejabat yang dinilai meremehkannya. Misalnya Menteri Kesehatan sebelumnya, Terawan Agus Putranto, yang menyatakan, kematian efek flu lebih tinggi dari corona. Ia juga menantang Universitas Harvard dan minta pembuktian penelitian mereka bahwa virus corona sudah masuk Indonesia.

Lalu, ada ucapan dari Menteri Luhut Pandjaitan bahwa virus corona tidak kuat hidup di cuaca panas seperti Indonesia. Kemudian, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahkan sempat memperkenalkan "kalung anti corona", yang malah jadi bahan ledekan di media sosial.

Pakar Komunikasi Politik Indonesia, Gun Gun Heryanto menilai, pemerintah patut dikritisi soal komunikasi yang kerap ambigu dalam beberapa hal. Menurut dia, pandemi ini harus didekati bukan dengan pendekatan komunikasi yang reguler.

"Dalam konteks itulah setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, apapun, itu harus kemudian dengan mudah dipahami oleh publik. Jangan kemudian equivocal communication atau komunikasinya samar. Komunikasinya ambigu," terang Gun Gun ketika dihubungi Liputan6.com.

Selain itu, Gun Gun juga menyebut bagaimana peran informasi yang di situasi seperti pandemi. Dia menekankan pentingnya pemerintah menunjuk siapa yang mengolah informasi di belakang layar dan siapa yang menyampaikannya ke khalayak, sehingga tidak semua orang dalam organ birokrasi dapat bicara apa saja, yang malah menimbulkan chaos informasi.

Chaos informasi disebabkan pemerintah sendiri tidak punya pemahaman, persepsi, dan satu suara tentang pandemi. Akhirnya, pemerintah yang sudah direpotkan dengan hoaks juga mesti berurusan dengan chaos informasi. Oleh karena itu, Gun Gun menyarankan pemerintah memaksimalkan kontra narasi lewat influencer kepada mereka yang cenderung melihat COVID-19 dari perspektif konspiratif.

Dalam pendekatan komunikasi, dia berharap pemerintah bisa memperbesar latitude of acceptance atau zona penerimaan dari masyarakat terkait kontra narasi yang mereka bangun dalam menangkal hoaks tentang COVID-19.

"Dari pembentukan opini mayoritasnya itu, harus dimulai dari orang-orang yang masih bisa dipercayai," beber Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini.

Gun Gun mengatakan, pemerintah harus memperbesar proporsi orang-orang yang bicara adalah mereka yang bisa dipercaya publik. Hal itu, ucap dia, demi memperkuat narasi-narasi pemerintah atas nama kepentingan publik mengenai pandemi ini, yang mesti diatasi bersama-sama, bukan hanya agenda pemerintah.

"Nah, masalahnya adalah, seberapa meyakinkan pemerintah dalam merangkul kelompok-kelompok independen ini untuk turut dalam arus utama konstruksi opini yang dikehendaki dan itu berpotensi untuk bisa memperluas penerimaan khalayak atas orientasi penyelesaian penanganan COVID-19 di Indonesia," ujarnya.


Para Penyangkal COVID-19

Di akun Twitter pribadinya, dr Lois Owien menulis bahwa COVID-19 bukan Virus Corona.

Sejumlah tokoh menyuarakan penyangkalan terkait COVID-19. Salah satunya drummer band Superman Is Dead (SID), I Gede Ari Astina atau yang akrab disapa Jerinx.

Dia aktif di sosial media dan pernah menantang untuk bertemu dan bersalaman dengan pasien COVID-19. Jerinx sering menyebut penyakit itu merupakan konspirasi dari elite global.

Jerinx sempat mendekam di penjara selama 10 bulan karena kasus unggahannya di media sosial pada 13 Juni 2020. Dalam unggahan itu, Jerinx menyebut IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai kacung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dia dilaporkan IDI Bali atas unggahan tersebut.

Dia bebas pada 8 Juni 2021. Namun setelah bebas, sikap Jerinx tidak berubah. Suami dari influencer Nora Alexandra ini tetap tidak percaya dampak bahayanya COVID-19. Jerinx bersikukuh ada konspirasi di balik pandemi ini. Pria berusia 44 tahun ini juga tak segan menuding orang lain mendapat endorsement COVID-19.

Belakangan, muncul sosok bernama wanita bernama Lois Owien, yang mengaku sebagai dokter. Pernyataan Lois tentang COVID-19 memicu perhatian luas warganet di media sosial. Kala itu dia berbicara di kanal Youtube Miftah's TV. Lalu ada juga video wawancara dengan pengacara kondang Hotman Paris.

Dalam video itu, Hotman bertanya apakah Lois percaya dengan COVID-19. Kemudian, Lois menjawab tidak percaya. Selanjutnya, Lois juga menyebut kematian pasien bukan karena COVID-19, melainkan akibat interaksi antarobat. "Interaksi antar obat, Pak. Kalau misalnya buka data di rumah sakit, itu pemberian obatnya lebih dari enam macam," ucap Lois.

Soal banyaknya pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, Lois dengan enteng mengatakan, penyebabnya karena orang-orang itu stres, sehingga terjadi penurunan imunitas. Sederet pernyataan kontroversial itu terang saja membuat Lois banyak dikecam berbagai pihak.

Lois ditangkap polisi ditetapkan sebagai tersangka keonaran setelah membuat sejumlah pernyataan kontroversial. Tapi, setelah pemeriksaan, polisi memutuskan tidak menahan Lois, karena beberapa pertimbangan. Di salah satu media online nasional, Lois mengungkapkan permohonan maaf karena pernyataannya sudah membuat kegaduhan.

Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, melakukan analisis mengenai peta pendukung COVID-19 deniers (penyangkal COVID-19), terutama terkait akun @LsOwien. Adapun analisis ini dilakukan berdasarkan data yang dikumpulkan pada 5 hingga 11 Juli 2021.

Dalam analisisnya, Fahmi memetakan pendukung akun tersebut dengan menggabungkan peta social network analysis (SNA) dari akun @LsOWien dengan peta SNA vaksin covid yang lebih luas. Berdasarkan analisis itu Fahmi menilai, peta pendukung seorang influencer covid deniers merupakan irisan dari sebagian kelompok pro teori konspirasi, kelompok anti-vaksin, dan pengkritik pemerintah (oposisi).

"Hal itu tidak lepas dari adanya kesamaan sebagian narasi di antara kelompok-kelompok tersebut. Sebagai contoh, pandangan akun @LsOwien kerap dipengaruhi teori konspirasi, seperti bahaya radiasi 4G hingga konspirasi global depopulasi lewat vaksin," terang Fahmi kepada Liputan6.com.

Dari data DE, terkumpul cuitan @LsOwien baik yang masih terbuka maupun yang sudah dihapus. Secara umum, pandangannya banyak dipengaruhi juga oleh teori konspirasi (Sumber: Twitter/@ismailfahmi)

 

Sementara untuk pandangan yang senada dari pihak anti vaksin, akun @LsOwien juga kerap menyinggung bahwa vaksin sebenarnya berbahaya bagi tubuh, vaksin mengandung merkuri, dan menyebut obat beracun.

Fahmi menuturkan kedua kelompok ini sebenarnya memang sudah ada sebelum pandemi. Hal itu dapat dilihat narasi yang kerap digaungkan mereka, meski tidak berhubungan secara langsung.

"Antivaksin tidak selalu percaya soal teori konspirasi, tapi mereka lebih tidak percaya vaksinnya. Lalu untuk oposisi, mereka memang pihak yang tidak suka pemerintah," ucapnya menjelaskan.

Peta percakapan tentang akun ini dalam periode 5-11 Juli menampilkan dua cluster besar: Pro Lois dengan akun sentral @LsOwien, dan Kontra Lois dengan akun sentral @tirta_hudhi. (Sumber: Twitter/@ismailfahmi)

 

Kendati demikian, dia menegaskan tidak semua oposisi berarti setuju dengan pendapat akun @LsOwien, melainkan hanya sebagian. Sebab, banyak pula akun oposisi sependapat dengan nakes, media, termasuk aktivis politik, terutama soal vaksin Covid-19.

Lebih lanjut, Fahmi menuturkan, sebagian dari tiga kelompok tersebut yang lantas mendukung narasi @LsOwien karena dianggap memiliki satu referensi dengan mereka.

"Sosok seperti @LsOwien ini memang akan digunakan sebagian dari tiga kelompok tersebut untuk mendukung pandangan kelompoknya sendiri," tuturnya.

Fahmi mencontohkan, sebagian dari kelompok oposisi yang mendukung @LsOwien pun memanfaatkan pandangan sosok tersebut untuk menyerang pemerintah. Karenanya, sempat muncul pula tagar #PakPresidenKapanMundur, yang mana hal serupa juga dilakukan kelompok antivaksin.

Siapa saja yang mendukung akun Lois ini? Dari peta ini tampak jelas, cukup besar pendukungnya. (Sumber: Twitter/@ismailfahmi)

 

Dia memaparkan kondisi ini memiliki dampak negatif, karena narasi yang dibangun masing-masing kelompok tersebut kadang tidak sesuai konteks. Mereka akhirnya membuat sebuah narasi yang memang sesuai dengan pandangannya masing-masing.

Kelompok ini pun yang akhirnya membuat dan menyebarkan konten @LsOwien dalam bentuk tulisan, foto, maupun video ke grup WhatsApp dan biasanya sudah ditambah keterangan yang disesuaikan dengan pandangan tiap kelompok.

"Kalau sudah sampai grup WhatsApp itu kan tidak jelas siapa yang awalnya membuat. Lalu sampailah ke orang-orang yang tidak paham, orangtua, orang yang takut. Apakah ini benar atau tidak? Dari sana bisa muncul yang tadinya masih ragu-ragu menjadi tidak percaya COVID-19," tukasnya.

Kondisi ini, menurut Fahmi, lantas membuat adanya laporan seperti orangtua atau mungkin anggota di dalam keluarga yang tiba-tiba mempercayai pandangan akun @LsOwien.

"Orang-orang itu kan tidak tahu, seperti orangtua kan tidak sempat melakukan verifikasi. Orang yang tidak punya budaya kritis itu akan menjadi korban," Fahmi menambahkan.

 

Ketidakpercayaan pada COVID-19 

Menurut penelusuran yang dilakukan Tim Cek Fakta Liputan6 di Crowdtangle, selama 30 hari terakhir isu ketidakpercayaan atau keraguan terkait COVID-19 semakin menanjak.

Khusus di Indonesia ada 1.577 postingan Facebook terkait keraguan soal COVID yang tersebar melalui grup-grup terbuka. Pencarian tersebut juga mengungkapkan ada 66.865 interaksi antarpengguna.

Untuk tema terkait yang terbanyak mendapatkan komentar dari pengguna Facebook adalah postingan soal "Piala Eropa 2020 dengan penonton tanpa masker". Postingan ini diunggah oleh grup Ruang Pengetahuan pada 24 Juni 2021 dengan 722 komentar, dan mendapat reactions sebanyak 2.100 kali dan dibagikan kembali sebanyak 133 kali.

Selain itu beberapa postingan yang menarik perhatian adalah terkait kasus dokter Lois yang tidak percaya COVID-19. Beberapa grup yang mengunggah kabar terkait itu mendapat perhatian besar pengunggah lainnya.

Salah satunya yang diunggah grup bernama "Belajar Obat Tradisional" pada 11 Juli 2021. Postingan terkait dr Lois mendapat 1500 reaksi, 255 komentar, dan 122 kali dibagikan.


INFOGRAFIS

Infografis: Deretan Mitos COVID-19 dan Faktanya (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya