PPKM Darurat Efektif? Penilaian Lewat 3 Aspek Ini

Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Darurat sudah dilakukan sejak 3 Juli 2021. Data awal pada hari itu menunjukkan 27.913 kasus baru, angka kepositifan (positivity rate) 25,15 persen dan 493 orang meninggal.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 21 Jul 2021, 19:00 WIB
Seorang tunawisma membawa barang miliknya saat razia Satpol PP di bawah flyover Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (19/7/2021). Razia ini merupakan upaya dari Kecamatan Jatinegara di kawasan Kampung Melayu untuk bersih dari tunawisma yang sering tidur dan berjualan. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Darurat sudah dilakukan sejak 3 Juli 2021. Data awal pada hari itu menunjukkan 27.913 kasus baru, angka kepositifan (positivity rate) 25,15 persen dan 493 orang meninggal.

Selang 10 hari, kasus melonjak tajam. Pada 14 Juli 2021 untuk pertama kalinya angka kasus baru menembus angka 50 ribu, tepatnya 54.517.

Lalu angka kepositifan COVID-19 juga menembus 30 persen, yaitu 31.5 persen, padahal ini menunjukkan besarnya penularan di masyarakat (community transmission) dan angka di atas 30 ini menetap dalam tiga hari berturut-turut.

Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, yang jadi penting sekarang adalah menilai bagaimana efektivitas PPKM Darurat yang sudah dilaksanakan selama ini.  

Penilaian dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu epidemiologi, sistem surveilans dan sistem pelayanan kesehatan.

Simak Video Berikut Ini


Pendekatan Epidemiologi

Untuk kriteria epidemiologi setidaknya ada dua parameter yang dapat dipilih, yaitu jumlah kasus baru dan juga angka kepositifan.

“Kalau untuk evaluasi PPKM Darurat dapat saja dipilih kalau angka kasus baru per hari sudah lebih rendah dari jumlah tertentu, katakanlah di bawah 10.000 per hari,” kata Tjandra melalui tulisan yang dibagikan kepada Health Liputan6.com, dikutip Rabu (21/7/2021)

Sebagai ilustrasi saja, lanjutnya, Malaysia juga menerapkan kebijakan Movement Control Order (MCO) yang menggunakan patokan bahwa kalau kasus baru per hari di bawah 4.000 maka kebijakan dapat dilonggarkan.

Parameter kedua adalah angka kepositifan. Untuk ini maka memang sebaiknya dipakai patokan 5 persen agar menjamin penularan di masyarakat memang sudah rendah. Apalagi banyak negara tetangga termasuk India angkanya memang 2 persen atau 3 persen saja, kecuali negara tertentu.


Pendekatan Sistem Surveilans

Tentang kriteria surveilans kesehatan masyarakat, setidaknya ada dua hal yang harus dicapai, kata Tjandra.

Pertama jumlah tes yang dilakukan harus terus dinaikkan dengan amat tinggi, dan kedua kegiatan dilanjutkan dengan telusur yang massif.

“Kalau India sudah berhasil melakukan tes pada sekitar 2 juta orang seharinya, maka dengan penduduk kita yang sekitar seperempat penduduk India maka target melakukan tes sampai 500 ribu sehari nampaknya patut dikejar untuk dicapai.”

Sesudah itu, untuk setiap kasus yang ditemui sudah ada pula beberapa target yang harus dicari dan ditemukan dari setiap kasus positif, katakanlah antara 15-30 kontak yang harus ditemukan. Kalau di antara mereka ada yang ternyata positif COVID-19 maka harus ditelusuri lagi 15-30 kontaknya lagi, dan demikian seterusnya, tambahnya.

Semua kasus yang ditemukan harus dapat diisolasi atau dikarantina untuk mendapatkan penanganan dan memutuskan rantai penularan.

“Memang dengan jumlah tes yang besar dan akan ditemukan kasus yang lebih banyak, tapi ini membuat kita mendapatkan gambaran yang sebenarnya terjadi dan dapat mengambil langkah tepat mengendalikan keadaan.”

Sebaliknya, kalau masih banyak kasus baru di masyarakat yang tidak ditemukan maka penularan masih akan terus terjadi, tidak kunjung terkendali dan masih akan terus diperlukan pembatasan sosial yang ketat, imbuhnya.


Pendekatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Untuk kriteria sistem pelayanan kesehatan dalam evaluasi PPKM Darurat maka dapat dilihat dari keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR) rumah sakit.

Dalam hal ini harus diingat bahwa angka BOR bisa dapat fluktuatif, tergantung berapa banyak tempat tidur yang diperuntukkan pasien COVID-19, sehingga kadang-kadang membaca angka BOR perlu secara kritis.

Selama lonjakan kasus COVID-19, bukan hanya ruang rawat rumah sakit yang penuh tapi Instalasi Gawat Darurat (IGD) nya juga penuh dan orang terpaksa antre masuk IGD, bukan lagi antre masuk RS.

“Satu hal yang amat penting dalam sistem pelayanan kesehatan adalah sumber daya manusia (SDM), dokter, perawat dan petugas kesehatan lain. Mereka sudah amat kewalahan menghadapi lonjakan kasus tanpa henti ini, sebagian petugas sudah tertular dan sedihnya sejawat kita juga meninggal dunia.”

Untuk memperkuat pelayanan rumah sakit maka penambahan tempat tidur, oksigen, atau obat adalah hal yang mungkin dilakukan. Namun, SDM kesehatan tentu tidak mudah menambahnya, katanya.

Mengenai masalah ini, sudah ada berbagai upaya yang dilakukan, seperti pendayagunaan mahasiswa kedokteran/kesehatan yang sudah tahap akhir studinya serta kemungkinan relawan dokter dan perawat.

Bentuk inovasi lain yang diusulkan adalah pendekatan “3 R” tenaga kesehatan, yaitu Refungsi, Relokasi dan Rekrutmen, yang pernah dibicarakan di lingkungan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).

“Salah satu bentuk lain, para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) -saya pun ikut didalamnya- pada 12 Juli 2021 mengeluarkan rekomendasi Gerakan Semesta Tenaga Kesehatan Indonesia pada masa Darurat COVID-19.”

“Kita masih diterpa badai masalah COVID-19 yang perlu upaya penanggulangan maksimal, tidak cukup lagi hanya optimal. Hanya dengan kerja keras kita semua dengan peran masing-masing kita akan dapat menyelesaikan masalah kemanusiaan bangsa ini,” tutupnya.

 


Infografis Cek Fakta PPKM Darurat

Infografis Cek Fakta PPKM Darurat (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya