Liputan6.com, Jakarta - Penutup kepala kembali menjadi perbincangan di dunia. Hal tersebut terkait keputusan Pengadilan Tinggi Uni Eropa yang menyebutkan bahwa perusahaan dapat melarang pemakaian simbol yang memperlihatkan keyakinan agama atau politik, seperti hijab.
"Larangan mengenakan segala bentuk ekspresi keyakinan politik, filosofis atau agama yang terlihat di tempat kerja dapat dibenarkan oleh kebutuhan majikan untuk menghadirkan citra netral terhadap pelanggan atau untuk mencegah perselisihan sosial," kata pengadilan, seperti dikutip dari Aljazeera, Selasa (21/7/2021).
Baca Juga
Advertisement
Namun, pengadilan yang berbasis di Luksemburg mengatakan dalam putusannya bahwa pengadilan di 27 negara itu harus mempertimbangkan apakah larangan itu sesuai dengan "kebutuhan sejati" di pihak perusahaan. Mereka juga harus mempertimbangkan hak dan kepentingan karyawan, termasuk dengan mempertimbangkan undang-undang nasional tentang kebebasan beragama.
Kasus ini dibawa ke pengadilan oleh dua perempuan Jerman yang diskors dari pekerjaan mereka karena mengenakan hijab. Banyak perempuan muslim mengatakan bahwa hijab merupakan bagian dari agama mereka.
Kedua muslimah itu merupakan penjaga kebutuhan khusus di pusat penitipan anak di Hamburg yang dijalankan oleh asosiasi amal dan seorang kasir di jaringan apotek Mueller. Mereka terpaksa tak mengenakan hijab saat bekerja, padahal mereka sudah lama berhijab. Mereka diberitahu oleh perusahaan masing-masing bahwa mereka tidak diperbolehkan bekerja tanpa hijab atau ditempatkan pada pekerjaan yang berbeda.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kontroversi
Masalah hijab telah memicu kontroversi di seluruh Eropa selama bertahun-tahun dan menggarisbawahi perpecahan tajam dalam mengintegrasikan Muslim. Dalam putusan 2017, pengadilan Uni Eropa di Luksemburg telah mengatakan bahwa perusahaan dapat melarang staf mengenakan hijab dan simbol agama lain yang terlihat dalam kondisi tertentu.
Pada saat itu, hal ini telah memicu reaksi keras di antara kelompok-kelompok agama. Lebih dari lima juta muslim tinggal di Jerman, menjadikan mereka kelompok minoritas agama terbesar di sana.
Larangan jilbab bagi perempuan di tempat kerja telah menjadi isu hangat yang diperebutkan di Jerman selama bertahun-tahun, sebagian besar berkaitan dengan calon guru di sekolah negeri dan hakim peserta pelatihan. Namun, selama ini hal itu belum menjadi tema utama dalam kampanye pemilihan legislatif tahun ini.
Advertisement
Turki Mengecam
Di tempat lain di Eropa, pengadilan juga harus melihat di mana dan bagaimana jilbab terkadang dilarang di tempat kerja. Pengadilan tinggi Prancis pada 2014 menguatkan pemecatan seorang pekerja penitipan anak muslim karena mengenakan jilbab.
Prancis melarang pemakaian jilbab di sekolah negeri pada 2004. Namun, Mahkamah Konstitusi Austria telah memutuskan bahwa undang-undang di sana yang melarang anak perempuan berusia hingga 10 tahun mengenakan jilbab di sekolah adalah diskriminatif.
Sementara itu, Turki mengecam atas keputusan Pengadilan Tinggi Uni Eropa untuk untuk mengizinkan perusahaan melarang pemakaian jilbab dalam "kondisi tertentu". Kementerian Luar Negeri Turki dalam sebuah pernyataan mengatakan keputusan itu adalah tanda meningkatnya Islamofobia pada saat perempuan muslim di Eropa menjadi sasaran diskriminasi yang meningkat karena keyakinan agama mereka.
Infografis Eropa Lockdown Covid-19, Indonesia Bertahan
Advertisement