Deretan Tanggapan Terkait Perubahan Statuta UI Rangkap Jabatan

Pemerintah mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 menjadi PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia (UI).

oleh Devira PrastiwiLiputan6.com diperbarui 22 Jul 2021, 14:18 WIB
Kampus Universitas Indonesia (UI) (Doc. Universitas Indonesia)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 menjadi PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI (Universitas Indonesia).

Dalam PP Nomor 75 Tahun 2021 itu terdapat revisi soal rangkap jabatan bagi rektor, wakil rektor, sekretaris, dan kepala badan.

Perubahan itu tepatnya terdapat dalam PP 75 Tahun 2021 Pasal 39 c yang hanya melarang rektor, wakil rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan untuk menduduki jabatan direksi di sebuah perusahaan. Tak ada pelarangan menjabat sebagai komisaris.

Perubahan Statuta UI yang sudah resmi diundangkan itu pun menuai beragam tanggapan. Karena dengan begitu, maka rektor, wakil rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan bisa menduduki posisi komisaris alias rangkap jabatan.

Salah satunya dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Menurut Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, perubahan statuta UI yang memberikan celah agar rektor bisa menjabat sebagai komisaris di suatu badan usaha, jelas bentuk sikap arogansi.

Padahal, kata Ubaid, saat menjabat rangkap, Statuta UI jelas melarang rektor merangkap jabatan tersebut.

"Menurut saya ini jelas arogansi rektor. Harusnya kan mendengarkan lah aspirasi dari masyarakat. Bukan malah aturan yang diubah, harusnya yang merangkap jabatan melanggar aturan ya jadi harus mengundurkan diri," kata Ubaid kepada Liputan6.com, Rabu, 21 Juli 2021.

Berikut sejumlah tanggapan terkait perubahan Statuta UI dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


JPPI

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Ikatan Alumni (ILUNI) Universitas Indonesia (UI) lintas almamater mengelar Rapat Akbar Gerakan Anti Korupsi (GAK) Nasional di kampus UI Salemba, Jakarta, Jumat (20/3/2015). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan, perubahan Statuta UI yang memberikan celah agar rektor bisa menjabat sebagai komisaris di suatu badan usaha, jelas bentuk sikap arogansi.

Padahal, saat menjabat rangkap, Statuta UI jelas melarang rektor merangkap jabatan tersebut.

"Menurut saya ini jelas arogansi rektor. Harusnya kan mendengarkan lah aspirasi dari masyarakat. Bukan malah aturan yang diubah, harusnya yang merangkap jabatan melanggar aturan ya jadi harus mengundurkan diri," kata Ubaid kepada Liputan6.com, Rabu 21 Juli 2021.

Dia mengungkapkan, apa yang dilakukan Rektor UI ini jelas presedern buruk bagi dunia pendidikan di tanah air. Bahkan seolah-olah itu difasilitasi oleh negara.

Menurut Ubaid, jika ini dibiarkan, maka jelas merusak independensi institusi pendidikan tinggi. Dan bisa saja kepercayaan publik bisa turun.

"Sehingga konflik-konflik kepentingan semacam itu akan menjadi tontonan kita nanti," kata dia.

Ubaid menuntut agar pemerintah mencabut aturan yang berpotensi melanggengkan konflik kepentingan di tubuh perguruan tinggi tersebut, utamanya di UI.

"Harus dievaluasi oleh presiden dan menteri bahwa ini hal yang tidak baik. Ini preseden awal ya tidak pernah kita mengalami hal seperti ini. Menurut saya harus balik ke Statuta yang lama," jelas Ubaid.

 


Partai Demokrat

Seminar Gizi untuk Bangsa (GUB) kembali dilaksakan. Stunting menjadi fokus pada seminar yang dilaksanakan Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) (sumber foto: Istimewa)

Juru Bicara DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mengkritisi revisi Statuta UI yang memberikan celah agar rektor bisa menjabat sebagai komisaris di suatu badan usaha.

Menurut dia, ini langkah reaktif pemerintah untuk meredam kekecewaan publik yang melihat Rektor UI bisa merangkap jabatan.

"Padahal, seharusnya ada proses review yang ketat sebelum pengangkatan rektor menjadi komisaris," kata Herzaky pada keterangannya.

Menurutnya, UI seharusnya fokus terhadap posisinya yang mengalami penurunan berdasakan QS World University Rangkings.

"Ini yang seharusnya menjadi fokus rektor dan Kemendikbudristek. Keputusan yang diambil oleh rektor harus terfokus dalam semangat meningkatkan performa akademik, mendukung riset dan inovasi, demi membawa nama baik universitas yang dipimpinnya. Apalagi, kegiatan pembelajaran kurang optimal akibat pandemi ini. Keputusan ataupun jabatan yang tidak relevan sebaiknya dihindari," jelas Herzaky.

Permasalahan ketiga, lanjut dia, masyarakat menangkap sinyal pesan moral yang kurang baik dari kejadian tersebut. Hal itu dapat dilihat reaksi masyarakat di sosial media.

"Rektor perlu menjaga integritas dan menjadi teladan bagi mahasiswa dan akademisi. Menurut kami, kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran dan tidak boleh terulang kembali," kata Herzaky.

"Kali ini Universitas Indonesia malah seakan dirusak kredibilitasnya oleh aturan ini," sambung dia.

Herzaky mempertanyakan kebijakan Menteri BUMN dan juga Presiden Jokowi yang merevisi Statuta Universitas Indonesia sehingga Rektor UI diperbolehkan rangkap jabatan.

"Mengapa di saat kegelisahan rakyat memuncak terkait situasi Pandemi terkini? Apakah memang perubahan statuta UI ini menjadi prioritas? Apakah memang sengaja memantik kontroversi baru di tengah situasi sulit yang dihadapi rakyat dan negeri ini? Sehingga fokus kita teralih?," tuturnya.

"Apakah pemerintah tak bisa berfokus, ke pandemi saja, sampai sibuk urus Statuta UI? Selamatkan nyawa rakyat, seperti yang selalu disampaikan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, itu yang harusnya menjadi prioritas," tukas dia.

 

(Deni Koesnaedi)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya