Aprindo: Pengusaha Besar Juga Harus Dibantu, Jangan Pedagang Kecil Saja

Sejumlah pengusaha merasa tak pernah dilibatkan oleh pemerintah dalam pembuatan kebijakan selama pandemi Covid-19

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Jul 2021, 18:30 WIB
Pengunjung berbelanja di pusar perbelanjan di Tangerang, Minggu (13/12).Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memproyeksikan, sektor industri ritel bisa kembali pulih dalam 2 tahun-3 tahun ke depan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah pengusaha merasa tak pernah dilibatkan oleh pemerintah dalam pembuatan kebijakan selama pandemi Covid-19. Salah satunya para pengusaha yang tergabung dalam Assosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).

Ketua Umum Assosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey merasa seperti anak tiri yang tak diperhatikan pemerintah selama pandemi Covid-19 berlangsung.

Banyak kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada korporasi karena dianggap memiliki kekuatan cadangan dana besar sehingga tidak menjadi perhatian khusus pemerintah.

Roy menilai selama ini kebijakan pemerintah hanya memikirkan sektor perdagangan masyarakat kecil saja, tanpa memerhatikan pengusaha korporasi.

"Kita tidak mempermasalahkan mereka (SME tradisional) karena memang harus dibantu, tapi yangg besar juga harus dibantu," kata Roy dalam diskusi bersama media, Jakarta, Kamis (22/7/2021).

Seharusnya, kata Roy pemerintah juga memberikan perhatian kepada korporasi. Sebab bila dibiarkan berjuang sendirian, korporasi bisa bangkut dan tutup. Investor pun bisa angkat kaki.

"Kalau korporasi (pengusaha) besar tidak dibantu ketika bangkrut, tutup dan dipailitkan, investor hengkang," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Dampak yang Lebih Besar

Suasana di pusat perbelanjaan di Tangerang, Banten, (16/12). Aturan pencantuman tersebut selain bagi importir atau produsen, juga diwajibkan bagi pedagang pengumpul. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dampak yang lebih besar pun menanti. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pegawai pun tak bisa terhindarkan. "Dampak multiplier effect to big to fail akan terjadi ekonomi tahun 30-nan, ekonomi hancur di dunia," sambungnya.

Tahun lalu, korporasi masih bisa mengandalkan cadangan dana untuk bertahan. Membayar berbagai kewajiban ditengah pendapatan yang minim. Namun memasuki tahun 2021, dana cadangan pun kian menipis, bahkan beberapa sudah ada yang habis. Terpaksa gulung tikar karena tak sanggup lagi bertahan.

"Kita udah enggak ada cadangan, kami udah terdampak," kata dia.

Sementara itu, Roy korporasi juga yang tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Khususnya korporasi peritel modern yang tidak bisa mendapatkan keringanan restruktrisasi kredit karena bukan sektor prioritas.

"Jadi sering kali di (aturan) PPKM ini tidak ada bantuan untuk korporasi sektor swalayan. Dalam hal ini karena yang dilihat hanya sektor bawah. Sementara kita harus menjaga sektor bawah tetap terjaga ada tenaga kerja," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya