Kasus Harian COVID-19 di Indonesia dan Inggris Sama Tapi Jumlah Kematian Berbeda: Karena Vaksinasi

Menengok risko kematian dari lonjakan COVID-19 di Inggris dan Indonesia, dari angka vaksinasi.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 23 Jul 2021, 17:05 WIB
Tenaga kesehatan mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap di zona merah Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Senin (23/11/2020). Total kasus konfirmasi COVID-19 di Indonesia hari ini mencapai angka 502.110 usai penambahan harian sebanyak 4.442. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Kasus harian COVID-19 di Indonesia mengalami lonjakan dengan rata-rata 50 ribu kasus dalam dua pekan terakhir. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia sebagai episentrum baru Virus Corona di Asia.

Lonjakan kasus COVID-19 di negara terpadat keempat di dunia itu diperparah dengan kekurangannya pasokan oksigen dan obat-obatan, yang menyebabkan lebih dari 1.000 kematian akibat Virus Corona setiap hari.

Sementara di negara lain di dunia, salah satunya Inggris, yang juga memiliki 50.000 kasus harian COVID-19, tapi memiliki dampak yang berbeda. Bahkan, Inggris telah melonggarkan serangkaian pembatasan pada 19 Juli 2021, yang dijuluki "Hari Kebebasan" oleh media lokal.

Di Inggris, warga memadati klub malam untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, menaiki kereta tanpa masker, dan pengunjung bisa makan di luar tanpa batas tempat duduk dan kapasitas. Meskipun masih ada lonjakan infeksi, angka kasus kematian di Inggris sekitar 50 dalam sehari, berbanding jauh dengan Indonesia yang lebih dari 1.000 orang meninggal dunia.

Kantor berita Bloomberg, dalam artikelnya menyebut perbedaan angka kematian itu disebabkan karena jumlah vaksinasi. Lebih dari setengah populasi di Inggris - 55 persen - sepenuhnya sudah divaksinasi COVID-19, termasuk sebagian besar lansia dan kelompok rentan - memberikan perlindungan dari risiko penyakit serius dan rawat inap.

Di Indonesia, hanya 6 persen dari populasi yang sudah divaksinasi lengkap - sebagian besar karena keraguan untuk menerima suntikan dan masih kurangnya peserta, mengurangi kemajuan menangkis virus yang telah mengintai dunia sejak akhir 2019. 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.


Kesenjangan Akses Vaksin

Pekerja menguburkan jenazah korban virus corona COVID-19 di TPU Pedurenan, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (7/7/2021). Indonesia memperluas pembatasan untuk memerangi gelombang virus corona COVID-19 yang mematikan. (REZAS/AFP)

Ketika negara-negara maju telah dapat mengadakan acara festival film, fashiow show, dan pertandingan sepak bola, krisis kesehatan terburuk dalam satu generasi terus melanda negara berkembang, yang telah banyak menutup ekonomi.

Bloomberg menyebut, ini adalah manifestasi dari apa yang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) peringatkan beberapa bulan yang lalu: "kegagalan moral bencana" dari kesenjangan yang kaya-miskin dalam akses vaksin.

Kurangnya perlindungan di negara berkembang seperti Indonesia dan, sebelumnya, India dan sebagian Amerika Latin, tidak hanya mematikan bagi individu dan berdampak buruk bagi komunitas lokal, tetapi juga membahayakan dunia.

"Ini adalah koktail beracun untuk bencana, dan akan sangat sulit untuk dihindari," kata Dr Joanne Liu, profesor kesehatan global di McGill University di Montreal dan mantan presiden internasional Doctors Without Borders.

"Ini seperti perubahan iklim. Kita melihatnya akan datang, namun kita tidak tahu bagaimana akan menghentikannya - ini membutuhkan upaya kolektif yang besar," paparnya.

 


Belum Dapat Vaksin mRNA

Seorang anak mendapatkan vaksin covid-19 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Sabtu (3/7/2021). Pemprov DKI menggelar vaksinasi massal bagi anak usia 12-17 tahun di Stadion GBK selama dua hari, yakni pada 3-4 Juli 2021. (merdeka.com/Imam Buhori)

Varian Delta yang sekarang menyebar luas di seluruh dunia menunjukkan apa yang bisa terjadi ketika mutasi COVID-19 dibiarkan berkembang. Transmisi itu menyebabkan kenaikan tingkat infeksi bahkan di negara-negara yang sudah dipenuhi vaksin, seperti Amerika Serikat dan Inggris.

Di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, belum masuknya pasokan vaksin mRNA, yang cukup efektif melawan varian Delta, menjadi perhatian luas.

Marc Baguelin, dosen epidemiologi penyakit menular di Imperial College London dan pakar penyakit, menyebut negara-negara maju yang mengincar vaksinasi penuh terhadap populasi mereka, dan bahkan booster, memiliki lebih dari sekadar masalah etika yang perlu dikhawatirkan.

"Ini juga berarti bahwa kita mendorong peluang munculnya varian baru, yang akan mengancam negara-negara kaya lagi," katanya.

"Ini menunjukkan kepada kita betapa rapuhnya situasi kita," imbuh Baguelin.

Indonesia mengatakan pada akhir 2020 lalu bahwa pihaknya berencana untuk membeli 50 juta dosis vaksin Pfizer, meskipun belum ditandatangani sampai bulan ini.

Untuk mencoba dan menghentikan lonjakan kasus, yang mencapai 56.000 pada 15 Juli 2021, Indonesia memberlakukan pembatasan paling ketat  Juli ini - dalam upaya mengurangi mobilitas setidaknya 30 persen untuk memperlambat penyebaran varian Delta, yang sekarang menyumbang sekitar 90 persen dari kasus aktif, kata Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, yang bertanggung jawab mengoordinasikan respons pandemi untuk  Jawa dan Bali.

Sementara social distancing dan langkah-langkah mitigasi lainnya dapat memperlambat penyebaran virus, mengatasi pandemi pada akhirnya akan bergantung pada membangun kekebalan, yang idealnya melalui vaksinasi.

Baguelin di Imperial College menyebut, mungkin dalam lima tahun, akan ada kekebalan global yang meluas. "Maka itu akan menjadi gambaran yang berbeda," imbuh Baguelin.


Infografis 7 Tips Cegah Klaster Keluarga COVID-19

Infografis 7 Tips Cegah Klaster Keluarga COVID-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya