Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo mengajukan banding atas vonis 5 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terkait kasus suap izin budidaya dan izin ekspor benih bening lobster atau benur.
Permohonan banding Edhy Prabowo tersebut telah dilayangkan pada Kamis, 22 Juli 2021 kemarin.
Advertisement
"Banding, kemarin," tutur kuasa hukum Edhy, Soesilo Aribowo saat dikonfirmasi, Jumat (22/7/2021).
Menurut Soesilo, kliennya mengajukan banding lantaran hukuman yang dijatuhkan lebih bisa diterima jika menggunakan Pasal 11 Undang-Undang Tipikor. "Kalau dipaksakan kasus ini lebih pas ke pasal 11," kata Soesilo.
Adapun hukuman dalam Pasal 11 disebutkan bahwa pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun, dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman penjara selama 5 tahun denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Edhy Prabowo divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap terkait izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bening lobster (BBL) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama," ujar Hakim Ketua Albertus Usada di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/7/2021).
Selain pidana penjara dan denda, hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa berupa kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan USD 77 ribu dikurangi dengan uang yang sudah dikembalikan.
Hakim menyebut, uang pengganti wajib dibayar dalam jangka waktu satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap. Jika tidak, harta benda Edhy akan disita dan dilelang oleh jaksa penuntut umum untuk menutupi kekurangan kewajiban uang pengganti.
Namun jika harta benda Edhy tak mencukupi, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun penjara.
Hakim juga memutuskan mencabut hak politik Edhy untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun setelah selesai menjalani masa pidana pokok.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pertimbangan Majelis Hakim
Dalam menjatuhkan vonisnya, majelis hakim mempertimbangkan sejumlah hal. Untuk hal yang memberatkan vonis yakni Edhy Prabowo dianggap tak mendukung program pemerintah yang tengah giat dalam memberantas tindak pidana korupsi kolusi dan nepotisme.
Edhy juga dinilai menciderai kepercayaan masyarakat lantaran telah berperilaku koruptif. Uang hasil suap yang diterima Edhy juga sudah digunakan untuk kepentingan pribadi Edhy.
Hal yang meringankan yakni Edhy dianggap berlaku sopan di persidangan, belum pernah dihukum, sudah mengembalikan uang hasil suap, dan asetnya telah disita untuk pemulihan hasil korupsi.
Vonis ini tak jauh berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK. Penuntut umum pada KPK sebelumnya menuntut Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Edhy Prabowo. Jaksa meyakini Edhy menerima suap Rp 25,7 miliar.
Uang itu diberikan kepada Edhy untuk mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bening lobster atau benur kepada PT DPPP dan para eksportir benur lainnya.
Selain pidana penjara dan denda, jaksa juga menuntut hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa berupa kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan USD 77 ribu dikurangi dengan uang yang sudah dikembalikan.
Jaksa juga menuntut agar majelis hakim mencabut hak Edhy untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun setelah selesai menjalani masa pidana pokok.
Advertisement