Liputan6.com, Jakarta - Mengenali bentuk kekerasan anak jadi modal awal mencegah praktiknya di lingkungan sosial, tidak terkecuali sekolah. Dari sekian banyak, apakah mencukur rambut siswa adalah salah satunya?
Safeguarding Advisor Yayasan Plan International Indonesia, Sigit Wacono, menjelaskan, dalam kasus ini, pihak sekolah sebaiknya tidak langsung mencukur rambut anak tersebut. "Perlu assessment dulu," katanya dalam workshop guru No Go Tell: Mengembangkan Mekanisme Perlindungan Anak di Sekolah, Jumat, 23 Juli 2021.
"Anak yang rambutnya gondrong atau diwarnai itu tidak bisa langsung distigma sebagai anak nakal," imbuhnya. Ia mencontohkan kasus yang ditemuinya, yakni seorang siswa ditegur karena rambutnya diwarnai, tapi itu terjadi karena paksaan ayahnya.
Baca Juga
Advertisement
"Soal itu bentuk kekerasan atau tidak, sebenarnya kembali ke kode etik sekolah. Tapi, sekolah juga tidak bisa memberi hukuman tidak mendidik," ucapnya. Sebagai ganti, mereka harus lebih dulu mengomunikasikan isu tersebut pada orangtua.
"Surati orangtua dengan mengatakan, pihak sekolah sudah tiga kali memperingati anak untuk cukur rambut. Bila tidak merespons, pihak sekolah yang akan memotong rambut anak," kata Sigit.
Child’s Rights Advisor Yayasan Plan International Indonesia, Hari Sadewo, mengatakan, ada beberapa langkah perlindungan anak dan remaja dalam sebuah insitusi, tidak terkecuali sekolah. Pertama, soal kebijakan personalia dalam perekrutan staf. Artinya, kandidat staf sekolah tidak punya rekam jejak kasus terkait pelecehan, kekerasan, eksploitasi seksual, dan kekerasan anak.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perlindungan Anak dan Remaja di Sekolah
Tidak berhenti di situ, sekolah juga disarankan memberi pelatihan staf untuk mencegah segala bentuk pelecehan, kekerasan, dan eksploitasi seksual. "Kemudian, mengembangkan kebijakan pencegahan pelecehan, kekerasan, dan eksploitasi seksual," kata Hari.
Penting juga untuk membangun budaya perlindungan, serta menetapkan kode etik antipelecehan kekerasan, dan eksploitasi seksual. Termasuk di dalamnya menyertakan mekanisme pelaporan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah yang bertitik berat pada memberi rasa aman pada korban. "Salah satu dengan menjaga kerahasiaan identitas korban," katanya.
Sigit mengatakan, selain orangtua, guru juga seharusnya mengenali micro gesture anak. "Misal, yang tadinya aktif jadi pendiam. Biasanya semangat terlibat diskusi, tapi ini tidak. Guru harus peka pada tanda-tanda seperti ini," katanya.
Setelah itu, harus ada pendekatan secara terpisah pada si anak untuk mengonfirmasi kecurigaan tersebut. "Bisa tanya ke orangtua dulu, atau bisa juga langsung komunikasi ke anak. Semisal wali kelasnya lelaki dan muridnya perempuan, bisa juga minta tolong guru perempuan untuk melakukan pendekatan. Dengan begitu, anak mungkin merasa lebih aman," ucapnya.
Advertisement
Layanan Aduan dan Rujukan Kasus
Hari mengatakan, sekolah bisa memanfaatkan layanan aduan dan rujukan dalam menangani kasus kekerasan pada anak. Pertama, melapor ke polres terdekat, khususnya ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA).
Bisa juga dengan menghubungi kantor layanan P2TP2A atau UPTD kabupaten atau kota di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pilihan ketiga, bisa melaporkannya ke Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Rumah Sakit Bhayangkari. "Khusus DKI, melalui RPTRA kelurahan," imbuhnya.
Opsi kelima, yakni menghubungi Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di nomor 08111 129 129 atau email pengaduan@kemenpppa.go.id. Atau, melengkapi form Komnas Perempuan bit.ly/PengaduanKomnasPerempuan maupun menghubungi (021) 8030 5399.
"Ada juga aplikasi lapor kasus forum pengada layanan. Atau dengan menghubungi LBH APIK Jakarta di nomor WhatsApp 0813 8882 2669. Juga, Yayasan Pulih di nomor 0811 8436 633," tandasnya.
Eksploitasi Seksual Anak
Advertisement