Liputan6.com, Jakarta - Polres Metro Jakarta Barat mengusut dugaan kartel kremasi jenazah Covid-19. Hasil penyelidikan sementara, polisi belum menemukan kartel, melainkan calo kremasi yang menyebabkan biaya membumbung tinggi.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Barat, Kompol Joko Dwi Harsono menduga, calo kremasi tersebut beraksi secara perorangan, tidak dilakukan berkelompok maupun sindikat tertentu.
Advertisement
"Masing-masing berdiri sendiri, tidak terorganisir seperti kartel. Mereka modusnya menaikkan harga dengan motif memperoleh keuntungan," kata Joko seperti dikutip dari Antara, Sabtu (24/7/2021).
Dugaan ini muncul setelah polisi memeriksa tujuh saksi, terdiri dari pengurus Yayasan Rumah Duka Abadi, pihak yang menyebarkan pesan berantai, dan saksi fakta lainnya.
Sampai saat ini, polisi masih menyelidiki kasus tersebut dan tak menutup kemungkinan memanggil saksi lain untuk dimintai keterangan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Keluhan Kartel Kremasi
Sebelumnya diberitakan, seorang warga Jakarta Barat bernama Martin mengeluhkan adanya kartel kremasi saat pandemi Covid-19. Hal itu bermula saat ibu mertuanya meninggal dunia di salah satu rumah sakit (RS) pada 12 Juli 2021 lalu.
Di tengah suasana duka, Martin sempat dihampiri oleh seorang petugas yang yang mengaku dari Dinas Pemakaman DKI Jakarta. Petugas tersebut menawarkan bantuan mencarikan krematorium.
Namun petugas itu menyebut kremasi hanya dapat dilakukan di daerah Karawang, Jawa Barat dengan tarif Rp 48,8 juta. Martin pun terkejut dengan nominal yang disebutkan.
Sebab proses kremasi untuk kakaknya yang meninggal beberapa pekan lalu tidak mencapai Rp 10 juta. Bahkan dua kerabatnya yang juga kremasi akibat Covid-19 hanya menghabiskan biaya Rp 24 juta per orang.
"Kami terkejut dan mencoba menghubungi hotline berbagai krematorium di Jabodetabek, kebanyakan tidak diangkat, sementara yang mengangkat jawabnya sudah full," kata Martin saat dikonfirmasi, Minggu (18/7/2021).
Dianggap tarifnya terlalu tinggi, Martin lantas menanyakannya langsung kepada pihak yang mengkremasi kakaknya beberapa waktu lalu. Ternyata tarifnya pun begitu tinggi.
Lalu mereka menawarkan kremasi di Cirebon, Jawa Barat dengan tarif Rp 45 juta yang dapat dilakukan pada keesokan harinya.
Karena pihak RS minta agar jenazah segera dipindahkan, Martin menyanggupi tawaran kremasi yang di Karawang. Namun, saat itu petugas menyatakan bahwa kuota sudah penuh dan akhirnya menyanggupi yang di Cirebon.
"Besok paginya (13 Juli 2021) pukul 09.30 WIB kami sudah tiba di krematorium di Cirebon. Mobil Jenazah ibu sudah tiba sejak pukul 07.00 WIB, kami memeriksanya memastikan kebenaran peti jenazah mertua yang dibawa. Ternyata di dalam mobil jenazah tersebut ada peti jenazah lain, rupanya satu mobil sekaligus angkut dua jenazah," ucap dia.
Martin pun sempat mengobrol dengan pengurus kremasi di lokasi dan disebutkan tarifnya hanya Rp 2,5 juta. Namun karena prosesnya sesuai dengan standar protokol kesehatan, maka ada penambahan biaya lainnya.
"Sehingga diperlukan APD, penyemprotan dan lain-lain sehingga ada biaya tambahan beberapa ratus ribu rupiah," ujarnya.
Martin tak habis pikir, betapa teganya kartel kremasi ini meraup keuntungan puluhan juta rupiah dari orang-orang yang kesusahan akibat pandemi Covid-19. Hanya berbekal telepon dan lobi sana-sini, mereka membooking slot semua krematorium untuk dibisniskan.
Belum lama ini, Martin juga menerima keluhan dari rekannya yang ditawari jasa kremasi jenazah Covid-19 mencapai Rp 80 juta. "Itu pun harus tunggu beberapa hari lagi. Akhirnya diputuskan dikubur di Rorotan, gratis dibiayai pemerintah," ucapnya.
Saat ini, Martin bersama sejumlah pihak tengah fokus untuk mengupayakan pembangunan krematorium. Rencananya krematorium berkapasitas besar itu akan ditujukan bagi warga yang tidak mampu.
"Serta lobby ke Pemda agar jenazah diberikan hotel (penginapan) khusus untuk bermalam saat dalam antrean masuk kremasi," ucap Martin.
Advertisement