Situasi Myanmar yang Kesulitan Hadapi COVID-19 Disebut sebagai Ulah Junta Militer

COVID-19 semakin memperburuk Negara Myanmar karena sulitnya tes Covid dan vaksinasi.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Jul 2021, 19:02 WIB
Bendera Myanmar (unsplash)

Liputan6.com, Myanmar - Myanmar sangat membutuhkan bantuan setelah lonjakan COVID-19 telah mengubah negara berpenduduk 54 juta orang itu menjadi negara yang hancur, demikian dilansir dari laman Sea Mashable, Sabtu (24/7/2021).

Dengan pengobatan yang semakin langka dan vaksin yang sama sekali tidak tersedia, ASEAN Parliamentarians for Human Rights Group (APHR) atau anggota parlemen ASEAN untuk kelompok Hak Asasi Manusia dan International Committee of the Red Cross (ICRC) atau Komite Palang Merah Internasional sedang mendiskusikan cara terbaik untuk memberikan bantuan pada Myanmar.

Dalam webinar yang diselenggarakan oleh APHR pada 22 Juli 2021, panelis mengatakan bahwa Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara harus segera mengamankan akses kemanusiaan ke Myanmar dan menangani lonjakan COVID-19 di negara itu.

Bagaimanapun, pemerintah Myanmar harus bersikeras membiarkan pekerja independen memberikan bantuan secara langsung tanpa perlu dukungan dari junta militer yang berkuasa, tambah mereka.

Selain itu, ICRC yang netral secara politik dan independen bekerja sama dengan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah setempat untuk menyalurkan bantuan COVID-19. Upaya ini juga terintegrasi dengan operasi yang ada termasuk negara bagian Rakhine, Kachin, dan Shan yang dilanda konflik.

Dengan data resmi yang melaporkan sekitar 6.000 infeksi COVID-19 dan 230 kematian setiap hari pada 22 Juli, pengamat menunjukkan bahwa militer tidak melaporkannya.

Meskipun tidak jelas apakah Dewan Administratif Negara (nama resmi junta militer Myanmar) akan menyambut bantuan eksternal, mantan pelapor khusus PBB untuk negara itu, Yanghee Lee, mengatakan bahwa militer akan kesulitan menolak pendekatan terkoordinasi yang dipimpin oleh ASEAN.

“Jika ada intervensi kemanusiaan besar-besaran dengan negara-negara ASEAN dan dengan bantuan Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan ASEAN dalam penanggulangan bencana, saya pikir akan sangat sulit bagi militer untuk menolak ini karena menarik perhatian, begitu banyak perhatian, untuk semua hal salah yang mereka lakukan,” kata Lee di webinar.

Lee, yang juga pendiri kelompok pakar internasional yang disebut Special Advisory Council for Myanmar (SAC-M) atau Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar mengatakan bahwa militer berusaha mendapatkan kendali dengan 'mempersenjatai COVID-19'. Untuk mencekik gerakan demokrasi, dengan sengaja memicu bencana kemanusiaan, dan merusak respon internasional.

“Itulah mengapa kehadiran lembaga kemanusiaan diperlukan dan bantuan harus diberikan kepada personel internasional dan medis. Perlindungan internasional diberikan kepada personel medis Myanmar yang putus asa untuk keluar dari persembunyian dan bekerja untuk menyelamatkan negara,” tambah Lee.


Sulitnya tes COVID-19 dan vaksinasi yang belum jelas

Ilustrasi vaksin Covid-19 (unsplash)

Menurut seorang dokter yang berbasis di Myanmar, penduduk setempat merasa sulit untuk mencari perawatan medis dan melakukan tes COVID-19 karena rintangan yang diberlakukan oleh militer.

Hal ini melibatkan banyak lapisan rujukan serta mendapat sertifikat dari kantor, kota, dan pusat kesehatan kabupaten. Selain itu, pasien hanya akan diterima jika disetujui oleh pihak berwenang.

Terakhir, mantan menteri luar negeri Thailand dan anggota dewan APHR menyarankan agar ASEAN dapat mendirikan 'pusat koordinasi' di dekat perbatasan Thailand-Myanmar yang memungkinkan staf medis untuk merawat pengungsi dengan mudah.

PBB juga didesak untuk menyediakan vaksin ke Myanmar setelah tidak menerima pasokan baru sejak Mei 2021.

Baru minggu lalu, militer mengatakan bahwa Myanmar akan menerima 6 juta dosis dari Beijing, China, tetapi jenis vaksinnya masih belum diketahui.

Dengan demikian, sekitar 1,75 juta orang telah divaksinasi. Terlepas dari gelombang ketiga COVID-19, ditambah dengan konflik militer di Myanmar yang memberikan tekanan besar pada sistem kesehatan yang sudah tegang, ICRC beserta ratusan pekerja bantuannya berhasil membantu dengan cara 'netral, tidak memihak, dan independen' di negara seluruh dunia.

“Kebutuhan orang-orang yang terkena dampak ancaman ganda konflik bersenjata dan kekerasan, dan COVID-19 tetap ada. Kami berharap pekerjaan kami di kedua bidang ini terus berlanjut.”

“Kami memantau tantangan ini dengan cermat saat mencoba mencari solusi,” ujar manager komunikasi ICRC di Myanmar, Jacqueline Fernandez.

 

Reporter: Ielyfia Prasetio

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya