Liputan6.com, Jakarta - Pagi itu, Kamis, 26 Juli 2001, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita masih berkegiatan seperti biasa. Dia berangkat kerja ke Mahkamah Agung (MA) bersama sang sopir dengan menggunakan Honda CRV B 999 KX.
Di perjalanan menuju kantor, mobil yang ditumpangi Syafiuddin tiba-tiba disalip oleh pengendara RX King yang berboncengan di Jalan Pintu Air Serdang Kemayoran Jakarta. Tak disangka, pria yang dibonceng memuntahkan rentetan tembakan dari senjata FN 45 ke arah Syafiuddin.
Advertisement
Timah panas itu pun tembus ke lengan, dada, dan rahang kanan Syafiuddin. Ketua Muda Bidang Hukum Pidana MA itu akhirnya meregang nyawa, sedangkan sang sopir selamat dari timah panas. Jenazah Syafiuddin dimakamkan di Taman Pemakanan Umum (TPU) Tanah Kusir Jakarta.
Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com mencatat, insiden berdarah yang menewaskan penegak hukum ini terjadi tepat dua dekade silam.
Soimah, istri Syafiuddin mengatakan bahwa suaminya adalah orang yang sangat pendiam, pandai bersosialisasi dengan siapa saja, dan senang bercanda. Dengan sifat seperti itu, Soimah pun meyakini bahwa suaminya tak memiliki musuh.
"Bapak itu sangat pendiam. Dia tidak terlalu suka bicara banyak. Memang sesekali saya suka mendengar keluhan Bapak kalau dia sangat lelah menjadi Hakim Agung yang dibebani berbagai perkara sulit," kata Soimah sebagaimana dikutip dari artikel yang tayang di Liputan6.com, 30 Juli 2001.
Tak berselang lama, aparat kepolisian Polda Metro Jaya membentuk Tim Kobra untuk menyelidiki kasus kematian hakim Syafiuddin Kartasasmita. Adapun Tito Karnavian yang saat itu menjabat Kepala Satuan Reserse Umum Polda Metro ditunjuk sebagai komandan tim.
Setelah melakukan serangkain penyelidikan dan meminta keterangan saksi-saksi, polisi mensinyalisasi pembunuhan terkait dengan sejumlah kasus yang ditangani Syafiuddin di MA. Sejumlah nama-nama besar di Indonesia pun masuk dalam bidikan polisi.
Tak sampai satu bulan, penyelidikan kasus kematian Syaifuddin menemui titik terang. Polisi meringkus Mulawarman di Jalan Fatmawati Jakarta Selatan pada 7 Agustus 2001 malam. Selang sehari, Noval Hadad ditangkap di Bidara Cina Jakarta Timur.
"Mulawarman yang mengendarai sepeda motor. Sedangkan Noval yang menembak Syafiuddin," ujar Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, Kepala Polda Metro Jaya kala itu.
Dari kesaksian keduanya, terungkap bahwa dalang dari pembunuhan hakim Syafiuddin adalah anak dari Presiden ke-2 RI Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Keduanya mengaku diperintah Tommy dengan iming-iming akan diberi imbalan uang sebesar Rp 100 juta.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Vonis Tommy Soeharto Malah Disunat MA
Tempo (2006), melaporkan bahwa salah satu motif pembunuhan yang terungkap dalam persidangan adalah Tommy tertekan karena merasa diperlakukan tidak adil dalam perkara korupsi Goro yang ditangani oleh hakim Syafiuddin.
Saat itu, Tommy merupakan terpidana kasus tukar guling antara PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog, bersama Ricardo Gelael. Tommy divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lalu, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi.
Majelis Kasasi yang diketuai oleh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 22 September 2000 menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp 30,6 miliar kepada Tommy dan Gelael. Namun, Tommy kabur saat hendak dieksekusi 18 bulan penjara.
Tito bersama anak buahnya bergerak cepat dan berhasil menangkap Tommy di sebuah rumah di kawasan Bintaro, Jakarta. Waktu itu, Tommy telah berganti identitas dengan nama Ibrahim.
Noval dan Mulawarman divonis hukuman seumur hidup. Sementara itu, Tommy Soeharto hanya dihukum 15 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena terbukti menjadi otak pembunuhan Syafiuddin Kartasasmita.
Kemudian, Tommy mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang memimpin sidang PK Tommy malah menyunat hukumannya menjadi 10 tahun penjara.
Padahal, dalam persidangan terungkap Tommy terbukti menyimpan sejumlah senjata api dan bahan peledak. Selain itu, Tommy terbukti terlibat pembunuhan Syafiuddin, dan kabur saat ditahan.
Hukuman Tommy kemudian dipangkas menjadi 10 tahun penjara oleh Mahkamah Agung dan menjalani masa hukuman di Nusakambangan Jawa Tengah. Nyatanya, Tommy bebas lebih cepat pada 1 November 2006, setelah beberapa kali mendapat potongan masa tahanan.
Istri mendiang Syafiuddin, Soimah menilai pembebasan bersyarat Tommy Soeharto penuh rekayasa. Hal ini lantaran Tommy mendapatkan keringanan hukuman dari Mahkamah Agung dan remisi hingga enam kali.
"Mereka semua yang atur itu supaya Tommy cepat bebas. Kalau tak direkayasa, pasti dia masih di dalam (penjara)," ucap Soimah dikutip dari Koran Tempo (2006).
Ia mengaku amat sakit hati mendengar kabar pembebasan Tommy Soeharto. Kenangan akan suaminya yang meninggal dunia karena ditembak seketika muncul setiap ada nama Tommy Soeharto dalam pemberitaan.
"Padahal kami ingin melupakan itu," ujarnya.
Advertisement
Hakim Agung Spesialis Kasus Kakap
Syafiuddin Kartasasmita lahir di Jakarta, 5 Desember 1940. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu pernah menerima penghargaan bintang Satya Lencana Karya Sewindu (1996) dan Bintang Mahaputera Utama (1999).
Hakim agung senior ini juga pernah menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum 1999. Syafiuddin dikenal sebagai hakim yang kerap menangani kasus-kasus kelas kakap.
Dia tercatat menjadi pimpinan majelis hakim dalam kasasi mantan Presiden Soeharto, kasasi Tommy Soeharto, kasasi Bob Hasan, dan kasasi Joko S Tjandra dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada Bank Bali. Almarhum juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengadilan Ad Hoc untuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Syafiuddin pernah mengaku ke istrinya bahwa kasasi Tommy Soeharto-lah yang menjadi kasus terberat dari semua kasus yang pernah ditangani. Bahkan, Syafiuddin kerap mengeluh lelah menangani kasus kasasi Tommy Soeharto.
"Kasus Tommy-lah yang suka dikeluhkan Bapak. Bapak suka mengeluh capek menangani kasus itu," tutur Soimah.