Liputan6.com, Malang - Pegiat antikorupsi menilai Pemkot Malang belum serius dalam memberikan jaminan sosial untuk warga terdampak secara ekonomi selama pandemi Covid-19. Terutama selama masa penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro.
Salah satu indikasinya, nilai penyaluran bantuan sosial atau bansos Kota Malang untuk warga terdampak Covid-19 masih rendah. Dibanding dengan anggaran makan minum pejabat maupun perjalanan dinas masih yang nilainya jauh lebih besar.
Baca Juga
Advertisement
“Pemerintah seharusnya lebih bijak dalam mengelola anggaran publik. Kebutuhan dan kesejahteraan warga selama pandemi belum jadi prioritas,” kata Koordinator Divisi Riset dan Informasi Malang Corruption Watch (MCW), Janwan Tarigan, Senin, 26 Juli 2021.
Hasil analisis MCW menyebutkan, APBD Kota Malang 2021 ini sebesar Rp 2,5 triliun. Dari jumlah itu, hanya 2,58 persen atau sebesar Rp 65,9 miliar dialokasikan untuk Belanja Tidak Terduga (BTT) penanganan Covid-19.
Dari seluruh BTT tersebut, yang diperuntukkan bagi bansos untuk warga terdampak hanya sebesar Rp 16,6 miliar. Disalurkan sebagai bansos tunai sebesar Rp 300 ribu kepada 34.884 Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Alokasi anggaran untuk bansos Kota Malang terbilang sangat kecil dibanding dengan alokasi belanja makan dan minum rapat sebesar Rp 27,7 miliar. Bahkan belanja perjalanan dinas menghabiskan Rp 67,7 miliar.
“Itu menunjukkan Pemkot Malang belum memprioritaskan perlindungan sosial untuk warganya,” kata Janwan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Penanganan Setengah Hati
Pemkot Malang sendiri juga berencana memotong tunjangan tambahan penghasilan pegawai untuk aparatur sipil negara (ASN) kelas jabatan 7 sampai 16. Dari pemotongan itu ditaksir terkumpul dana sebesar Rp 10 miliar untuk membantu penanganan Covid-19.
MCW menilai rencanya itu adalah sebuah program yang sangat tanggung. Menunjukkan pemerintah kota sejak tak memiliki perencanaan program yang terukur. Tidak belajar sejak pandemi menghajar pada 2020 lalu.
“Seharusnya pengalaman tahun lalu menghasilkan sebuah kebijakan yang lebih baik. Ternyata tidak sama sekali, kebijakannya masih setengah hati,” ujar
Mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka pandemi Covid-19 menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat sehingga layak diterapkan kekarantinaan kesehatan.
Berdasar UU itu, tiap orang berhak mendapat hak layanan kesehatan dasar sampai kebutuhan hidup sehari-hari selama masa karantina. Sebab pandemi meningkatkan dan kerentanan sosial. Karena itu negara wajib memberi perlindungan sosial ke warga.
Dengan begitu, dari total APBD 2021 sebesar lebih dari Rp 2,1 triliun seharusnya dapat dikelola dengan baik. Sejumlah pos belanja yang tak terlampau mendesak dan tak masuk prioritas demi perlindungan sosial rakyat seharusnya dihapus.
“Pemkot harus menghapus operasional birokrasi yang tidak memungkinkan terlaksana saat pandemi seperti perjalanan dinas maupun proyek fisik,” ucap Janwan.
Bila tetap memaksa ada anggaran belanja makan dan minum rapat, maka dapat ditempuh dengan memanfaatkan para pedagang kaki lima. Memborong atau memesan makan dan minum milik PKL untuk kebutuhan rapat di lingkungan pemkot.
“Kalau itu bisa diterapkan selama PPKM tentu luar biasa, turut langung membantu warga secara ekonomi,” kata Janwan.
Advertisement