Struktur Cukai Rokok di Indonesia Rumit, Apa Ruginya?

Kompleksitas sistem tarif cukai rokok atau hasil tembakau (CHT) di Indonesia dinilai menghambat optimalisasi pengendalian konsumsi tembakau

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jul 2021, 14:15 WIB
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

 

Liputan6.com, Jakarta Kompleksitas sistem tarif cukai rokok atau hasil tembakau (CHT) di Indonesia dinilai menghambat optimalisasi pengendalian konsumsi tembakau dan penerimaan negara. Keduanya dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah untuk dapat bangkit dari dampak pandemi COVID-19.

Ekonom Tax Center Universitas Indonesia, Vid Adrison, mengatakan bahwa struktur tarif CHT di Indonesia menjadi rumit karena penggolongan tarif cukai berdasarkan 4 komponen yakni teknik produksi, rasa, golongan produksi, dan harga banderol.

“Keempat aspek ini mengakibatkan kompleks, jadi ada 10 tier. Kerugiannya adalah pada sisi pengendalian konsumsi. Pasalnya, tarif yang berlapis atau berbeda-beda membuat perusahaan bisa mencari posisi di mana tarif yang optimum baginya,” ujarnya, Rabu (28/7/2021).

Itulah sebabnya Vid mengatakan, stuktur tarif CHT sebaiknya disederhanakan untuk mengoptimalkan pengendalian konsumsi tembakau dan mengoptimalkan revenue alias penerimaan negara.

Dia mengatakan, struktur tarif CHT yang kompleks bisa membuka celah bagi perusahaan untuk memproduksi rokok dengan tarif cukai yang lebih rendah.

“Jadi kalau seandainya perusahaan merasa cukainya di golongan 1 terlampau tinggi, sementara marketnya katakanlah hanya tiga koma sekian miliar batang, mereka memilih menurunkan di bawah 3 miliar batang. Sekalipun tidak bisa menjual banyak, tapi setidaknya membayar pajak atau cukai lebih rendah,” katanya.

Terkait pembayaran cukai rokok ini, tentu yang paling berdampak adalah tidak optimalnya penerimaan negara. “Implikasi dari struktur cukai yang kompleks ini mengakibatkan perusahaan mungkin bisa membatasi kenaikan harganya di tarif yang lebih rendah,” kata Vid.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tidak Melanggar Hukum

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Walau praktik ini sebenarnya tidak melanggar hukum, hal ini menimbulkan kerugian yakni terhambatnya pengendalian konsumsi karena perusahaan akan terus berusaha agar produknya memiliki harga yang terjangkau. Ditambah lagi, potensi penerimaan negara dari sektor CHT juga tidak optimal.

“Karena tujuan cukai itu untuk pengendalian konsumsi. Maka itu, struktur tarifnya harus simpel, tarifnya enggak banyak," ujarnya.

Senada, Program Manager di Perkumpulan Prakarsa Herni Ramdlaningrum mengatakan, struktur rumit yang diterapkan saat ini pada cukai hasil tembakau juga membuat penerimaan negara dari cukai rokok tidak optimal. Dia menilai bahwa kerumitan stuktur CHT, membuka peluang bagi pabrik rokok untuk melakukan pengindaran pajak.

“Sangat bisa (bagi pabrikan rokok) untuk melakukan penghindaran pajak dengan membayar tarif yang lebih murah, karena struktur yang terlalu rumit sehingga pengawasan oleh otoritas juga menjadi sulit,” katanya.

Selain itu, katanya, rumitnya struktur tarif CHT memungkinkan pabrik rokok yang besar bisa mengklaim bahwa perusahaan memproduksi jumlah yang lebih kecil daripada kenyataannya. Akhirnya hal ini memungkinkan pengusaha untuk memproduksi rokok tidak melebihi ketentuan agar bisa mendapatkan tarif cukai yang rendah. “Potensi kehilangan pajak juga sangat tinggi dari sana,” katanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya