Liputan6.com, Jakarta Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Willy Aditya mengatakan pihaknya bakal memaparkan naskah awal RUU PKS pada masa sidang I 2021-2022.
"Insya Allah masa sidang yang akan datang tanggal 18 Agustus kami akan mempresentasikan naskah awal," kata Willy dalam sebuah acara yang disiarkan lewat kanal YouTube Rarie Lestari Moerdijat, Rabu (28/7/2021).
Advertisement
Kandati sebelumnya proses penyusunan terhambat pandemi Covid-19, namun menurut Willy pihaknya berusaha sekeras mungkin demi merampungkan naskah tersebut.
"Jadi sekarang saya sedang bekerja dengan tim. Memang kita memiliki keterbatasan karena PPKM, bekerja secara virtual. Tapi tim sudah melakukan proses penyusunan setelah empat kali RDP," jelasnya.
Willy menerangkan alasan mengapa RUU PKS ini ditarik ke Baleg. Menurutnya hal itu supaya mempercepat proses penyusunan.
"Jadi saya dalam rangka mempercepat proses penyusunan naskahnya," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Willy menekankan pentingnya produk hukum yang juga menjadi sarana literasi seksual di masyarakat. Upaya pihaknya untuk menggulirkan RUU PKS untuk menjadi undang-undang merupakan salah satu upaya demi mencapai hal tersebut.
Hal itu, lanjut Willy demi menumpas budaya yang menjadikan pembahasan soal seksualitas menjadi hal yang tabu.
"Yang penting adalah bukan sexual education-nya, tapi adalah literasi sendiri. Ini narasi yang harus kita bangun bersama-sama bagaimana edukasi tentang literasi seksualitas itu menjadi sangat penting. Karena kita sedang melawan budaya feodalisme yang selama ini selalu meletakan seksualitas menjadi budaya yang tabu untuk diperbincangkan," tegas Willy.
"Tembok besar ini yang harus kita terebas," sambungnya.
Urgensi Keberadaan RUU PKS
Dalam kesempatan itu, Willy pun mengungkapkan urgensi keberadaan UU PKS. Di mana ia menjelaskan bahwa demi mengisi kekosongan hukum di Indonesia soal aturan terkait.
Anggota dewan dari Fraksi Partai NasDem itu menuturkan, selama ini penegak hukum tidak bisa banyak bertindak saat menghadapi berbagai kekerasan seksual yang timbul lantaran payung hukumnya belum memadai. Menurut Willy aturan dalam KHUP pun belum mumpuni buat mengatur hal tersebut.
"Jadi keberadaan pentingnya UU ini untuk memberikan legal standing terhadap kekerasan seksual itu sendiri," ucap dia.
Di samping hadirnya UU ini, lanjut Willy demi membuat para aparat penegak hukum memakai perspektif korban saat menghadapi kasus-kasus kekerasan seksual.
"Selama ini pendekatan aparat hukumkan pada pelaku semata-mata, korban sering kali mendapatkan stigmatisasi," ujar Willy.
Hal ini diperkuat dengan istilah-istilah yang berkembang di masyarakat yang mengibaratkan korban kekerasan seksual dengan pernyataan "sudah jatuh tertimpa tangga, terus dilempari".
Terakhir, UU ini menurut Willy hadir demi memberikan perlindungan kepada korban bukan justru pelaku.
"Tentu ini harus berpihak kepada korban," tandasnya.
Advertisement