Liputan6.com, Jakarta Kebutuhan listrik diprediksi mencapai 1.800 TWh pada 2060. Prediksi ini mengacu pada asumsi pertumbuhan konsumsi listrik mencapai 4,6 persen.
"Berarti akan ada penambahan kapasitas pada 2060 sebesar 1.500 TWh atau lima kali lipat dari kapasitas listrik di tahun ini sebesar 300 TWh," ujar Wakil Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo, Jumat (30/7/2021).
Advertisement
Dia menuturkan jika dengan melihat kondisi tersebut, direncanakan penambahan kapasitas pembangkit untuk menutup selisih kebutuhan dan pasokan listrik, akan didominasi dengan energi baru dan terbarukan (EBT). Namun bukan berarti PLN akan membangun pembangkit baru dan menutup pembangkit lama.
Beberapa dari pembangkit yang sudah berjalan akan program co-firing, memasifkan penggunaan kendaraan listrik, mengonversi pembangkit listrik primer tenaga diesel dan batu bara dengan pembangkit EBT secara bertahap, dan yang lainnya.
Dia mengatakan PLN meningkatkan investasi yang diarahkan kepada pengembangan energi baru terbarukan (EBT) guna mendukung komitmen untuk mendorong pencapaian nol emisi karbon atau net zero emission pada 2060.
Saat ini, PLN tengah mendorong transisi energi dan dekarbonisasi dengan strategi bertahap guna mencapai target nol emisi karbon pada 2060.
"PLN akan mulai memensiunkan generasi pertama PLTU (subcritical) pada 2030 dan dilanjutkan pada tahun berikutnya, sehingga pada 2060 seluruh PLTU digantikan pembangkit berbasis EBT," jelas dia.
Sebab itu dalam tahun-tahun mendatang akan banyak megaproyek PLN untuk membangun pembangkit EBT akan mulai bermunculan.
Meskipun saat ini kondisi ketenagalistrikan nasional tengah kelebihan pasokan, namun PLN berkomitmen akan terus meningkatkan bauran EBT sesuai dengan target yang dicanangkan.
PLN dikatakan harus tetap mempertimbangkan kondisi supply and demand agar kondisi oversupply yang saat ini terjadi dapat membaik.
Karena dengan kondisi saat ini, keuangan PLN cukup terbebani karena masih harus membayar listrik dari pihak ketiga yang hanya diutilisasi sebagian.
"Pemerintah menetapkan bahwa PLN harus membayar semua listrik yang dihasilkan oleh pihak ketiga. Oleh karena itu, saat ini PLN harus cermat dalam menghitung dan mengalokasikan pasokan listrik agar tidak memberikan dampak yang jauh lebih buruk bagi keuangan," terang Darmawan.
3 Faktor Kegagalan Proyek
Founding Director of The University of Oxford's program on Sustainable Capital-Intensive Industries, Atif Ansar pada kesempatan yang sama di acara tersebut, mengingatkan tiga faktor yang berpotensi memicu kegagalan megaproyek.
Faktor pertama adalah pelaku proyek terlampau optimistis dan tidak melihat adanya kerikil yang menghambat keberlangsungan proyek tersebut.
Faktor kedua, dalam membuat rancangan induk megaproyek, inisiator akan mengerek nilainya supaya dapat lebih mudah mendapatkan fasilitas keuangan.
Dalam hal ini, tidak sedikit inisiator megaproyek terlalu besar menggelembungkan nilainya tanpa melihat faktor risiko yang menyertainya.
"Faktor terakhir adalah kompleksitas. Tidak sedikit inisiator proyek membuat perbandingan secara linear, padahal dalam prakteknya dalam membangun sebuah megaproyek banyak faktor yang harus dihitung secara pararel," jelas Atif.
Darmawan menyatakan sependapat dengan Atif. Oleh karenanya, untuk pembangunan pembangkit EBT ke depan, PLN akan melakukannya dengan cermat. Apabila di suatu daerah, suplai listriknya sudah melebihi kapasitas, maka pembangkit EBT sebaiknya tidak dibangun.
“Pertama, keselarasan pasokan dan kebutuhan. Kedua, aspek lingkungan dan berikutnya sudah barang tentu keterjangkauan karena kita ingin semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkannya” pungkasnya.
Advertisement