Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Ukay Karyadi meminta update stok obat terapi Covid-19 dilakukan tiga kali sehari. Hal ini guna mengantisipasi terjadi perbedaan stok obat yang ditampilkan dan yang ditemukan masyarakat di apotek penyalur.
Ukay mengatakan bahwa stok yang ditampilkan aplikasi Farmaplus melalui website farmaplus.kemkes.go.id bukan stok secara real time. Akibatnya, saat masyarakat yang membutuhkan mencarinya ke apotek, belum tentu bisa mendapatkannya.
Advertisement
“Farmaplus kurang update, kalau sore, berarti orang belanjanya malam, berarti (masyarakat belanja) harus malam, sementara apotek sudah banyak tutup, sebaiknya, kalau mau pergunakan fasilitas internet, ya harus di-update, jangan sehari sekali tapi sehari tiga kali,” katanya dalam forum virtual, Jumat (30/7/2021).
Dengan demikian, masyarakat tidak akan dikecewakan karena tidak menemukan obat yang dicarinya ketika ke apotek. Lebih lanjut, masukan-masukan yang disampaikan KPPU diharapkan mampu menjadi perbaikan dalam sistem yang dijalankan pemerintah.
“Minimal masyarakat tenang, yang sakit bisa mudah peroleh obat tanpa harus diombang ambing ketidakpastian,” imbuhnya.
Lebih lanjut, menanggapi kelangkaan dan harga obat serta oksigen yang lebih tinggi dari harga ecer yang ditetapkan pemerintah, pihaknya mengaku akan melakukan advokasi lebih lanjut.
“Kami sudah melakukan penegakan hukum, kami tidak bisa bicara terlalu banyak (saat ini), ini dalam rangka advokasi kebijakan, agar pemerintah melakukan perbaikan,” tegasnya. .
Minimnya margin yang ada karena HET yang ditetapkan pemerintah tak banyak memberikan pilihan bagi pelaku usaha ritel, yakni apotek di daerah. Dengan demikian, banyak apotek yang memilih untuk tidak menjual obat Covid-19 tersebut.
“Ada apotek mengeluh karena sering diperiksa terkait penetapan harga. Pilihan logisnya karena margin tipis, mending jualan vitamin aja,” katanya.
Sementara itu, terkait produksi obat yang bergantung pada pasokan dari luar negeri, ia memandang terjadi hambatan. Sebagai solusinya, ia meminta untuk menekankan pada produksi obat dalam negeri dengan mengedepankan riset terlebih dahulu.
“Bahwa ternyata mekanisme pasar tidak berjalan sepenuhnya karena baik industri farmasi lokal tergantung bahan dari luar (negeri/impor),” katanya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Temuan Soal Pasokan dan Permintaan
Survei Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan terhadap obat Covid-19. Hal tersebut diduga dipicu oleh harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah memiliki marjin yang terlalu kecil.
Direktur Ekonomi KPPU, M Zulfirmansyah menuturkan hasil survei yang dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Hasilnya, terjadi lonjakan harga obat Covid-19 yang melampaui HET yang ditetapkan pemerintah.
Kenaikan ini diduga memicu juga kelangkaan obat di sektor pengusaha ritel farmasi seperti di apotek-apotek kecil di daerah.
“Dari pantauan kita, memang di seluruh kanwil pengawasannya terjadi kenaikan harga di atas HET, sangat variatif kenaikannya,” katanya dalam forum virtual, Jumat (30/7/2021).
Lebih lanjut ia menerangkan, secara umum wilayah Jawa-Bali ditemukan banyak yang mematok harga diatas HET. Selain itu, di wilayah timur Indonesia, tingginya harga obat diduga karena biaya distribusi yang tinggi.
Saat ini, KPPU sedang melakukan penelitian berkelanjutan terkait harga obat dan pasokan obat di daerah. Dalam perkembangannya, saat ini pihaknya akan memfokuskan pantauan di daerah yang memiliki stok obat tinggi.
“Beberapa daerah ada ketersediaan obat yang surplus, bahkan hingga ribuan persen, ini jadi fokus penelitian kita, apabila harganya diatas HET,” katanya.
Tingginya harga yang dipatok usaha ritel masih sebatas dugaan, kata Zulfirmansyah. Namun, ditemukan beberapa lokasi dari laporan tiap Kanwil KPPU menunjukkan minimnya ketersediaan stok obat.
“Ini masih tahapan penelitian, ini karena menahan atau tak punya stok. Beberapa memang ketersediaan tidak ada. Ini masih dugaan. Namun kita miliki data supply demand, saya punya data tapi belum bisa di share,” katanya.
Advertisement
Tindak Lanjut
Menindaklanjuti terhadap temuannya tersebut, KPPU menyarankan tiga opsi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi perbedaan harga obat Covid-19 di tingkat ritel atau apotek.
Pertama, pemerintah perlu melakukan reformulasi HET dengan penyesuaian marjin yang wajar bagi pelaku farmasi di tingkat ritel.
Kemudian, memberlakukan HET dengan menyediakan insentif antara lain berupa subsidi untuk menutup sebagian biaya distribusi. Dengan demikian, diharapkan pelaku ritel tidak terlalu terbebani untuk menjual obat yang dibutuhkan masyarakat.
Solusi lainnya, jika pemerintah masih menggunakan HET yang berlaku saat ini, perlu menggunakan jaringan apotek BUMN dan fasilitas kesehatan milik pemerintah baik di pusat dan daerah sebagai jalur distribusi obat tersebut.
“Asumsinya, jaringan apotek dan faskes pemerintah dapat memenuhi sebagian besar permintaan terhadap produk obat esensial Covid-19 tersebut,” katanya.
Infografis 11 Aplikasi untuk Konsultasi Online dan Obat Gratis Pasien Isolasi Mandiri Covid-19
Advertisement