Liputan6.com, Blora - Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) di Kabupaten Blora untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang terdampak Covid-19 jadi gaduh di media sosial. Pasalnya, muncul data menyebar yang mengategorikan 10 desa terburuk dalam merealisasikan bantuan tersebut.
Kegaduan itu salah satunya terjadi antar mantan anggota DPRD di kota setempat, yakni, Seno Margo Utamo dan Joko Supratno.
Pengakuan Seno Margo Utomo, dirinya sengaja menyebarkan data yang diperolehnya itu karena realisasi penyaluran BLT DD dipandangnya rendah atau buruk. Serta, kata dia, tidak sesuai dengan arahan pemerintah pusat.
"Ini tentu merugikan masyarakat yang harusnya berhak mendapatkan," kata Seno kepada Liputan6.com, Senin (2/8/2021).
Baca Juga
Advertisement
Politikus dari Fraksi PKS Kabupaten Blora ini mengungkapkan, bahwa pemerintah hadir memberikan berbagai bantuan pada masa pandemi Covid-19. Salah satunya melalui BLT DD.
Menurut Seno, bantuan yang rencananya akan direalisasikan selama 12 bulan pada tahun 2021 ini, nilainya sebesar Rp 300 ribu untuk tiap-tiap KPM. Dia menegaskan, sejumlah fakta berdasarkan data secara tertulis telah dimilikinya secara lengkap.
"Fakta di Blora, alokasi BLT DD seharusnya 80 sampai 106 miliar untuk 22 ribu KPM. Tapi baru direalisasikan 15 ribu KPM," katanya.
Untuk Kabupaten Blora, dirinya berharap dari adanya kegaduhan, baik itu di sejumlah media sosial atau grup WhatsApp, bisa memberikan perubahan dalam penyaluran BLT DD di lapangan.
Sementara itu, Joko Supratno ketika dikonfirmasi Liputan6.com mengungkapkan, bahwa pengategorian adanya 10 desa terburuk dalam merealisasikan penyaluran BLT DD tidak berdasar fakta di lapangan.
"Proses dikategorikannya itu dasarnya apa? Karena pencairan BLT DD itu harus lewat musyawarah desa," ujar Joko.
Mantan wakil rakyat dari fraksi Partai Nasdem Kabupaten Blora ini menjelaskan, bahwa jika ada perubahan tentang hasil keputusan musdes, maka biasanya harus diadakan melalui musdes khusus terlebih dahulu.
Menurut Joko, penyaluran BLT DD untuk KPM terdampak Covid-19 di Kabupaten Blora kondisinya hanya gaduh di media sosial saja. Dia mengungkapkan, seperti di kampungnya Desa Adirejo, Kecamatan Tunjungan, sangat baik realisasinya.
"Luar biasa baik realisasinya. Ora ono komplen neng deso (tidak ada komplen di Desa Adirejo)," katanya.
Lebih lanjut, Joko juga mengungkapkan bahwa seperti di kampungnya tersebut biasanya jika ada warga miskin yang meninggal, justru dibantu oleh Kepala desa (Kades) sendiri.
"Jika ada keluarga yang meninggal, itu (Desa Adirejo) malah disumbang Kadesnya sendiri. Ini bukan dalam artian pamer lho ya, ini satu contoh bahwa tingkat kepedulian Bu Kades saya itu bisa dicontoh desa lain," katanya.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Diklarifikasi dalam Rapat Tertutup
Sekadar diketahui, karena kegaduhan ini, akhirnya dari 10 pihak desa yang dikategorikan terburuk dalam merealisasikan BLT DD tahap I (Januari sampai dengan Mei 2021) telah dimintai klarifikasinya dalam rapat tertutup yang digelar oleh Komisi A DPRD Kabupaten Blora dengan turut menghadirkan sejumlah Camat dan pihak Dinas PMD Kabupaten Blora.
Adapun desa yang dipanggil adalah dari Kecamatan Kunduran yaitu Desa Botoreco, dari Kecamatan Ngawen yaitu Desa Rowobungkul, dari Kecamatan Kradenan yaitu Desa Getas, dari Kecamatan Tunjungan yaitu Desa Adirejo dan Desa Sukorejo, dari Kecamatan Sambong yaitu Desa Brabowan, dari Kecamatan Randublatung yaitu Desa Kadengan, dari Kecamatan Jati yaitu Desa Gabusan dan Desa Randulawang, serta dari Kecamatan Jepon yaitu Desa Tempellemahbang.
Usai rapat tertutup tersebut digelar, diketahui para Kades enggan dimintai penjelasannya oleh sejumlah awak media. Termasuk juga Kades Adirejo, Kecamatan Tunjungan.
"Mboten usah (Tidak usah)," jawab Kades Adirejo, Sri Lestari ketika ditanya seusai acara klarifikasi tertutup yang digelar di ruang Komisi A DPRD Kabupaten Blora.
Advertisement