Tarian Sogoh, merupakan tarian pemujaan Suku Mbare, komunitas etnis yang menetap di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tarian ini muncul tak sembarang waktu, sebab kesakralan yang terkandung di dalamnya khusus ditujukan untuk memuja arwah para leluhur.
Pada masa ketika alam begitu keras menekan sehingga kekeringan terasa berkepanjangan, Sogoh hadir sebagai tarian pengantar. Pengantar untuk sebuah Mbela, tradisi tua yang tak lekang ditelan zaman sebab ini adalah pertarungan tinju dalam nuansa adat.
Setiap tahun, Suku mbare tak bisa lepas dari jadwal prosesi adat. Seperti sekarang ini ketika warga Mbare sedang disibukkan dengan ritual terkait dengan ketikdakmenentuan cuaca. Sebagian besar wilayah Nagekeo adalah padang luas, tanah kerontang yang memang akrab dengan keseharian warga.
Tak mudah menjadi petani di sini, sebab watak alam raya menjadi satu-satunya faktor yang membuat benih padi tumbuh dan bisa dipanen. Bagi Suku Mbare, kemarau adalah guru. Dari musim kering yang seolah tiada akhir, warga bare harus pintar-pintar menyiasati gejala cuaca. Jadwal prosesi adat saban tahun harus mereka patuhi sebab itu akan menjadi acuan untuk bercocok tanam, melaut, termasuk pula berburu.
Lewat prosesi pula, etnis Mbare bisa lebih waspada menghadapi bencana atau malapetaka. Andai mengingkari aturan adat mereka yakin musibah pasti bakal datang menerjang. Setidaknya, hal itulah yang diwariskan nenek moyang mereka sejak ratusan tahun silam.
Lelaki yang lahir di Nagekeo, tak akan bisa menolak takdir sebagai petarung. Hal ini disadari betul oleh bocah-bocah Mbare. Sejak belia, mereka terbiasa berada dalam lingkungan adu tinju. Siang atau malam, terlebih lagi ketika jadwal prosesi adat tahunan digelar berlatih adu tinju bukanlah hal yang aneh.
Ini bukanlah baku pukul model perkelahian liar melainkan tinju murni warisan adat, tradisi nenek moyang yang di setiap desa di nagekeo pasti melakukan secara bergiliran. Tak ada urusan dengan rasa takut, tak ada pula rasa dendam. Bocah lelaki Mbare paham betul cara menghormati tradisi tanpa melahirkan amarah berlarut-larut.
Pada setiap ajang pertarungan, anak mbare yang ditunjuk harus siap melaksanakan perintah untuk masuk arena. Mereka tak boleh mengelak, apalagi sampai menolak. Demi harga diri seorang ksatria sang anak tak boleh gentar. Mereka harus menjadi pria sejati meski wajah babak-belur.
Dalam Mbela, petinju hanya menggunakan gwolet, semacam sarung tinju berisi tulang koli yang dililit dengan benang jala untuk mencari ikan. Di ujungnya ada butiran pasir yang menempel dengan getah pohon ara. Bila seseroang terkena hantam, pasti bakal nyeri. Tapi mereka percaya rasa sakit demi adat adalah penghormatan pada warisan leluhur.
Advertisement
Tak akan ada anak yang terluka dalam Mbela, andai pun ada yang cedera dijamin bakal pulih melalui sentuhan tangan pemuka suku.(ADI)