Liputan6.com, Jakarta - Gigabyte, produsen dan distributor hardware komputer yang berbasis di Taiwan ini telah menjadi korban serangan ransomware.
Berdasarkan laporan Bleeping Computer dan United Daily News, Gigabyte diserang ransomware antara 3 Agustus dan 4 Agustus.
Advertisement
Dikutip dari laporan sama via Engadget, Senin (9/8/2021), perusahaan mengonfirmasi, infrastruktur TI dan beberapa server yang terpengaruh oleh ransomware ini langsung ditutup aksesnya.
Walau tidak ingin mengungkap lebih lanjut tentang dampak ransomware tersebut, beberapa petunjuk mengindikasikan serangan itu berdampak buruk dari yang disebutkan.
Menurut sumber Bleeping Computer, kelompok RansomEXX mengklaim telah mencuri data internal sebesar 112GB yang mencakup komunikasi rahasia dengan Intel, AMD, dan American Megatrends, serta dokumentasi di bawah NDA.
Grup tersebut mengancam akan mempublikasikan semua data yang dicuri kecuali Gigabyte bersedia membayar.
Gigabyte mengatakan, pihaknya telah menghubungi penegak hukum terkait serangan ransomware ini. Tetapi, perusahaan tidak mengungkap apakah akan membayar uang tebusan kepada RansomEXX.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Siapa RansomEXX
Lebih lanjut, RansomEXX dibentuk pada 2018 dengan nama Defray. Namun pada 2020 mereka mengubah nama, dan menargetkan organisasi yang semakin terkenal.
Adapun target mereka, termasuk pemerintah Brasil, Departemen Transportasi Texas, dan telekomunikasi yang dipimpin oleh negara bagian Ekuador.
Masih belum diketahui dengan pasti apakah grup ini terkait dengan kelompok REvil yang menyerang Acer serta pemasok Apple, yakni Quanta.
Advertisement
Palo Alto Networks Giat Perangi Ransomware
Sebagai bagian dari upaya turut mengatasi serangan ransomware yang kian meningkat, Palo Alto Networks bergabung dalam koalisi bersama lebih dari 60 lembaga terdepan di industri, akademisi, masyarakat sipil, serta pemerintah, bernama Ransomware Task Force (RTF).
Tim Palo Alto Networks Unit 42 threat intelligence mengungkap, pelaku kejahatan juga meningkatkan angka uang tebusan yang harus dibayarkan oleh korban hingga dua kali lipat dari tahun lalu.
Berdasarkan laporan Palo Alto Networks Unit 42 threat intelligence, jumlah uang yang dibayarkan rata-rata sebesar USD 850.000 atau setara Rp 12 miliar di 2021 saja.
"Uang tebusan paling tinggi yang diminta, di tahun ini mencapai USD 50 juta, meningkat dari angka di tahun 2020 lalu yang sebesar USD 30 juta," tulis tim Palo Alto dalam keterangan resminya, Rabu (16/6/2021).
(Ysl/Isk)