Liputan6.com, Jakarta - "Akhirnya Indonesia punya pemakan cokelat profesional," begitulah narasi yang dilekatkan dengan figur Ida Ayu Pratiwisari Pidada. Gelar tidak biasa itu membuat tidak sedikit orang penasaran, terlebih sekilas, pekerjaan yang dimaksud terkesan menyenangkan.
Namun demikian, perjalanan meraihnya tidak semulus cokelat yang manis. Kepada Liputan6.com, perempuan yang akrab disapa Tiwie ini menjelaskan bahwa "pemakan cokelat profesional" merupakan kemampuan yang mengarah pada pencicip cokelat dengan analisis sensoris.
"Sama seperti Q grader atau chocolate connoisseur," katanya melalui pesan suara, Sabtu, 7 Agustus 2021."Di luar (negeri) profesi ini sudah biasa. Jadi, pekerjaannya adalah mencicipi cokelat, menentukan kualitas cokelat, dan melakukan penilaian."
Baca Juga
Advertisement
Perempuan berdarah Bali ini menjelaskan bahwa ada standar tertentu untuk menentukan apakah suatu produk cokelat masuk ke dalam kategori artisan atau tidak. "Ini (penilaian kualitas cokelat) dikerjakan personal maupun secara panel, sama seperti wine tasting. Jadi, ada penilaian pribadi yang kemudian divalidasi oleh penilaian secara grup," tutur Tiwie.
Perempuan yang sudah kurang lebih dua dekade bekerja sebagai professional chef ini mengaku selama ini tidak pernah terbayang membuat cokelat langsung dari biji kakao. Namun, karena Mason Adventure, tempatnya bekerja, mengekspansi bisnis yang melibatkan proses pembuatan cokelat, ia akhirnya mempelajari cokelat.
"Total enam tahun prosesnya untuk Mason Chocolate karena ada trial dan sebagainya. Setelah dipelajari lebih lanjut, (cokelat) ternyata seru," cerita Tiwie, menambahkan bahwa mempelajari cokelat itu harus memahami dari hulu ke hilir, mulai dari cara petani menanam, memanen, hingga memfermentasi.
Dengan memahami prosesnya, kata Tiwie, pembuat cokelat bisa "lebih adil" dengan tidak semata mengeluh saat mendapat biji kakao berkualitas kurang baik. "Tapi, lebih ke apa yang bisa di-improve, nasihat apa yang bisa diberikan pada para petani," katanya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sertifikat Pemakan Cokelat Profesional
Dengan berpegang pada pola pikir bahwa pembuat cokelat harus memahami cokelat dengan benar, terutama produk artisan, Tiwie memutuskan mengambil sertifikasi "pemakan cokelat profesional" di Chocolate Alliance di Amerika Serikat secara online.
"Ini sebenarnya siapa saja bisa join. Tapi alangkah baiknya memang mengerti tentang cokelat, mengingat ternyata tidak sesimpel yang dibayangkan karena banyak hal yang mesti diperhatikan," ucapnya.
"Flavor note-nya (cokelat) sampai 600-an, lebih banyak dari kopi. Atributnya juga banyak," kata Tiwie.
Terkait potensi cokelat dalam negeri, Tiwie menyebutnya sebagai "besar banget, tapi di lapangan tidak semudah itu." Ada banyak kondisi untuk secara maksimal mendukung petani supaya termotivasi menghasilkan biji cokelat yang terfrementasi baik. Untuk masuk ke kategori cokelat artisian, biji kakao hasil fermentasi harus berkualitas tinggi, katanya.
"Kalau itu bisa dilakukan, Indonesia tidak kalah dengan negara-negara lain. Jadi, enggak cuma kakao di industri, namun juga di artisan," imbuhnya.
Ia bercerita bahwa dalam sebuah pelatihan di Italia yang sempat ia ikuti, pesertanya adalah orang-orang yang mengerti proses membuat cokelat, dan mereka hanya memakai biji kakao berkualitas bagus dari Amerika Latin dan Afrika. "Lima sampai enam tahun lalu, mereka enggak dengar tentang kakao Indonesia," katanya.
Advertisement
Sama-Sama Dukung Cokelat Artisan Lokal
Namun sekarang, dengan lebih banyak informasi, petani kakao Indonesia dan para pembuat cokelat lokal dinilai Tiwie masih dalam tahap pembuktian. "Mereka (pembuat cokelat dunia) sudah aware (Indonesia punya potensi menghasilkan biji kakao berkualitas baik), jadi tinggal kita benar-benar bekerja sama meningkatkan level dan kualifikasi supaya bisa masuk ke market itu," tutur Tiwie.
Dalam prosesnya, mereka tentu tidak bisa bergerak tanpa dukungan banyak pihak. Tiwie mengatakan, dorongan masyarakat untuk mau meluangkan waktu mempelajari, dalam kasus ini belajar menikmati cokelat di level artisan, tidak kalah penting.
"Sudah waktunya cokelat juga kayak kopi. Sekarang orang sudah paham kopi bisa berharga Rp50 ribu per cangkir, tapi kalau cokelat ... tanpa mau cari tahu kenapa harganya sekian, sudah dicap mahal. Masyarakat Indonesia semestinya mau mendukung pembuat cokelat lokal, terutama artisan," sebutnya.
Setelah masyarakat bisa mendukung para pembuat cokelat, mereka bisa meneruskan "tongkat estafet dukungan" ini ke para petani kakao dengan memberi harga lebih layak. "Jadi kayak gerbong kereta, saling tarik," imbuhnya.
Di samping, perusahaan juga harus berkomitmen tidak hanya melirik untung, tapi juga mengembangkan praktik bisnis dengan lebih baik, dari hulu ke hilir. "Pemerintah juga bisa support pembuat cokelat untuk ikut ekshibisi di luar negeri, misalnya, supaya para pembuat cokelat bisa unjuk gigi. Jangan dipikir orang Indonesia enggak bisa bikin cokelat, padahal kita bisa dan bahan bakunya high quality," tutupnya.
Infografis Tampilan Kekinian Camilan Tradisional
Advertisement