Kemenkes: Pembaruan Data Kematian Covid-19 di Daerah Karena Kurangnya Sumber Daya

Pelaporan kasus kematian yang dilakukan daerah tidak bersifat realtime. Serta merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Agu 2021, 19:53 WIB
Foto udara antrean ambulance berisi jenazah yang akan dimakamkan dengan protokol COVID-19 di TPU Rorotan, Jakarta, Senin (5/7/2021). Berdasar data petugas, hingga Senin (5/7) pukul 18.00 WIB sudah 90 jenazah dimakamkan dengan protokol COVID-19 di TPU Rorotan. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)
Liputan6.com, Jakarta -

Kementerian Kesehatan mengakui adanya keterlambatan dalam pembaruan pelaporan angka kematian Covid-19 dari daerah.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Widyawati mengatakan penyebab hal itu karena keterbatasan tenaga kesehatan dalam menginput data, akibat tingginya kasus di daerah mereka pada beberapa pekan lalu.

"Tingginya kasus di beberapa minggu sebelumnya membuat daerah belum sempat memasukkan atau memperbarui data ke sistem NAR (National All Record)," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan drg. Widyawati lewat keterangannya, Rabu (11/8/2021).

"Lonjakan-lonjakan anomali angka kematian seperti ini akan tetap kita lihat setidaknya selama dua minggu ke depan," tambahnya.

Widyawati menyebut, Kementerian Kesehatan sangat mengapresiasi pemerintah daerah yang telah melakukan pembaharuan data sesegera mungkin.

"Tentunya ini tidak mengurangi semangat kita untuk terus berpacu menyampaikan data yang transparan dan realtime kepada publik," tutur Widyawati.

Sementara, Tenaga Ahli Kesehatan Kemenkes dr Panji Fortuna Hadisoemarto menjelaskan, berdasarkan analisis dari data National All Record (NAR) Kemenkes didapati bahwa pelaporan kasus kematian yang dilakukan daerah tidak bersifat realtime. Serta merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya.

NAR sendiri merupakan sistem big data untuk pencatatan laboratorium dalam penanganan Covid-19 yang dikelola oleh Kemenkes.

 

 

Pembaruan Data Terlambat

Tenaga kesehatan mendata pengguna mobil sebelum tes usap PCR drive thru di halaman Rumah Sakit Pertamina Jakarta (RSPJ), Rabu (6/1/2021). RSPJ menyediakan layanan tes usap PCR mandiri secara drive thru guna melacak sekaligus memutus penyebaran Covid-19. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Panji mencontohkan, berdasarkan laporan kasus Covid-19 pada 10 Agustus 2021, dari 2.048 kematian yang dilaporkan, sebagian besar bukanlah angka kematian pada tanggal tersebut atau pada seminggu sebelumnya.

Bahkan 10,7 persen diantaranya berasal dari kasus pasien positif yang sudah tercatat di NAR lebih dari 21 hari namun baru terkonfirmasi dan dilaporkan bahwa pasien telah meninggal.

"Kota Bekasi contohnya, laporan kemarin (10/8) dari 397 angka kematian yang dilaporkan, 94% diantaranya bukan merupakan angka kematian pada hari tersebut, melainkan rapelan angka kematian dari bulan Juli sebanyak 57 persen dan bulan Juni dan sebelumnya sebanyak 37 persen. Lalu 6 persen sisanya merupakan rekapitulasi kematian di minggu pertama bulan Agustus," terang Panji.

Contoh lain Kalimantan Tengah, dimana 61% dari 70 angka kematian yang dilaporkan kemarin adalah kasus aktif yang sudah lebih dari 21 hari namun baru diperbaharui statusnya.

Panji menuturkan, lebih dari 50 ribu kasus aktif saat ini adalah kasus yang sudah lebih dari 21 hari tercatat namun belum dilakukan pembaharuannya.

"Kita saat ini sedang mengkonfirmasi status lebih dari 50 ribu kasus aktif. Jadi beberapa hari kedepan akan ada lonjakan di angka kematian dan kesembuhan yang bersifat anomali dalam pelaporan perkembangan kasus Covid-19. Tapi ini justru akan menjadikan pelaporan kita lebih akurat lagi," tutur Panji.

Dalam kurun waktu tiga minggu terakhir sendiri Kementerian Kesehatan telah merilis angka kematian akibat Covid-19 yang cenderung tinggi. Diantaranya Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memiliki kontribusi paling besar.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya