Liputan6.com, Jakarta - Narasi menggenjot produk lokal yang dijual Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) jadi komoditas ekspor belakangan kian nyaring terdengar. Dorongannya dilakukan dengan berbagai upaya, namun satu yang seharusnya tidak keluar dari radar adalah perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
April lalu, melansir Merdeka.com, Jumat, 13 Agustus 2021, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengatakan pihaknya telah membebaskan biaya pendaftaran HKI. Setidaknya ada 8.904 UMKM yang telah mendaftarkan produk-produknya.
Staf Ahli Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Ari Juliano Gema mengatakan bahwa pendaftaran HKI ini meliputi merek, desain industri, dan paten.
Baca Juga
Advertisement
"Kemarin itu merek yang paling banyak didaftarkan," katanya melalui sambungan telepon pada Liputan6.com, Kamis, 12 Agustus 2021. Ia menambahkan, ada juga karya yang tidak perlu mendaftar HKI untuk mendapat perlindungan negara.
Itu meliputi musik, film, fotografi, dan lukisan. "Karena begitu dipublikasi, karya kreatif semacam itu sudah langsung mendapat pelindungan hak cipta, jadi harus dibedakan kontennya," ucap Ari.
Jadi, apa manfaatnya mengantongi HKI? Pertama, kata Ari, eksklusivitas. "Tidak akan ada yang menyamainya, sehingga itu juga jadi value suatu produk," ucapnya,
Kemudian, perlindungan dari peniruan. "Kalau ada yang meniru, pemilik merek bisa melakukan upaya-upaya hukum," katanya. Sebagai catatan, pendaftaran HKI yang difasilitasinya hanya berlaku di Indonesia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rencana Realisasi Tahun Depan
Ari mencatat bahwa HKI nasional dan persoalan ekspor ini berbeda. Yang harus dipahami, sambungnya, HKI bersifat teritorial. Artinya, itu hanya dilindungi di negara tempat pemohon mendaftar. Jadi, jika pendaftaran HKI di indonesia, perlindungan hukumnya hanya berlaku di Indonesia saja.
Karena itu, pemilik merek harus mendaftarkan labelnya di negara tujuan ekspor. "Nah ini memang jadi tantangan kita," katanya. "(HKI global) itu sudah jadi pembicaraan antarkementerian. Jadi, bagaimana kami bisa membantu mendaftarkan HKI di negara tujuan ekspor."
Ia menyebut bahwa realisasi rencananya baru akan terjadi pada 2022. Produk ekspor berupa tekstil, kria, dan kuliner dinilai yang paling besar potensinya. "Itu (produk tekstil, kria, dan kuliner) memang sudah ada market-nya," tuturnya, menambahkan bahwa kampanye "Spice the World" adalah salah satu dorongannya.
Sebelum ini, bukan berarti produk lokal belum sama sekali bermain di pasar dunia, sambil bergelut dengan pendaftaran HKI di negara tersebut. Rorokenes, merek tas artisan asal Semarang, Jawa Tengah, jadi salah satu yang sudah mengecap pengalaman tersebut.
Sejak 2018, pihaknya telah memenuhi permintaan produksi dari vendor di luar negeri, namun masih belum bisa memakai label Rorokenes karena tersandung HKI. "Setiap keluar itu pasti white label. Wacana ini juga yang sudah sering saya ajukan ke pemerintah. Kami ini butuh HKI internasional supaya urus legalisasinya mudah," cerita owner Rorokenes, Syahnaz Nadya, pada Liputan6.com, Agustus 2019.
Dua tahun berlalu, Shaynaz mengatakan bahwa perjuangan ini masih diupayakannya secara mandiri. "Akhirnya kami bekerja sama dengan pihak kartu kredit. Penjualannya melalui situs web kami untuk ke empat negara di Asia (selama pandemi)," ujarnya melalui panggilan suara, Kamis, 12 Agustus 2021, menambahkan bahwa gratis ongkir jadi salah satu promosi andalan.
Advertisement
Jangan Lepas Pasar Lokal
Mengingat sulitnya mengurus HKI di negara tujuan ekspor, Syahnaz mengatakan bahwa upaya kerja sama ini merupakan uji coba untuk melihat animo konsumen di negara tersebut, sambil menanti investor bernilai sejalan dengan mereknya. "Semisal bagus, nantinya baru akan saya daftarkan HKI," katanya.
Belajar dari pengalamannya, berbicara ekspor, ia menyebut itu bukanlah tentang mendapat untung jauh lebih besar. "Sekarang misalnya harga (produk Rorokenes) di sini 200 dolar (Amerika Serikat), berarti harga di luar hanya bisa ditambah sampai 250 dolar (AS)," katanya.
Artinya, produsen harus sangat hati-hati menentukan harga di luar negeri. Jangan sampai membuat merek jadi "tidak sehat" atau "kalah kompetisi dengan produk luar yang juga berjualan di negara itu."
Belum lagi memikirkan strategi pemasaran yang bisa saja berbeda bagi setiap negara. "Setelah mendalami ini, saya akhirnya sadar bahwa pasar Indonesia itu ranah yang paling kita kuasai. Daya beli lokal tidak kalah. Jadi, jangan sampai fokus (penjualan) secara global, tapi membiarkan produk luar merajai pasar dalam negeri," urainya.
Karena itu, Syahnaz menegaskan pentingnya uji coba secara komprehensif. "Satu negara saja dulu, misalnya, enggak perlu muluk banyak-banyak, dari situ bisa ambil catatan penting. Jangan lupa pengambilan keputusannya juga harus berdasarkan data," tutur Syahnaz.
Di masa pandemi seperti sekarang, Syahnaz mengatakan pihaknya fokus bertahan dan memperdalam cara membuat bisnisnya lebih efisien, mencari strategi paling relevan, serta tetap mengonsep pemasaran ekspor. "Supaya pasar lokal terjangkau, namun tetap bisa berkompetisi di luar negeri," tandasnya.
Infografis Diplomasi Lewat Jalur Kuliner
Advertisement