Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengajak bangsa ini untuk melakukan konsolidasi sistem Presidensialisme. Hal itu mengingat sistem yang ada telah menjadikan KPK selama 20 tahun, kewenangannya melebihi Presiden.
Hal itu disampaikan Fahri merespons Dokumen Keberatan atau Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI yang menyebut proses Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (TWK KPK) telah terjadi maladministrasi.
Advertisement
"Memang ini pekerjaan besar. Sejak transisi Orba ke Reformasi, hingga sekarang kita perlu pembacaan ulang yang konsolidatif. Karena sebuah sistem itu harus selalu dievaluasi. Apakah dia kuat untuk bertahan ketika menghadapi berbagai ujian," ungkap Fahri dalam Webinar Series Moya Institute bertajuk "Kontroversi Temuan TWK 51 Pegawai KPK", Jumat (13/8/2021).
Fahri menambahkan, konsolidasi Presidensialisme diperlukan. Karena semua akan meminta pertanggungjawaban Presiden yang menjadi sentrumnya.
"Karena itu saya alergi kalau ada lembaga yang melebihi Presiden. UU yang lama itu seperti membuat Presiden tidak bertanggung jawab atas pemberantasan korupsi. Selama 20 tahun ini terkesan ada single fighter pemberantasan korupsi. Harusnya orkestrasi pemberantasan korupsi ada dimana-mana. Bukan hanya di Rasuna Said," tegas Fahri.
Mantan Wakil Ketua DPR RI itu menilai, temuan Ombudsman dan pada akhirnya KPK mengeluarkan keberatan karena ada yang perlu dibaca ulang kembali dalam sistem di Indonesia selama ini.
"Mungkin hanya di Indonesia, tersangka enggak boleh didampingi kuasa hukum. Karena itu, ketika KPK ngotot, Komnas HAM takut sehingga tidak menyalahkan pelanggaran HAM yang dilakukan KPK selama ini. Ombudsman dulu juga begitu. Banyak sekali malapraktik KPK yang kita laporkan, enggak berani juga itu Ombudsman. Jangankan itu, Lembaga Peradilan, Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif waktu itu semua takut dengan KPK yang suka menakut-nakuti," beber Fahri.
Hanya Riak
Sedangkan Pengamat isu-isu strategis nasional, Imron Cotan menyebutkan kontroversi pegawai KPK itu hanya riak kecil di tengah tantangan luar berupa Pandemi Covid-19 yang telah memporakporandakan sistem kesehatan di seluruh dunia.
"Ada kekacauan sistem di dunia dan kita yang berdampak terhadap ekonomi dan politik," ujar dia.
Imron menekankan, isu tentang tidak memenuhi syaratnya ke-51 pegawai KPK ketika ditest TWK tersebut memang dirasakan penting bagi sejumlah orang. Tetapi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, hal itu terlihat seperti riak di tengah lautan atau badai di dalam cangkir.
"Jika dikaitkan dengan ancaman dari pandemi Covid-19, yang melanda Indonesia. Ibarat badai di dalam gelas. Lagi pula, KPK ini kan lembaga independen. Sebelumnya saat Presiden komentar tentang KPK, langsung dianggap intervensi. Sekarang Presiden diam, diminta turun tangan untuk intervensi," ungkapnya.
Terkait Ombudsman RI, Imron menyayangkan kenapa DPR memberikan ruang penegakkan hukum kepada Ombudsman.
"Seharusnya kalau ada maladministrasi bisa dibawa ke PTUN. Kalau ada unsur pidana bisa ke Pengadilan. Ada lagi yang sebenarnya secara filosofis bermakna lebih dalam, yaitu: KPK dengan 51 pegawainya yang tidak lolos TWK itu layaknya seperti piring yang pecah. Sekarang piring itu sudah pecah. Kalau dikembalikan, retaknya itu kan tentu masih ada, sehingga dipastikan akan ciptakan disharmoni jika mereka kembali bekerja di KPK" imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Politisi PDI Perjuangan Kapitra Ampera menyampaikan, kalau perlu KPK, BKN, dan lainnya untuk mengabaikan temuan Ombudsman RI yang menuding proses TWK Pegawai KPK terjadi maladministrasi.
"Kalau perlu bubarkan Ombudsman. Kenapa? Karena ada kepentingan terselubung. Coba diaudit itu Ombudsman. Berapa banyak dia menerima sumbangan luar negeri," kesalnya.
Sementara itu Pakar Hukum Pidana UI Chudry Sitompul menyebutkan, UU No.35 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI itu berkaitan erat dengan Pelayanan Publik, UU No.25 Tahun 2009.
"Jadi kalau menyangkut maladministrasi hukum tata negara, ya seharusnya dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kalau mau dikasih rekomendasi, ya rekomendasinya bawa ke PTUN atau Peradilan Umum. Apakah perkara perdata atau pidana," tuturnya.
Chudry menegaskan, jika sudah seperti itu, maka keputusan Ombudsman itu sendiri tidak sesuai ketentuan Perundang-Undangan dengan menyebutkan TWK KPK maladministrasi.
Advertisement