Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) masih mendalami kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional di lingkungan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Dua saksi pun diperiksa pada Jumat, 13 Agustus 2021.
"Pemeriksaan terhadap dua orang yang terkait dengan perkara Tipikor dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia," tutur Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya, Sabtu (14/8/2021).
Advertisement
Leonard mengatakan, saksi itu adalah DSD selaku Kepala Divisi Analisa Resiko Bisnis II periode April 2015 sampai dengan Januari 2019 pada LPEI. Dia diperiksa terkait dengan dengan pemberian fasilitas kredit pada Kemilau Kemas Timur tahun 2016, PT. Borneo Walet Indonesia tahun 2018, PT. Jasa Mulya Indonesia tahun 2015-2018, dan PT. Mulia Walet Indonesia tahun 2016-2017.
Saksi selanjutnya berinisial AW selaku Kepala Satuan Kerja Audit Internal (SKAI) pada LPEI. Dia diperiksa terkait audit terhadap debitur yang tidak dapat mengembalikan fasilitas kredit pada LPEI.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri, dan dia alami sendiri, guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia," kata Leonard.
Dalam duduk perkara, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT. Cipta Srigati Lestari, PT. Lautan Harmoni Sejahtera dan PT. Kemilau Harapan Prima serta PT. Kemilau Kemas Timur dan pembiayaan kepada para Debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen resiko dalam posisi colektibility macet, sejak tanggal 31 Desember 2019.
"LPEI di dalam penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional kepada para debitur (perusahaan penerima pembiayaan), diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet / non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39%," terang Leonard.
Dimana, kata dia, berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp. 4,7 triliun rupiah, dimana jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
Gagal Bayar
Selanjutnya, berdasarkan statement pada laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan diantaranya disebabkan oleh ke -- 9 Debitur tersebut diatas.
"Lalu, salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT. Jasa Mulia Indonesia, PT. Mulia Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari 3 (tiga) perusahaan tersebut adalah Sdr. S," katanya.
Namun, Leonard menyampaikan jika pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010.
Akibat hal tersebut, menyebabkan Debitur dalam hal ini Group Wallet yaitu PT. Jasa Mulya Indonesia, PT. Mulya Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dikatagorikan Colectibity 5 atau macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp. 683.600.000.000,- (terdiri dari nilai pokok Rp. 576.000.000.000,- + denda dan bunga Rp. 107.600.000.000,-).
Advertisement