Vaksin COVID-19 Tak Ganggu Kesuburan dan Sebabkan Keguguran

Klaim palsu dan menyesatkan tentang vaksin COVID-19 terkait fertilitas atau kesuburan dan keguguran masih beredar secara online, meski tidak didukung oleh bukti.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 15 Agu 2021, 10:00 WIB
Ilustrasi vaksin COVID-19 pada wanita hamil. Photo by CDC on Unsplash

Liputan6.com, Jakarta Klaim palsu dan menyesatkan tentang vaksin COVID-19 terkait fertilitas atau kesuburan dan keguguran masih beredar secara online, meski tidak didukung oleh bukti.

Dokter tentu akan sangat berhati-hati tentang apa yang mereka rekomendasikan selama kehamilan. Jadi awal-awal vaksin COVID-19 tersedia, dokter menyarankan untuk tidak disuntik vaksin tersebut dulu karena belum ada bukti yang kuat tentang keamanannya terhadap kehamilan.

Namun saat ini sudah banyak data telah tersedia yang membuktikan keamanannya, sehingga sarannya berubah dan kini para ibu hamil dibolehkan vaksinasi COVID-19 karena virus itu sendiri dapat membahayakan kehamilan.

Adapun beberapa klaim palsu yang masih beredar seperti berikut ini.

 


1. Salah: Sebuah penelitian menunjukkan vaksin terakumulasi di ovarium

Dilansir dari BBC, teori tersebut beredar akibat kesalahan membaca sebuah studi yang diajukan ke regulator Jepang. Studi ini melibatkan pemberian vaksin pada tikus dengan dosis yang jauh lebih tinggi daripada yang diberikan kepada manusia (1.333 kali lebih tinggi).

Hasilnya hanya 0,1% dari total dosis yang berakhir di ovarium hewan, 48 jam setelah injeksi, dan jauh lebih banyak ditemukan di tempat suntikan (pada manusia biasanya di lengan), yaitu 53% setelah satu jam dan 25% setelah 48 jam. Tempat paling umum berikutnya adalah hati (16% setelah 48 jam), yang membantu membuang produk limbah dari darah.

Adapun vaksin yang diberikan menggunakan gelembung lemak yang mengandung materi genetik virus, yang memulai sistem kekebalan tubuh. Masalahnya, mereka yang mempromosikan klaim ini mengacu pada angka yang sebenarnya merupakan konsentrasi lemak yang ditemukan di ovarium. Kadar lemak di ovarium memang meningkat dalam 48 jam setelah suntikan, karena isi vaksin berpindah dari tempat suntikan ke seluruh tubuh.

Tapi, yang terpenting, tidak ada bukti bahwa itu masih mengandung materi genetik virus. Sementara itu, memang belum diketahui apa yang terjadi setelah 48 jam itu karena itu adalah batas penelitian.

 


2. Salah: Data pemantauan menunjukkan vaksin menyebabkan keguguran

Beberapa unggahan telah menyoroti keguguran yang dilaporkan ke skema pemantauan vaksin, termasuk skema Medicines and Healthcare products Regulatory Agency (MHRA) Yellow Card di Inggris dan Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) di AS.

Siapapun bisa melaporkan gejala atau kondisi kesehatan yang dialaminya setelah divaksinasi. Tidak semua orang akan memilih untuk melaporkan, jadi ini adalah database yang dipilih sendiri. Memang ada keguguran yang dilaporkan dalam database ini, tetapi itu bukan berarti suntikan vaksin yang menyebabkannya.

Sebuah penelitian telah menemukan data yang menunjukkan tingkat keguguran di antara orang yang divaksinasi sejalan dengan tingkat yang diharapkan pada populasi umum, yaitu 12,5%.

Menurut ahli imunologi reproduksi di Imperial College London, Dr Victoria Male, sistem pelaporan ini sangat baik untuk melihat efek samping dari vaksin yang biasanya jarang terjadi pada populasi umum. Demikian pula jenis keguguran tertentu dikaitkan dalam beberapa kasus yang jarang terjadi untuk vaksin AstraZeneca.

"Sayangnya, data tersebut tidak begitu baik dalam memantau efek samping yang umum, seperti perubahan siklus haid, keguguran atau masalah jantung. Sehingga munculnya data keguguran tidak serta merta meningkatkan tanda bahaya ini. Kecuali jika kita mulai mengalami lebih banyak keguguran daripada pada orang yang tidak divaksinaasi, maka biasanya datanya akan digunakan untuk penyelidikan dan sejauh ini belum demikian," katanya.

 


3. Tidak ada bukti: Vaksin dapat menyerang plasenta

Petisi yang dibagikan secara luas dari Michael Yeadon, seorang peneliti ilmiah yang telah membuat pernyataan menyesatkan lainnya tentang vaksin COVID-19. Ia mengklaim protein lonjakan virus corona yang terkandung dalam vaksin Pfizer dan Moderna mirip dengan protein yang disebut syncytin-1, yang terlibat dalam pembentukan plasenta. Ia berspekulasi bahwa ini mungkin menyebabkan antibodi terhadap virus menyerang kehamilan yang sedang berkembang juga.

Hal ini sampai membuat beberapa ahli percaya teori ini menjelaskan vaksin COVID-19 dapat membahayakan kesuburan.

Faktanya, syncytin-1 dan protein lonjakan virus corona hampir sama seperti dua protein acak lainnya sehingga tidak ada alasan nyata untuk percaya bahwa tubuh kebingungan oleh mereka. Selain itu, kini sudah ada bukti yang telah dikumpulkan untuk membantu menyangkal teorinya.

Pertama, dari dokter fertilitas AS, Randy Morris, yang menanggapi kekhawatiran tersebut dan mulai memantau pasiennya yang menjalani perawatan IVF untuk melihat apakah vaksinasi membuat perbedaan pada peluang mereka untuk berhasil hamil.

Dari 143 orang dalam penelitian Dr Morris, wanita yang divaksinasi, tidak divaksinasi, dan sebelumnya terinfeksi memiliki kemungkinan yang sama untuk memiliki implantasi embrio yang sukses dan untuk kehamilan terus berlanjut. Meskipun ini studi kecil namun jika ditambah sejumlah besar bukti lain serta jika klaim itu benar maka ini adalah faktanya.

Kemudian, Dr Morris juga menunjukkan bahwa orang yang menyebarkan ketakutan ini tidak menjelaskan mengapa mereka percaya antibodi yang diproduksi sebagai respons terhadap vaksin dapat membahayakan kesuburan tetapi antibodi yang sama dari infeksi alami tidak.

Masalahnya lagi, saat para ilmuwan mencoba membantah klaim dengan melaporkan temuan-temuan mereka, orang-orang malah telah beralih ke kabar berikutnya.

Seperti yang dikatakan Dr Morris, "Ciri khas dari teori konspirasi adalah segera muncul teori baru setelah teori itu dibantah," pungkasnya.


Infografis Ibu Hamil Sudah Bisa Dapatkan Vaksin Covid-19

Infografis Ibu Hamil Sudah Bisa Dapatkan Vaksin Covid-19. (Liputan6.com/Niman)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya