Liputan6.com, Jakarta - Alita Praya Mitra memastikan telah menerapkan standar internasional dalam keamanan informasi setelah berhasil mendapatkan Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Informasi atau lebih dikenal sebagai ISO 27001.
Head of Corporate and Marketing Communication Alita Praya Mitra, Fita Indah Maulani menuturkan, sertifikasi ISMS merupakan gambaran cara perusahaan melindungi serta memelihara kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan informasi.
Advertisement
"Sertifikasi ini diperoleh atas komitmen perusahaan dalam mengelola serta mengendalikan risiko keamanan informasi. Standar operasional prosedur perusahaan harus berjalan dengan standar keamanan siber, salah satunya mengacu pada ISO 27001," tuturnya dalam keterangan resmi, Senin (16/8/2021).
Dengan mengantongi ISO 27001:2013, Alita kini telah menetapkan persyaratan untuk penilaian dan penanganan risiko keamanan informasi sesuai dengan kebutuhan organisasi. Terlebih, gelombang transformasi digital saat ini harus memperhatikan sisi keamanan.
Untuk itu, keamanan informasi menjadi tanggung jawab semua pihak dalam perusahaan dan perlu ditumbuhkan kesadaran pada seluruh sumber daya manusia mengenai pentingnya menjaga data privasi perusahaan maupu data pelanggan, sekaligus mengetahui tentang keamanan siber.
Tidak hanya itu, menurut Fita, perusahaan juga perlu menerapkan sistem keamanan yang mampu melindungi data-data perusahaan, termasuk menerapkan teknologi keamanan yang tepat untuk melindungi data dan bisnis perusahaan di era digital.
Adanya ISO 27001 melengkapi standar internasional yang sudah dimiliki Alita Praya Mitra yaitu ISO 9001:2015 dan ISO 45001:2018. Adapun ISO 9001:2015 merupakan sertifikasi yang berorientasi pada layanan pelanggan, sedangkan ISO 45001:2018 merupakan standar untuk sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Waspada, Ancaman Keamanan Siber Sektor Industri Meningkat
Untuk diketahui, transformasi digital di bidang industri meningkat tajam seiring dengan pandemi Covid-19. Ekonomi digital Indonesia pun diperkirakan tumbuh 23 persen hingga 2025.
Digitalisasi di sektor industri jadi hal yang tidak bisa dihindari karena manfaatnya cukup besar, seperti meningkatkan produktivitas dan efektivitas, sekaligus menghemat biaya.
Namun di balik itu semua, transformasi digital juga menghadirkan tantangan, yakni makin masifnya cakupan serangan siber bisnis atau industrial.
Riset Kaspersky menyebut, pada paruh kedua 2019, ada penurunan persentase deteksi objek berbahaya terhadap komputer industrial. Pasalnya, saat itu aktor ancaman lebih berfokus pada serangan tertarget.
Sayangnya pada paruh kedua 2020, ancaman terhadap komputer industrial meningkat. Secara global, persentase komputer industrial yang diserang meningkat 0,85 persen. Demikian pula dengan variasi keluarga malware yang juga meningkat hingga 30 persen.
Serangan paling masif dilakukan terhadap industri otomatisasi bangunan (46,7 persen), minyak dan gas (44 persen), integrasi teknik dan ICS (39,3 persen), serta industri manufaktur energi dan otomotif.
Berdasarkan deteksi yang dilakukan solusi Kaspersky, sebanyak 5.365 keluarga malware diblokir di komputer.
Advertisement
Bagaimana Penjahat Siber Menyerang Komputer Industri
Ancaman menonjol berada di backdoor, di mana kendali dilakukan dari jarak jauh, kemudian spyware atau program pencuri data, serta dokumen dan skrip berbahaya.
Territory Manager Kaspersky untuk Indonesia Dony Koesmandarin mengatakan, di Indonesia, serangan siber terhadap sektor industri meningkat 20 persen dibandingkan paruh pertama 2020.
"Indonesia menempati peringkat ke-7 secara global dalam hal objek berbahaya yang diblokir di komputer industrial pada paruh kedua 2020. Hampir 5 dari 10 komputer industrial di Indonesia jadi sasaran selama paruh kedua tahun 2020," kata Dony, Selasa (15/6/2021).
Dony pun menyebutkan, sumber ancaman utama terhadap komputer industrial antara lain dari internet (24,6 persen), malware dari removable media (11,1 persen), dan file berbahaya dari link yang di-email (8,6 persen).
"Ancaman terhadap komputer industrial sangat berbahaya, potensi mengganggu tidak hanya bagi perusahaan tetapi juga perusahaan. Untuk itu, ada kebutuhan mendesak untuk menjaga infrastruktur dari penjahat siber. Diperlukan langkah keamanan siber yang konkret seiring penerapan digitalisasi," katanya.
(Dam/Ysl)