Liputan6.com, Jambi - Sore hengkang, malam datang. Tumenggung Meriau dan beberapa anggota kelompoknya kembali ke peraduan di sudung--pondok semi permanen, tanpa dinding, atap terpal beralas gelagar pelepah sawit. Gulita pun menyergap di kebun sawit yang menjadi tempat tinggal kelompok Meriau itu.
Belasan anak-anak kumal masih bersendau-gurau di luar sudung. Tak ada penerangan. Begitula pula dengan tungku api di sudung tak menyala karena tak ada yang mereka masak untuk mengisi perut malam itu.
"Hopi ado pemakon (tidak ada makanan)," kata Tumenggung Meriau.
Tumenggung Meriau adalah tetua yang memimpin kelompok Orang Rimba. Anggota kelompok yang dipimpinnya 7 kepala keluarga, dengan jumlah 39 jiwa. Mereka tinggal di kebun sawit di ujung Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Baca Juga
Advertisement
Meski Indonesia 76 tahun sudah merdeka, tapi kelompok Orang Rimba itu belum merdeka. Generasi mereka masih hidup dibayangi kesengsaraan dan terjajah. Hutan yang menjadi sumber penghidupan, habis tergusur menjadi kebun sawit dan hutan tanaman industri.
Mereka hidup masih menumpang di kebun sawit. Terkadang mereka terusir dan memaksa harus pindah ke tempat lain untuk mendirikan sudung sebagai tempat tinggal.
Tak peduli malam, siang, dan hujan, kalau sudah diusir, mereka harus berbondong-bondong mencari tempat lain untuk hidup. Bahkan ketika salah satu dari induk (ibu) sedang mengandung besar dan akan melahirkan, mereka pun tergusur.
"Pendudukon sampai pado mato pencarian hopi ado (rumah dan penghidupan tidak ada), ikolah kesusahan kami," ujar Meriau ketika ditemui Liputan6.com, Jumat (6/8/2021)
Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) sangat bergantung pada hutan. Hutan bagi mereka seperti super market karena di dalam hutan banyak menyediakan sumber makanan dan ramuan obat.
Dalam kosmologi Orang Rimba, hutan juga menjadi tempat bersemayamnya para dewa. Hutan bagi Orang Rimba diibaratkan bunga. Sedari nenek moyang dulu mengenal istilah "ado rimbo ado bungo, ado bungo ado dewo" (ada hutan ada bunga, ada bunga ada dewa).
Begitulah petuah moyang Orang Rimba yang menggambarkan bahwa mereka sangat dekat dengan hutan. Tapi kini hutan dan bunga musnah, berganti komoditas monokultur. Hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) sudah sedikit menyediakan sumber pangan bagi komunitas mereka.
"Di rimbo dulu semuo masih benyok, jadi apo kesusahan kito hopi ado (dulu di hutan semuanya ada, tidak ada susahnya hidup di hutan)," ujar Meriau
Kini di tengah ketiadaan rimbo, Orang Rimba bertahan hidup di tengah ketidakpastian. Aktivitas sehari-hari mereka untuk mencari penghidupan semakin susah. Hewan buruan sudah menjadi barang langka.
Hidup di kebun perusahaan membuat mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan pasokan makanan. Kadang mereka harus memungut berondolan sawit yang jatuh, namun sangat berisiko dikejar aparat keamanan perusahaan.
"Kalau dapat berondolan, kami jual, uangnyo buat beli beras," kata Tumenggung Meriau.
Pun demikian dengan sumber air bersih sangat buruk dan kerap dilanda kekeringan. Anak-anak orang rimba bermain di bawah sawit dengan kondisi sangat kumal dan amis. Lalat dan bau kotoran tercium menyengat di tempat tinggal mereka.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Menagih Janji Jokowi
Pada tahun 2015 lalu, Tumenggung Meriau bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Foto pertemuan mereka itu kemudian viral karena dianggap setingan.
Di dalam foto tersebut, Tumenggung Meriau mengenakan cawat. Dia duduk jongkok dan bercengkarama dengan Jokowi.
Pertemuan itu sebenarnya tak disengaja. Ketika itu musim kabut asap Jokowi blusukan ke Sarolangun. Tanpa disengaja, Jokowi bertemu dengan Tumenggung Meriau yang saat itu tinggal di kebun sawit di pinggir jalan.
Dalam persamuhannya itu, Tumenggung Meriau mengadukan nasibnya ke "Rajo". Ia meminta dibangunkan rumah dan diberi akses lahan untuk penghidupan mereka. Namun ada daya, bertahun-tahun permintaannya itu tak kunjung terealisasi.
Pada 2018, Tumenggung Meriau ke Kota Jambi. Dia mendatangi kantor Gubernur Jambi untuk menagih apa yang telah dijanjikan kepadanya.
"Kami usul perumahan dan lahan, tapi bukan kelompok kami yang dapat," kata Meriau.
Tumenggung Meriau merasa janji Presiden Jokowi tidak didukung pemerintah di bawahnya, sehingga permintaannya tidak pernah terealisasi. Padahal ketika itu, hanya kelompoknya yang mengusulkan rumah dan lahan penghidupan.
Sampai sekarang Tumenggung Meriau masih menagih janjinya. Sebab saat ini, ia dan kelompoknya masih hidup terlunta-tuna dan terjajah, meski katanya Indonesia sudah merdeka.
Advertisement
Mimpi tentang Kemerdekaan
Pagi itu, Tungganai Basemen duduk jongkok di bawah batang sawit. Di belakangnya teronggok sebatang terok (tombak). Dengan peralatan tradisional yang sudah disiapkan itu, Basemen siap menyusuri sungai untuk mencari labi-labi.
"Entah jugo, masih benyok apo idak (labi-labi masih banyak atau tidak), namonyo jugo dicari," kata Basemen.
Labi-labi adalah hewan air yang favorit untuk dikonsumsi Orang Rimba. Hewan ini hidup di sungai-sungai besar. Tapi sekarang, kata Besemen, labi-labi sudah sulit dicari karena sungai sudah kotor dan tercemar.
Zaman dulu ketika hutan masih banyak, Orang Rimba seakan hidup merdeka di dalam hutan. Mereka tak sulit mencari makan hewan buruan. Pun umbi-umbian dan isi tanah seperti benor, gadung melimpah di hutan.
"Sekarang dak ado lagi yang makan benor, gadung," ujar Basemen.
Kemerdekaan yang sejati bagi Orang Rimba, kata Basemen, adalah ketika hutan yang menyediakan segalanya mereka masih terjaga. Namun, di tengah ketidakpastian hidup karena hutan semakin banyak beralih fungsi, membuat kemerdekaan sejati bagi Orang Rimba hanya sebatas angan.
Bagi Basemen, hutan memiliki multifungsi dalam menunjang kehidupan mereka. Selain sebagai ruang hidup, hutan menyediakan sumber makanan. Bahkan keberadaan hutan juga menjadi medium untuk menghubungkan dewa-dewa.
"Hutan adalah kemerdekaan bagi kami, karena hutan itu tempat tinggal kami, tempat makan kami, dan tempat nenek puyang kami," kata Basemen.
Orang Rimba di Jambi sering juga disebut sebagai Suku Anak Dalam (SAD). Sebutan orang rimba menjadi SAD ini disematkan oleh pemerintah mulai tahun 1970.
Dalam sebuah survei yang dilakukan KKI Warsi menyebutkan, jumlah populasi orang rimba mencapai 6.000 jiwa. Jumlah tersebut tersebar di beberapa kabupaten di wilayah Provinsi Jambi.
Lebih dari separuh populasi Orang Rimba di Provinsi Jambi hidup tanpa kepastian ruang kelola. Orang Rimba hidup terlunta-lunta di area perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang dimiliki korporasi.
Dia mengatakan sangat naif untuk mengembalikan kawasan hutan yang terlah beralih fungsi. Sehingga, solusi yang paling nyata adalah memberikan akses lahan penghidupan bagi kelompok Orang Rimba.
"Negara harus memberi ruang untuk kelompok suku adat marginal ini, sehingga keadilan ruang kelola dan kepastian hak juga bisa dirasakan orang rimba," kata Sukmareni Rizal, Manajer Komunikasi KKI Warsi--sebuah lembaga nirlaba yang salah satu fokusnya mendampingi masyarakat adat Orang Rimba.
Apa yang dialami Meriau dan Basemen adalah bagian dari sekrup kecil bagaimana Orang Rimba di Provinsi Jambi yang masih memimpikan kemerdekaan. Ketika hutan yang bagi mereka adalah kemerdekaan sejati sudah beralih fungsi, mereka pun mesti mendapat kepastian ruang penghidupan untuk generasi mereka nanti.
"Berikan kami tempat hidup. Kami tinggal di sini sudah sejak nenek puyang kami, tapi kami diusir terus," kata Tumenggung Meriau.