Risiko Gangguan Pendengaran pada Bayi Kuning

Dokter spesialis telinga hidung tangan (THT) dari Ruang Mendengar, Fikri Mirza Putranto menyampaikan bahwa bayi kuning atau ikterus memiliki risiko gangguan pendengaran.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 18 Agu 2021, 13:00 WIB
Ilustrasi Risiko Gangguan Pendengaran pada Bayi Kuning. Foto: Foto oleh Isaac Taylor dari Pexels.

Liputan6.com, Jakarta Dokter spesialis telinga hidung tangan (THT) dari Ruang Mendengar, Fikri Mirza Putranto menyampaikan bahwa bayi kuning atau ikterus memiliki risiko gangguan pendengaran.

Menurutnya, kondisi kuning pada bayi dikatakan normal jika muncul setelah 24 hingga 72 jam dan menghilang sebelum 2 minggu.

“Ada banyak loh penyebab gangguan dengar pada bayi baru lahir, salah satunya adalah akibat bayi kuning,” katanya mengutip unggahan Instagram @ruangmendengar, Selasa (17/8/2021).

Kondisi bayi kuning dikatakan tidak normal apabila kuning timbul pada saat lahir atau kurang dari 24 jam setelah lahir. Kenaikan bilirubin (penyebab bayi kuning) lebih dari 5mg/dL per hari, bayi prematur, menetap lebih dari 2 minggu, dan peningkatan bilirubin terkonjugasi lebih dari 2mg/dL.

Kadar bilirubin yang berlebih ini dapat menembus sawar darah otak (pelindung pada pembuluh darah otak). Hal ini menyebabkan kerusakan pada otak, termasuk pada jalur saraf pendengaran yang sangat sensitif terhadap bilirubin.

Efek samping ini dikatakan terjadi ketika kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi lebih dari 30mg/dL.

“Untuk itu Ayah dan Bunda sebelum terjadi efek samping lebih lanjut, yuk kenali kapan bayi kuning dikatakan tidak normal dan segera konsultasikan pada dokter ya,” katanya.


Untuk Penyebab Tuli yang Tak Terlihat

Seperti dikatakan Fikri, ada banyak penyebab gangguan pendengaran pada bayi. Pada umumnya bahkan tidak dapat terlihat secara fisik.

Jika orangtua merasa ada perbedaan pada anak dalam masalah pendengaran misalnya anak tidak merespons pada suara keras, maka orangtua bisa membawa anak ke dokter. Pemeriksaan pun dapat dilakukan, salah satunya pemeriksaan Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA).

Menurut penulis konten Ruang Mendengar, dr. Witha Novialy, BERA merupakan tes pendengaran untuk menilai integritas saraf pendengaran sebagai respons terhadap stimulus bunyi yang diberikan.

Namun, ada kabar bahwa tes ini berbahaya bagi bayi dan dikhawatirkan merusak pendengaran bayi.

Menanggapi kabar tersebut, Whita menjelaskan bahwa tes ini termasuk pemeriksaan yang mudah dan aman. Tidak ada risiko yang dapat ditimbulkan akibat prosedur pemeriksaan tes BERA.

“Sering banget nih jadi kekhawatiran Ayah dan Bunda ketika anak akan dilakukan suatu pemeriksaan, bahaya enggak ya? Ada efek sampingnya enggak ya? Di era digital seperti saat ini, dimana informasi sangat cepat menyebar, jangan sampai termakan hoaks ya ayah bunda,” tulis Witha mengutip Instagram @ruangmendengar.


Dilakukan Saat Anak Tidur

Witha menambahkan, tes BERA dilakukan saat anak sedang tidur. Jika anak tidak dapat tidur secara alami, dokter akan menyarankan untuk memberikan obat tidur (sedasi) yang sifatnya ringan.

Pada keadaan tertentu, anak dapat diberikan obat bius (anestesi). Tidak sembarangan, pemberian obat-obatan ini akan disesuaikan dengan kondisi anak dan berat badan. Kemudian dilakukan pemantauan hingga anak terbangun.


Proses Tes

Tes BERA dilakukan dengan cara menempelkan sumbat kecil pada telinga atau memasangkan headphone dan menempelkan elektroda pada kulit dahi dan bagian belakang telinga, lanjut Witha.

Setelah itu, anak akan diberikan stimulus bunyi melalui sumbat telinga atau headphone, kemudian dinilai perubahan aktivitas listrik di otak setelah diberikan stimulus. Stimulus bunyi diproses melalui program komputer dan ditampilkan sebagai gelombang.

“Nah jadi enggak berbahaya sama sekali ya Ayah Bunda. Jadi jangan sampai termakan hoaks ya,” tutup Witha.

 


Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya