Liputan6.com, Balikpapan Hari ini, tepat 76 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Cerita tentang merebut kemerdekaan selalu menghiasi dan dikenang hingga saat ini. Terutama oleh para veteran yang hingga kini menjadi saksi hidup perebutan kemerdekaan.
Baca Juga
Advertisement
Salah satu veteran di Balikpapan bernama Prayitno Djaya Dwiharjo atau yang kerap dikenal Koesman. Dia menceritakan bahwa pada 17 Agustus 1945, dirinya tidak mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka, karena radio-radio milik warga Kota Balikpapan banyak dirampas dan dirusak oleh Jepang.
Hingga akhirnya tanggal 13 November 1945 kabar itu sampai ke Balikpapan, setelah melalui radio dari Australia yang dibawa oleh salah seorang pekerja N V Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) yang sekarang dikenal dengan Pertamina setelah berlayar dari pulau Jawa.
"Balikpapan baru mendengar bahwa di Jakarta Bung Karno dan Bung Hatta mengatakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, jadi kita baru mendengar itupun dari radio Australia," terang Koesman.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Picu Pergerakan Pemuda di Balikpapan
Hal itu menjadi pemicu pergerakan para pemuda untuk mengibarkan bendera merah putih di tanah Balikpapan. Koesman kembali mengingat masa-masa itu. Dia mengisahkan, pada 13 November 1945 ada seorang pemuda bernama Abdul Moethalib mendirikan Komite Indonesia Merdeka (KIM) guna mendorong pemuda-pemuda di Balikpapan untuk menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia.
Kemudian, setelah KIM oleh Abdul Moethalib dibentuk, lantas pemuda-pemuda yang ada di Balikpapan maupun yang pendatang itu mendorong Abdul Moethalib supaya menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia yang baru di Jakarta.
"Dan masyarakat Balikpapan dalam singkatnya mendukung kemerdekaan Republik Indonesia dan bergabung menjadi 1 sebagai warga Republik Indonesia," kata veteran kelahiran Balikpapan, 17 September 1931.
Advertisement
Belanda Menangkap Pemuda
Pada saat usia Koesman menginjak 14 tahun saat itu, dia mengikuti rapat umum di Kampung Karang Anyar Balikpapan untuk menyatakan dukungan kemerdekaan Indonesia dengan mengibarkan bendera merah putih. Saat itu, Koesman bertugas sebagai pengantar surat untuk para pejuang.
Akan tetapi di Balikpapan saat itu sudah ada Pemerintahan Sipil Hindia Belanda NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie).
Menurutnya, pasca-kekalahan Jepang, NICA sudah masuk di Balikpapan bersama dengan tentara sekutu yang mengusir Jepang di Balikpapan pada saat itu.
"Jadi pas mengadakan rapat itu, tentara Belanda sudah ada dan polisi Belanda sudah ada maka Abdul Moethalib saat pidato di podium ditangkap oleh Belanda. Ditangkap bahwa pernyataan kemerdekaan kita itu tidak berlangsung," ingatnya.
Cat Rumah dengan Warna Merah Putih
Singkat cerita, kala itu masyarakat Kota Balikpapan tidak diperbolehkan mengibarkan bendera merah putih setelah informasi yang didapat pada 13 November tersebut. Akan tetapi, di kampung-kampung orang sudah menaikkan bendera merah putih.
"Karena Belanda itu lebih kuat yang naikin bendera ditangkap. Bahkan, waktu itu ada seorang pria yang buta huruf ngecat rumahnya warna putih dan jendelanya merah langsung ditangkap dipenjara 3 bulan," ujarnya.
Saat ditangkap oleh NICA, Abdul Moethalib menyatakan kepada NICA agar meninggalkan Kota Balikpapan, kemudian ia juga meminta agar uang-uang Jepang yang dirampas dari rakyat supaya dikembalikan, karena rakyat tidak ada uang untuk belanja pada waktu itu dan uang dari NICA juga belum beredar.
"Karena baru beberapa bulan Belanda di sini bersama sekutu masuk di Balikpapan atau tepatnya 1 Juli 1945," sambungnya.
"Sebelum itu kan ada rapat, kemudian karena kegagalan itu Belanda mengatakan tidak bisa mengabulkan semua permintaan yang tadi karena pimpinan Nica berada di murotai (cabang) dan pusatnya di Brisbane Australia, jadi harus minta persetujuan dari sana dulu," ulas Koesman.
Advertisement
Para Pemuda Balikpapan Berkumpul
Setelah bebas, Abdul Mutalib mengumpulkan rekan-rekan pendukung agar melakukan perlawanan bersenjata. Lalu di Balikpapan dibagi dalam berbagai kelompok, yakni di Gunung Samarinda yang dipimpin oleh Pak Kasmani dan Misran Hadi Prajitno (kakak Koesman). "Itu yang paling dominan," katanya.
Kemudian Anang Acil yang dibantu oleh Jhony yang merupakan mantan Disersi Polisi Belanda yang berkewarganegaraan Indonesia yang merupakan kelompok bermarkas di Kampung Damai atau yang sekarang disebut dengan istilah Dam, serta untuk di kota dipimpin oleh Abdul Rahman Muhidin. "Enggak tahu yang bantu siapa saya gak ingat," ungkapnya.
Adapun Abdul Moethalib sendiri sebagai pemimpin umum anggota-anggotanya, ia pun meminta agar melengkapi diri dengan senjata api. "Jadi senjatanya cari sendiri, siapa yang bergabung lapor tapi senjata cari sendiri," jelas Veteran 45 yang tinggal di Kelurahan Sumber Rejo, Balikpapan Tengah.
Serangan Umum ke Markas Belanda
Lalu pada 18 November 1945, para pemuda mengadakan pergerakan pemberontakan untuk melawan Belanda yang dinamakan serangan umum. Serangan umum ini dipimpin langsung oleh Abdul Moethalib dan bertekad untuk menghancurkan tenaga listrik milik NICA yang saat itu berada di Asrama Bukit (Askit).
Namun, serangan yang berlangsung pada tanggal tersebut rupanya gagal setelah salah satu kelompok yang ditugaskan oleh Abdul Moethalib untuk menghancurkan tenaga listriknya NICA itu tidak terlaksana. Lantaran setelah digranat tidak mengenai sasaran.
"Bukan mesinnya yang kena tetapi cuman bak pendinginnya. Jadi nyala lampu masih berlangsung dan Balikpapan masih terang," bebernya.
Advertisement
Tokoh Pejuang di Balikpapan Dikejar Belanda
Alhasil, buah dari kegagalan tersebut Belanda melakukan operasi dan berhasil mengetahui siapa dalang di balik layar serangan tersebut. Lantas Abdul Moethalib bersama Soegito dan Fakhir Muhammad beserta keluarganya dilarikan ke Balikpapan Seberang atau sekarang disebut Penajam.
Setelahnya dari Balikpapan Seberang, ia kembali dilarikan ke Grogot, dan mereka di sana disambut pejuang-pejuang dari Banjarmasin. "Dan setelahnya saya pun enggak tahu dibawa (disembunyikan) ke mana hingga saat ini," paparnya.
Namun kelompok-kelompok ini bergerak terus untuk melakukan perlawanan seperti pertempuran di Rapak dan di sana juga dibuat klub malam bernama Manila Club. "Di sana kami serang, dan di sana terjadilah pertempuran yang hebat," katanya.
Kemudian, pada 10 Oktober 1946 di Gunung Samarinda markasnya Merah Putih yang dipimpin oleh Pak Kasmadi tadi, direbut oleh Belanda karena kekuatannya tidak seimbang. "Para pejuang termasuk saya di situ sebagai kurir untuk penghubung," katanya.
Banyak Pejuang di Balikpapan Gugur
Hanya sedikit orang yang mahir menggunakan senjata dan bisa perang secara berhadap-hadapan, sementara Belanda memiliki tentara yang sebagian ikut perang dunia kedua. Meskipun sempat dikuasai, tetapi para pejuang menang karena menguasai medan.
Para pejuang Indonesia kebanyakan dari polisi Belanda dan tentara Belanda yang berbangsa Indonesia, serta mantan Kaigun Heiho yakni tentara Bangsa Indonesia yang didirikan Jepang untuk membantu tentara Jepang. Termasuk, Misran Hadi Prajitno yang juga mantan Kaigun Haeho Heiho sehingga pernah menerima pendidikan secara militer.
Jadi selama 3 jam pertempuran di Gunung Samarinda itu gugur 10 orang pejuang, dan yang luka-luka 1 orang, kemudian 1 orang tertawan. Adapun musuh sendiri itu sebenarnya banyak yang gugur tapi mereka malu mengumumkan.
Walaupun mereka lengkap dan lebih pintar tapi mereka kalah medan. Pejuang Merah Putih pun lanjut dan berganti nama menjadi Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (PBRI). Menurutnya, kelompok-kelompok ini masih tetap dengan lokasi markas yang sama. "Saya di sini tetap membantu mereka dan satu rumah dengan Pak Kasmani. Rumahnya juga dibakar ya sudah jadi cari rumah sendiri-sendiri," ucapnya.
"Kakak saya yang namanya Misran Hadi Prayitno pun ditawan di Jakarta. Dan yang lainnya lari dibantu oleh Abdul Gani yang waktu itu disebut sebagai camat di wilayah Samboja. Abdul Gani sendiri sebenarnya juga sebagai komandan markas tempat penghubungan antara Samarinda dan wilayah lainnya," ujarnya.
Advertisement
Pesan untuk Generasi Muda Indonesia
Kemudian, dia mendapat surat untuk bergabung melakukan pemberontakan secara besar-besaran di Kaltim. Aksi ini dipimpin R Sukasno.
"Pada 27 Desember 1949 barulah kami bisa mendirikan bendera merah putih secara resmi. Pertama saya yang merebut dari kekuasaan penjajah untuk kemerdekaan negeri dan bangsa, selanjutnya saya serahkan kepada penerus yang ada di negeri ini, jangan disia-siakan pengorbanan para pejuang yang telah tiada. Kemudian NKRI jaga seutuhnya, NKRI adalah harga mati," dia menegaskan.
Dia mengatakan, saat berjuang dulu hanya mempunyai bekal keberanian, tekad dan perlindungan dari Allah. Maka dari itu kepada generasi penerus bangsa, di HUT ke-76 RI, dia mengimbau supaya apa yang telah dilakukan oleh pejuang dulu, baik dalam penderitaan maupun senang, jangan membuat suatu perbuatan yang kurang baik atau melanggar undang-undang.
"Terutama generasi muda, dan hindarkan jauh-jauh dari bahaya narkoba. Pejuang dulu hanya ada 2 pilihan, merdeka atau mati," dia menandaskan.