Studi: Pekerja Generasi X Terancam Terjebak dalam Krisis Pengangguran Terbesar

Krisis pengangguran Generasi X ini disebabkan karena pandemi global yang telah banyak memberikan tantangan dalam pekerjaan.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Agu 2021, 07:00 WIB
Ilustrasi pengangguran (sumber: iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Pekerja Generasi X yang usianya menginjak 45 tahun ke atas memikul beban sebagai pengangguran. Krisis pengangguran ini disebabkan karena pandemi global yang telah banyak memberikan tantangan dalam pekerjaan.

Menurut laporan dari Generation, sebuah organisasi ketenagakerjaan nirlaba, adopsi digital yang terjadi secara cepat selama pandemi telah memengaruhi percepatan otomatisasi pekerjaan serta memperburuk diskriminasi usia atau ageisme yang mendasarinya. Hal ini akhirnya mempersulit seseorang untuk mendapatkan pekerjaannya.

Di samping itu, dalam sebuah studi global yang berjudul ‘Meeting the world’s midcareer challenge” menemukan bahwa pekerja tingkat pemula dan menengah antara usia 45 dan 60 tahun menghadapi peningkatan hambatan karena simpangan di antara manajer perekrut dengan keengganan para pekerja untuk mempelajari keterampilan baru.

Dikutip dari laman CNBC, Jumat (19/08/2021), CEO Generation Mona Mourshed mengatakan, “Ini adalah demografi yang benar-benar dibutuhkan dan sangat jelas bahwa begitu Anda mencapai usia tertentu, semakin sulit untuk mengakses peluang kerja.”

Berlakunya Kesalahpahaman Ageisme 

Sebuah studi yang dilakukan antara Maret hingga Mei 2021 dengan mengumpulkan sebanyak 3.800 orang yang bekerja dan menganggur dari usia 18 hingga 60 tahun serta 1.404 manajer perekrut di tujuh negara.

Terlepas dari beragamnya lanskap pekerjaan internasional – dari AS, Inggris, India, hingga Italia – studi tersebut menunjukkan usia 45 hingga 60 tahun adalah kelompok pekerja yang paling diabaikan.

Memang, selama enam tahun terakhir ini, pekerja menengah telah memperlihatkan persentase pengangguran yang tinggi secara konsisten.

Di samping itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa manajer perekrut secara keseluruhan menganggap pekerja yang berusia 45 tahun ke atas adalah kelompok terburuk dalam hal kesiapan lamaran, kebugara, dan pengalaman.

Ada beberapa kekhawatiran yang mungkin dirasakan oleh pekerja yang lebih tua untuk mencoba teknologi baru (38%), ketidakmampuan untuk mempelajari keterampilan baru (27%), dan kesulitan dalam bekerja dengan generasi lain (21%). Meskipun memang 9 dari 10 atau 87% manajer perekrutan mengatakan bahwa pekerja yang berusia 45 ke atas sama atau lebih baik dibanding pekerja yang lebih muda.

Mourshed mengatakan, studi ini menyoroti simpangan yang mendasari permainan di tempat kerja. “Seringkali diindentikkan dalam diskriminasi usia,” katanya.

Misalnya, ada kecenderungan manajer perekrut untuk memilih pekerja dalam kelompok usia. Sementara itu, wawancara yang dilakukan setelah penyaringan CV justru dapat mempersulit kandidat untuk menunjukkan keahliannya.

 

 


Melibatkan Kembali Tenaga Kerja yang Hilang

Ilustrasi pekerja (dok.unsplash/@ Ruthson Zimmerman)

Pelatihan dapat memberikan solusi dari masalah ini. Namun, studi tersebut memperlihatkan ketidakinginan untuk mengikuti pelatihan untuk kalangan pencari kerja yang usianya menginjak 45 tahun ke atas.

Lebih dari setengah atau sekitar 57% pencari kerja pemula dan menengah menyatakan penolakannya terhadap pelatihan. Sementara hanya 1% yang menyetujui adanya pelatihan tersebut karena berpikir pelatihan ini baik untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam mencari pekerjaan. Orang yang menyetujui mungkin pula memiliki pengalaman pendidikan yang negatif atau kurangnya program dukungan keuangan yang tersedia untuk pekerja, kata Mourshed.

Akan tetapi Mourshed menegaskan, pelatihan dapat memberikan manfaat nyata. Dalam studi tersebut, hampir tiga perempat atau sekitar 73% menunjukkan bahwa menghadiri pelaithan dapat membantu mencari posisi pekerjaan yang tepat.

Melihat hal ini, Mourshed kemudian memberikan solusi untuk perusahaan dan pemerintah yang merasa kekurangan tenaga kerja agar tetap memanfaatkan pekerja yang berusia 45 tahun ke atas.

1. Menghubungkan program pelatihan secara langsung dengan peluang kerja. Selain itu, juga memberikan tunjangan untuk mendukung para pekerja yang berusia 45 tahun ke atas agar mereka tidak merasa ragu untuk terlibat dalam pelatihan.

2. Mengubah praktik perekrutan untuk mengurangi potensi bias usia agar bisa menilai lebih baik para kandidat pekerja yang berusia 45 tahun ke atas. Mungkin bsia menggunakan latihan berbasis demonstrasi.

3. Memikirkan kembali pendekatan pelatihan pemberi kerja saat ini untuk mempermudah mengisi posisi baru dengan menempatkan pekerja yang berusia di atas 45 tahun ke atas, dibandingkan mengandalkan karyawan baru.

4. Meningkatkan data ketenagakerjaan di tingkat nasional untuk membantu organisasi pemerintah mengatasi tantangan unik dari kelompok usia tertentu.

“Mengingat tahun 2021 ini, tenaga kerja antargenerasi harus menjadi kenyataan yang ingin diwujudkan oleh setiap perusahaan,” kata Mourshed.

 Reporter: Aprilia Wahyu Melati

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya