Perjuangan Putu Pande Hadirkan Lentera Pendidikan di Tengah Pandemi

Putu Pande Setiawan merupakan relawan asal Bali yang membawa misi pendidikan untuk anak-anak di pedalaman.

oleh Dewi Divianta diperbarui 20 Agu 2021, 01:00 WIB
Pande Bersama Rekan-rekan dan Anak Asuhnya (Dewi Divianta/Liputan6.com)

Liputan6.com, Bangli - Putu Pande Setiawan adalah pria asal Bangli dengan pendidikan terakhir S2 Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Jebolan pertukaran mahasiswa di University of Victoria, Kanada, itu begitu terenyuh atas dunia pendidikan di wilayah tempat tinggalnya wilayah Kintamani, Bangli, Bali.

Anak-anak di sana kesehariannya menjajakan asesoris khas daerahnya atau tak jarang banyak yang memilih menjadi gepeng (pengemis). Pria yang karib disapa Pande itu mengajak rekan-rekannya membantu mendirikan Komunitas Sekolah Alam. Pada 2009 lalu Pande mendirikan komuitas tersebut untuk mewadahi anak-anak supaya bisa mendapatkan pendidikan nonformal.

Bak gayung bersambut, aksi Putu Pande Setiawan tersebut sangat diterima oleh masyarakat di sekitar Kintamani. Tak sedikit anak didiknya yang tergabung di komuitas di bawah naungannya tersebut. Ada sekitar 800 an anak-anak didiknya di komunitas anak alam tersebar di wilayah Kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem.

Pande bercerita, setelah memetakan masalah yang dihadapi anak-anak di sekitaran Kintamani, ia juga mendirikan perpustakaan untuk anak-anak didikannya. Namun, perpustakaan yang dia bangun dengan susah payah tersebut malah dibakar anak asuhnya sendiri. Harapan dia mendirikan perpustakaan tersebut untuk membangkitkan literasi anak asuhnya. Namun, buku-buku penuh ilmu ludes dilalap si jago merah dan menyisakan abunya.

“Mereka (anak asuhnya) yang membakar perpustakaannya. Ketika saya tanya alasannya kenapa dibakar, mereka (anak asuhnya) menjawab, kami butuh makan kak bukan buku,” kata Pande kepada Liputan6.com, Rabu (18/8/2021).

 

Simak juga video pilihan berikut ini:


Ponsel untuk Sekolah Daring

Putu Pande Setiawan saat di University of Victoria, Kanada (Dewi Divianta/Liputan6.com)

Mengetahui perpustakaan yang dibangunnya itu dibakar anak asuhnya, Putu Pande Setiawan melanjutkan dirinya tidak lantas marah atas tindakan bocah-bocah itu. Namun, dirinya berusaha melakukan pendekatan humanism kepada mereka. Atas izin kedua orang tuanya bocah-bocah tersebut Pande mulai mengajak mereka bereinteraksi lebih dekat dengan menginap di kediaman mereka.

“Saya tidak marah. Saya melakukan pendekatan lagi. Saya berbulan-bulan bersama mereka. Saya menginap dari satu rumah ke rumah lainnya. Saya menyelami betul kehidupan mereka untuk mengetahui lebih dekat dengan kehidupan mereka dan apa yang harus saya lakukan,” ujarnya.

Ketika Pandemi Covid-19 mewabah Indonesia khususnya Bali, dirinya dan rekan-rekannya tak tinggal diam. Pande terus berjibaku singgah dari desa ke desa lainnya melintasi pegunungan-pegunungan Kintamani dan beberapa desa di wilayah Karangasem demi memberikan pendidikan kepada anak-anak asuhnya. Pandemi Covid-19 membuat gerakan pendidikan pun tentu harus beradaptasi.

Hampir satu tahun lamanya sejak dimulainya pandemi Covid-19 di Bali sekitar bulan Maret, kegiatan di komunitas sekolah alam secara tatap muka serta kelas-kelas belajar yang tersebar di beberapa desa di Bali juga nyaris terhenti. Tentu kesehatan anak-anak di semua kelas belajar tersebut adalah pertimbangan utama.

“Masih tetap gerak (mengajar). Tapi karena masih pandemi kita batasi kegiatan kumpul-kumpulnya. Namun kegiatan kita ganti dan dimulai lagi pada bulan juni dengan pendistribusian sabun, vitamin, dan masker ukuran anak-anak dengan kunjungan sukarelawan yang sangat terbatas.” ujar dia.


Menginspirasi Orang Lain

Menurutnya, Pandemi memunculkan adaptasi dan kreativitas bagi dirinya. ia bersama rekan-rekannya mulai melakukan pengajaran online. Tak terpikirlan sebelumnya untuk kegiatan berbasis online, karena faktanya hampir seluruh anak-anak asuhannya di pedesaan yang tersebar di beberapa kabupaten di Bali tidak memiliki ponsel.

Hingga menginjak bulan ke lima pandemi, setelah melakukan pendataan terhadap anak-anak, lebih dari setengah dari keseluruhan anak-anak tersebut memiliki handphone untuk keperluan belajar daring di sekolah.

"Kelompok belajar di Kunyit, Besakih. Enama bulan lalu kami berikan satu buah HP dan diberikan paket internet, untuk dapat mengakses anak-anak. Kurikulum mata pelajaran kami sesuaikan, sebagai penyeimbang kurikulum akademik di sekolah. Dengan materi belajar kecakapan hidup/life skills diberikan lebih banyak tanpa membebani anak-anak dengan tugas tambahan yang banyak," kata Pande.

"Beberapa materi ajar yang kami berikan diantaranya, kamis sehat, Jumat dongeng, Sabtu berbuat baik, dan minggu Bahasa Inggris. Dengan tambahan mata ajar lingkungan hidup. Semua materi kami siapkan secara mandiri dan kami kirimkan berupa foto, rekaman suara, poster, video dan diaertai tambahan penjelasan untuk mempermudah anak-anak memahami," tutur dia.

Pande menambahkan, dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang juga didesain oleh tim sukarelawan, membantu dirinya bersama rekan-rekannya agar dapat mengukur pencapaian dari proses pengajaran informal.

"Konteks lokal menjadi acuan dalam pembelajaran, sehingga pendidikan yang kami kirim dapat lebih mudah mereka pahami. Sebagai contoh, kosa kata bahasa inggris. Yang mereka pelajari disesuaikan dengan ligkungan keseharian anak-anak pohon, sapi, dan benda-benda yang ada di seputar mereka," katanya.

"Salah satu pelajaran favorit anak-anak binaannya adalah sabtu berbuat baik. Setiap hari sabtu, tugas yang mereka harus kirimkan adalah foto perbuatan baik yang mereka pilih dan lakukan sendiri," ujar nya.

Putu Pande Setiawan berharap kegiatan tersebut dapat menginspirasi masyarakat tentang Pendidikan kontekstual, pendidikan yang menimbulkan kepercayaan diri pada anak-anak.

"Pendidikan yang mengintegrasikan moral dan karakter sebagai pencapaian selain kecakapan akademik dan kecakapan hidup. Kelak ketika pendidikan menjadi hal yang masyarakat yakini, maka kami harap mereka dapat berdaya dan secara mandiri membangun kualitas sumber daya manusia mulai dari lingkungan terkecil mereka di desa." katanya.

"Semua kegiatan dilakukan berbasis sukarelawan dan melibatkan masyarakat khususnya anak-anak muda. Agar kelak di kemudian hari pun anak-anak muda tersebut dapat menjadi bagian utuh dari pembangunan masyarakat. Mereka (anak asuhnya) dapat memulainya lebih dini dan dengan cara-cara kecil di seputar mereka," ujarnya memungkasi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya