Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengkritik wacana amandemen UUD 1945 yang disuarakan Majelis Permusyawararatan Rakyat (MPR). Menurut dia, mengubah konstitusi tak bisa sembarangan.
Menurutnya, tidak ada urgensi negara untuk melakukan amandemen UUD 1945 pada saat ini. Apalagi, hampir dua tahun belakangan, negara tengah dilanda pandemi Covid-19.
Advertisement
“Masalah besar paling nyata adalah pandemi, kemudian akibat pandemi terjadi masalah ekonomi, masalah akan bertambahnya penduduk yang miskin dan masalah sosial lainnya. Pertanyaannya apakah masalah itu karena persoalan UUD? Apakah karena tidak adanya GBHN atau PPHN?” jelas Hamdan dalam sebuah pernyataan, Jumat (20/8/2021).
Hamdan memahami maksud dan tujuan MPR akan menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN), atau kini disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Namun dia mencatat, persoalan justru bukan pada pembangunan yang tidak konstan akibat belum memiliki PPHN.
"Mungkin boleh kita tanya, gara-gara konstitusi atau gara-gara politisi yang berubah-ubah? Saya sih berkesimpulan politisinya yang memandang persoalan dari sisi lima tahunan. Konstitusi itu jangka panjang, kalau 5 tahunan pasti akan berubah-ubah tidak mungkin konstan seterusnya,” tegas Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Syarikat Islam (SI) ini.
Sehingga Hamdan mengatakan, dalam konteks pembangunan jangka panjang, persoalan yang terjadi bukan karena konstitusi. Tapi konsistensi para politisi. Sebab, soal pembangunan, Indonesia menurutnya sudah memilik Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang disusun untuk 25 tahun.
“Ini tidak pernah dilihat, tidak konsisten, lalu pertanyaannya, tidak konsistennya apa, apa sumbernya konstitusi atau tidak? Dari hasil riset kita, tidak konsisten pengambilan kebijakan politik, bukan bersumber dari konstitusi,” ungkap Hamdan.
Dia juga menyinggung GBHN era Soekarno dan Soeharto. Menurut dia, pada tahun 1960 sampai 1967, GBHN disusun berdasarkan pidato Soekarno yang ditetapkan dalam TAP MPR.
Kemudian era Soeharto, GBHN dibuat melalui Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) yang ditetapkan oleh MPR menjadi GBHN. Seluruh perencanaan pembangunan dibuat oleh eksekutif dalam hal ini presiden.
“Sekarang GBHN siapa yang buat? Kalau dilihat Ketetapan MPR, (berarti) MPR yang buat. Kalau MPR yang buat apa melibatkan presiden? Ini jadi soal. Jadi MPR nyusun sendiri, presiden punya sendiri, kan jadi soal dalam implementasi,” katanya.
Menurut Hamdan, GBHN sudah tidak lagi relevan diterapkan dalam sistem ketatanegaraan saat ini. Sebab, UUD 1945 sudah berubah.
Jadi Alat Kotrol Kinerja Presiden
Lebih dalam, Hamdan menjelaskan, dulu MPR lembaga tertinggi negara yang membuat GBHN. Presiden merupakan mandataris dari MPR. Sehingga, apabila presiden tak bisa menjalankan mandat, DPR bisa mengundang MPR. Sidang istimewa digelar.
“Kalau dianggap tidak mampu maka presiden bisa diberhentikan oleh MPR,” tegas Hamdan.
Hamdan mencontohkan, soal pemberhentian presiden, harus mengubah pasal 7 UUD karena bisa dilakukan jika presiden melanggar hukum. Kemudian pasal 24c juga harus diubah, karena saat ini pemberhentian presiden harus melalui pendapat MK.
Lantas Hamdan pun kembali mempertanyakan, apabila PPHN dalam implementasinya tak bisa memberhentikan presiden, kemudian apa gunanya. Sebab dahulu, GBHN merupakan alat untuk mengontrol kinerja presiden.
“Sekarang siapa tanggung jawab? Dulu presiden, dan MPR meminta pertanggungjawaban. Ini dua hal, pertama dari aspek urgensi, kemudian kedua dari aspek substansi. Keduanya tidak masuk.”
“Jadi ini rada aneh, jangan mengubah konstitusi parsial, tidak melihat sebagai satu sistem yang utuh, rusak negara ini jadinya,” kata Hamdan
Advertisement