Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 turut memengaruhi program SDG's dalam penanganan penyakit, seperti AIDS, malaria, dan hepatitis. Hingga hari ini hepatitis masih menjadi beban yang harus ditangani bersama.
Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK, Agus Suprapto, saat jadi pembicara tentang hepatitis dan penyakit ginjal kronik (PGK) yang diselenggarakan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) belum lama ini.
"Pasien gagal ginjal PGK yang menjalani dialisis, saya rasa cukup rentan tertular berbagai penyakit, apalagi dengan beban rumah sakit yang luar biasa dalam penanganan COVID-19. Tentunya kita semua berharap tenaga kesehatan bisa menjadi lebih baik lagi dalam menjaga pasien dialisis untuk tetap sehat dan mengurangi fatalitas," ujarnya.
Baca Juga
Advertisement
Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia, dr Aida Lydia PhD SpPD-KGH, FINASIM pun menjelaskan bahwa hepatitis C telah menginfeksi lebih dari 130 juta orang di dunia dengan estimasi prevalensi sebesar tiga persen.
Kondisi tersebut menyebabkan 300.000 orang meninggal akibat HCV (Hepatitis C Virus) per tahun. Sedangkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2014) menyebut bahwa di Indonesia estimasi prevalensi terjadi antara 0,8 persen sampai satu persen.
"Pada pasien PGK, terutama yang menjalani hemodialisis (HD), prevalensi hepatitis lebih tinggi. Kelompok tertinggi terkena hepatitis di antaranya pasien hemodialisis, yang secara umum usia harapan hidup pasien dialisis yang terkena hepatitis akan semakin singkat," katanya.
"Belum lagi kalau terkena penyakit hati kronik (sirosis hati atau kanker hati)," Aida menambahkan.
Vaksin Hepatitis B Sudah Tersedia
Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, Dr dr Irsan Hasan SpPD-KGEH, FINASIM mengungkapkan bahwa saat ini vaksin hepatitis B sudah tersedia, sedangkan hepatitis C belum tersedia.
Salah satu kondisi yang harus diperhatikan adalah hepatitis kronik yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati. Kasus sirosis hati di Indonesia pada umumnya disebabkan hepatitis B dan hepatitis C.
"Pada kejadian penyakit ginjal kronik stadium akhir (dalam 8 tahun) studi menunjukkan bahwa pada kelompok yang mendapatkan terapi antiviral lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan terapi antiviral," katanya
Dalam tanggapannya Emanuel Melkiades Laka Lena, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, menyampaikan,“Saat ini saya melihat pasien PGK berpotensi besar sekali untuk terpapar penyakit di ruang hemodialisa salah satunya hepatitis. Melihat hal ini kita harus dapat menemukan cara lain agar pasien gagal ginjal tidak berisiko terpapar hepatitis.".
Menurutnya, perlu ada pola penanganan baru pada pasien PGK dan hepatitis dengan mengubah cara pengobatannya, salah satunya dengan pengobatan Erythropoietin (EPO) yang merupakan terapi pengobatan bagi pasien cuci darah.
"Hal ini bisa menjadi perhatian kita ke depan untuk menjadi lini utama dalam pengobatan yang optimal, harga terjangkau dan risiko yang kecil," katanya.
Advertisement
Penyakit Ginjal Kronik di Indonesia
Selain itu Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr Azhar Jaya, SKM, MARS, menambahkan,“ Penyakit PGK angkanya semakin lama semakin tinggi. Untuk itu kita harus melakukan tindakan preventif jangan sampai menjadi parah dan melakukan cuci darah.".
Azhar, menambahkan, banyak upaya preventif yang menjadi tugas bersama agar bisa mengurangi kenaikan kasus. Pemerintah selalu berupaya memberikan pelayanan bagi pasien cuci darah, di mana saat ini anggaran peenyakit gagal ginjal harus didiskusikan lebih lanjut dengan parlemen.
"Kementerian Kesehatan siap bekerjasama dengan organisasi profesi dalam memberikan pengobatan kepada pasien PGK salah satunya usulan penggunaan Erythropoietin (EPO) dengan memperhatikan standard terapi yang sudah ada,” katanya.
Berdasarkan Riset KPCDI pada 2018 dengan total responden 200 pasien hemodialisis menunjukan bahwa 45 persen pasien PGK terpapar hepatitis C setelah mereka menjalani tindakan hemodialisis. Jika dirinci, sebanyak 43,1 persen pasien PGK terjangkit hepatitis C pada usia 1-3 tahun pertama proses cuci darah.
Sebanyak 25,6 persen pada tiga hingga lima tahun, 12,3 persen pada lima hingga 10 tahun, 14,3 persen kurang dari satu tahun, dan 4,3 persen pada saat proses hemodialisis di atas 10 tahun.
Terpapar Hepatitis Saat Cuci Darah
Dalam hal pelayanan hemodialisis, semua pihak tidak dapat dipungkiri jika penggunaan tabung dialiser yang digunakan secara berulang pada setiap tindakan dialisis berpotensi menjadi sumber paparan penularan virus hepatitis C kepada kepada pasien hemodialisis.
Selain itu, tingginya penggunaan dan tindakan transfusi darah karena akses obat-obatan yang belum merata dijamin BPJS Kesehatan juga berpotensi menjadi penyebab penularan hepatitis C yang semakin tidak terkontrol pada pasien yang mejalani hemodialisis.
Seiring berkembangnya teknologi medis, pemberian obat-obatan yang mudah dijangkau, menjalankan standar operasional prosedur yang baik serta memilih terapi dialisis maupun transplantasi ginjal yang sesuai dengan kebutuhan pasien bisa menjadi pilihan yang tepat dan disarankan bagi para pasien gagal ginjal tahap akhir, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita.
Manfaat lainnya, menurunkan risiko terkena penyakit menular termasuk virus hepatitis, dan pasien dapat melakukan aktivitas layaknya orang normal karena tidak perlu secara rutin datang ke rumah sakit untuk cuci darah.
Terkait edukasi kesehatan yang diselenggarakan KPCDI, Ketua Umum KPCDI, Tony Richard Samosis mengatakan ini merupakan rangkaian kegiatan Hari Hepatitis Sedunia yang dirayakan pada 28 Juli setiap tahunnya.
Diharapkan melaui edukasi Kesehatan ini pasien PGK dapat memahami penanganan yang harus dilakukan sehingga tercipta pendekatan, sistem dan prosedur yang komprehensif dalam menangani pasien cuci darah melalui sinergi antara organisasi profesi, pemerintah dan pemangku kebijakan lainnya.
“Melalui edukasi Kesehatan ini KPCDI ingin meningkatkan pengetahuan para pasien gagal ginjal kronik tentang pencegahan dan pengobatan hepatitis, sehingga para pasien dapat memilih terapi yang tepat untuk dirinya sendiri. Seperti kita ketahui hal utama yang menyebabkan angka penderita hepatitis semakin tinggi karena kurangnya edukasi dan pemahaman yang tentang pencegahan hepatitis diruangan tindakan hemodialisis dan keterbatasan akses obat-obatan," katanya.
Advertisement