Pakar Minta Aparat Hukum Pedomani Pernyataan Jokowi soal Pemeriksaan BPK

Menurut dia, pernyataan Presiden tersebut menunjukkan Kepala Negara sangat memahami ketidaknormalan situasi di tengah pandemi Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Agu 2021, 12:29 WIB
Presiden Joko Widodo membacakan pidato saat Sidang tahunan MPR RI 2021 di Gedung Nusantra, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pakar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Dr. Sonyendah Retnaningsih mengapresiasi dan mendukung penuh atensi Presiden Joko Widodo terhadap peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di masa pandemi. Sebagaimana dinyatakan Kepala Negara dalam Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan MPR RI di Gedung MPR, Senayan, Senin (16/8/2021).

Dalam pidato kenegaraan seiring peringatan HUT ke-76 RI serta Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI yang digelar di Kompleks Parlemen, Presiden membahas mengenai peran pemeriksaan BPK.

"Situasi pandemi bukan situasi normal, dan tidak bisa diperiksa dengan standar situasi normal. Yang utama adalah menyelamatkan rakyat sebagai hukum tertinggi dalam bernegara. Peran pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK juga perlu dilakukan beberapa penyesuaian," kata Presiden dalam Sidang MPR tersebut.

Sonyendah pun mengingatkan agar aparat penegak hukum pun ikut pedomani arahan Presiden Jokowi ini.

Menurut dia, pernyataan Presiden tersebut menunjukkan Kepala Negara sangat memahami ketidaknormalan situasi di tengah pandemi Covid-19. Sebagai pemimpin tertinggi jajaran eksekutif, Presiden paham benar BPK sebagai lembaga tinggi negara sangat berperan penting dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Karena itu, Sonyendah setuju dan mendukung Presiden dalam kondisi seperti ini audit BPK pun tidak bisa dilakukan sebagaimana kondisi pada saat situasi berjalan normal.

Sebab apabila BPK melakukan tugasnya tersebut yang seakan-akan kondisi negara normal-normal saja, yang terjadi adalah hal-hal yang dapat dikualifikasi akan berlawanan dengan kondisi aktual yang terjadi.

"Situasi pandemi adalah kondisi kedaruratan yang membutuhkan kecepatan dan terobosan. Implikasinya bisa saja merembet kepada adanya aturan-aturan normal yang diterobos atau disesuaikan," ujar dia.

Sebaiknya, lanjut Sonyendah, BPK dan aparat penegak hukum yang menindaklanjuti temuan BPK tidak melihat hal tersebut sebagai suatu pengecualian yang dalam hukum biasanya dikualifikasi sebagai alasan pembenar, karena landasan dan payung hukum dalam situasi yang terjadi saat ini adalah nya adalah UU No 2 Tahun 2021.

"Maka aparat penegak hukum yang selama ini menindaklanjuti temuan-temuan BPK pun harus mengikuti arahan Presiden Jokowi tersebut," kata Sonyendah.

Dia juga mengingatkan pentingnya pernyataan Presiden yang menekankan saat ini yang paling utama adalah bagaimana memastikan dan menjamin keselamatan rakyat Indonesia sebagaimana amanah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa Negara wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang dapat dimaknai sebagai kewajiban melindungi rakyatnya.

"Keselamatan rakyat harus menjadi perhatian aparat penegak hukum, yakni sebagaimana dinyatakan Presiden Jokowi bahwa tujuan yang paling utama bagi negara saat ini adalah menyelamatkan rakyat, dan itu menjadi hukum tertinggi dalam bernegara," tutur dia.

 

 


Atasi Dampak Pandemi

Hal lain yang penting untuk diperhatikan menurut Sonyendah, bahwa penyalahgunaan kewenangan (discretionary power) dalam ranah tindak pidana korupsi tidak bisa serta merta dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi.

Hal ini dapat dasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) yang dinyatakan bahwa "biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis, dan bukan merupakan kerugian negara."

"Artinya, itu jelas merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dalam situasi krisis, negara sama sekali tidak dirugikan, dan oleh karenanya hal tersebut tidak dapat dikualifikasi sebagai adanya kerugian Negara," jelas dia.

Menurut Sonyendah, dalam konteks kondisi Pandemi Covid-19, UU tersebut juga memberikan perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik, yang tergabung membantu pemerintah dalam mengatasi masalah pandemi Covid-19, khususnya dengan pengadaan barang dan jasa yang dbutuhkan untuk mengatasi dampak pandemi ini.

"Oleh karenanya, pelaksanaan kebijakan pemerintahan saat ini sejalan dengan doktrin Freis Ermessen yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasaran (doelmatigheid) daripada tercapainya kesesuaian yang sangat rigid dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid)," pungkas Sonyendah.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya