Liputan6.com, Jakarta - Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan 90 persen lebih pengusaha besar pemilik barang berkontrak dengan pengusaha pengangkut barang yang memiliki armada truk obesitas atau Over Dimension and Overload (odol).
“Di Indonesia, sekitar 90 persen lebih pengusaha besar pemilik barang berkontrak dengan pengusaha pengangkut barang yang memiliki armada berdimensi lebih (Over Dimension Over Load),” kata Djoko kepada Liputan6.com, Minggu (22/8/2021).
Advertisement
Menurutnya, sudah barang tentu semua armada truk yang berdimensi lebih tidak memiliki surat uji berkala (kir) resmi. Melainkan sudah ada unsur kesengajaan antara pemilik barang dan pemilik kendaraan melakukan pelanggaran muatan lebih (overload), menggunakan kendaraan berdimensi lebih.
Djoko menjelaskan, dari hasil uji coba pemasangan weigh in motion (WIM) di jalan tol menyimpulkan jika truk ODOL kecepatannya rendah. Secara legalitas kecepatan di ruas tol antara 60-100 km per jam.
“Akan tetapi kenyataannya kecepatan di bawah itu tidak pernah ada tindakan hukum, meskipun data dari speed camera sudah bisa membuktikan sampai dengan plat tanda nomor kendaraan bermotornya,” ujarnya.
Di sisi lain, belum memadainya moda lain dalam pergerakan barang. Untuk menekan biaya logistik, banyak pelaku bisnis yang melebihkan muatan pada kendaraannya.
Djoko berpendapat, tindakan yang dianggap menguntungkan pelaku bisnis dalam jangka pendek ternyata berdampak buruk bagi pihak lain, yaitu pengguna jalan lain dan pemerintah sebagai pengelola jalan.
“Tidak hanya berdampak pada tingkat kerusakan jalan, akan tetapi juga berpengaruh pada kelancaran lalu lintas, keselamatan dan tingkat kecelakaan lalu lintas yang semakin bertambah. Kementerian PUPR (2017) menyebutkan Rp 47 triliun biaya perawatan jalan nasional,” ujarnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sempurnakan Sistem
Selain itu, pelanggar muatan dan dimensi berlebih (over dimension and over load/ODOL) di jalan berdampak terhadap rusaknya infrastruktur jalan, dan jembatan serta fasilitas pelabuhan penyeberangan, sehingga kinerja keselamatan dan kelancaran lalu lintas menurun.
Kemudian menyebabkan biaya operasi kendaraan meningkat dan pada akhirnya akan berdampak terhadap kelancaran distribusi logistik nasional.
“Sudah banyak korban di jalan tol akibat tabrak belakang karena adanya perbedaan kecepatan dengan kendaraan pribadi atau bus,” ujarnya.
Oleh karena itu, Djoko menyarankan agar Pemerintah menyempurnakan sistem dan teknologi, serta dibarengi penegakan hukum dengan sanksi pidana maupun denda yang cukup tinggi, supaya pelanggar jera.
Djoko menilai kapasitas, lokasi dan teknologi yang digunakan pada fasilitas penimbangan kendaraan barang (jembatan timbang) kurang mengikuti perkembangan teknologi terkini.
“Membandingkan dengan praktek membendung truk ODOL di mancanegara, sanksi denda cukup tinggi, sehingga dampaknya ada efek jera bagi yang melanggar untuk tidak mengulanginya lagi,” pungkasnya.
Advertisement