Liputan6.com, Jakarta Hal yang biasa dipersiapkan sebelum mencari pekerjaan adalah menyusun curriculum vitae (CV) dan portofolio yang sesuai dan terbaik berdasarkan pilihan pekerjaan yang ditargetkan. Namun, para ahli beranggapan bahwa menyiapkan resume tidak lagi menjadi penilaian yang efisien.
Pendiri startup perangkat lunak untuk perekrutan Applied Khyati Sundaram mengatakan jika melamar kerja menggunakan resume adalah cara yang kuno dan memberinya perspektif unik mengenai masalah bias dalam merekrut calon pekerja.
Advertisement
Sesuai dengan profesinya sebagai tim rekrut, perusahaannya ingin mencoba resume lamaran kerja dengan lebih berfokus pada hal-hal yang lebih besar dibandingkan penilaian sebatas selembar kertas berisikan pengalaman pelamar.
Hal tersebut dikatakan berdasarkan pengalamannya selama ini dalam mencari pekerjaan. Dengan latar belakang sebagai seorang ekonom, ia sempat bekerja di perbankan sebelum akhirnya menemukan langkah yang tepat untuk melakukan perekrutan bagi perusahaannya sendiri.
“Pembuatan formulir lamaran kerja dengan mengunggah atau menyebarkan portofolio Anda terbukti tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan karena tidak dapat merangkum segala keterampilan dan pengetahuan seseorang,” ujar Sundaram melansir CNBC, Jumat (30/12/2021).
Resume ini dianggap mubazir dan justru menyebabkan bias karena perekrut mencari hal-hal tertentu saja pada pelamar dan jalan pintas tersebut membuat bias tersebut semakin bertumbuh.
Oleh karena itu, Applied sendiri menganjurkan penerapan yang memprediksi kandidat terbaik berdasarkan keterampilan daripada resume.
Perubahan Peran Resume dan Surat Lamaran Kerja
Kemudian, tanggapan dari seorang CEO perusahaan perangkat lunak untuk perekrutan Greenhouse Daniel Chait menyatakan deklarasi tentang kematian resume telah dibesar-besarkan, tetapi peran dan fungsinya telah berubah.
“Saya pikir kata-kata manager perekrutan belakangan bukan lagi berkata ‘ya, pekerjakan yang ini’. Resume dapat diibaratkan seperti kartu nama untuk pencari kerja,” tambah Chait.
Tak hanya itu, Chait menegaskan bila sebuah organisasi menilai kandidat dan menentukan kecocokan dari pilihan pekerjaan yang dipilih dapat dilakukan dengan langkah yang tepat, perusahaan akan mendapatkan keunggulan.
Salah satu cara perusahaan dapat melakukan bereksperimen dengan memanfaatkan resume yang mencantumkan nama orang dan data diri pribadi lainnya dapat menyebabkan bias terhadap gender atau etnis. Hal tersebut tentunya akan berimbas pada penilaian kualifikasi dari calon kandidat.
“Penerapan ini memiliki banyak dampak sebenarnya dan sekaligus membutakan informasi yang benar dari resume. Sementara itu informasi penting yang seharusnya diterima justru tertutup,” jelas Chait.
Sebaliknya, Chait mengatakan proses perekrutan ini masih memiliki sistem yang berantakan dan struktur yang lebih besar untuk melakukan analisis data agar informasi yang diidentifikasi dapat diketahui kekurangan apa saja yang ada.
Dengan begitu, perusahaan mungkin dapat melakukan pengumpulan data seputar kandidat dari aspek gender atau ras, Namun, perekrut harus sangat menyadari tentang bagaimana mereka mengumpulkan data ini dan tetap terjaga privasinya.
Advertisement
Bias dari Algoritma
Penggunaan algoritma untuk mencari informasi singkat terkait calon pekerja akan menyebabkan bias dan kebingungan. “Kumpulan data historis melanggengkan bias karena kami tahu hasilnya tidak adil,” jelas Chait.
Pada saat yang bersamaan, cara tersebut dinilai bukan menjadi solusi yang tepat. Kepala eksekutif perusahaan rekrutmen Carex Consulting Group Rachel Neill mengatakan masih ada bahaya dan risiko yang perlu diwaspadai perusahaan karena teknologi dapat diperbaiki.
Keragaman dinilai baik, tetapi harus dipastikan bahwa tim perekrut tidak boleh bias mengenai segala informasi latar belakang yang diberikan kandidat. “Saya pikir kamu berjuang dengan perusahaan yang mengatakan ‘kami’ menginginkan keragaman, tetapi tidak menerapkan praktek tersebut dengan baik,” tambah Neill.
Neill juga menekankan bahwa masalah usia adalah hal yang penting dipikirkan, tetapi orang tidak sering memikirkannya.
Reporter: Caroline Saskia