Petisi Mendesak Pengelolaan Limbah Medis yang Transparan, Cepat, dan Ramah Lingkungan

KLHK mencatat timbulan limbah medis sejak Maret 2020 hingga Agustus 2021 meningkat signifikan hingga lebih dari 20ribu.

oleh Henry diperbarui 26 Agu 2021, 16:01 WIB
Petugas kesehatan memakai baju APD sedang membersihkan sampah bekas medis di Puskesmas Pamulang, Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Senin (13/04/2020). Sampah bekas medis tes Covid-19 tersebut akan dimusnahkan guna untuk mensteril kawasan puskesmas. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu dampak pandemi Covid-19 yang belum kunjung berlalu ini adalah menumpuknya limbah medis yang masuk dalam kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). Pengelolaan limbah medis Covid-19 dinilai bisa menjadi ancaman baru krisis iklim.

Direktur Lingkungan Hidup KemenPPN/Bappenas, Medrilzam mendorong penerapan Asas Pencemar Membayar (polluter pays principle) dalam pengelolaan limbah medis tersebut. Hal ini disampaikan dalam diskusi virtual bertajuk ‘Diskusi Bareng Anak Muda: Darurat Limbah Medis, Kita Bisa Apa?’ yang digelar Selasa, 24 Agustus 2021. 

Saat ini pemerintah dianggap belum melakukan pengelolaan limbah medis dengan baik. DETALKS dan Doctors for XR Indonesia, dua komunitas itu pun memulai sebuah petisi di laman Change.org yang mendesak pemerintah untuk memastikan dan menjamin pengelolaan limbah medis yang transparan, cepat, dan ramah lingkungan.

Sampai berita ini ditulis, petisi itu sudah didukung oleh lebih dari 29 ribu orang. Menurut Amalia, salah seorang perwakilan pembuat petisi, banyak masyarakat biasa yang punya perhatian besar terhadap dampak limbah medis kepada kehidupan mereka sehari-hari.

Ternyata, ada 29 ribu orang lain yang juga ikut mendukung gerakan tersebut. Amalia juga menceritakan bagaimana pengelolaan limbah medis yang baik dan ramah lingkungan bisa berpengaruh pada kehidupan setiap orang.

"Ada teman saya di Tebet, Jakarta, yang bingung dan takut karena mau dibangun insinerator, karena takut menjadi sumber polusi udara lagi. Padahal, tidak semua limbah medis harus dikelola menggunakan pembakaran," terangnya.

Insinerator merupakan alat pemusnah limbah medis dengan teknik pembakaran, yang banyak digunakan di Indonesia. Banyak pihak, termasuk para pembuat petisi, merasa penggunaan insinerator yang berlebihan untuk mengelola limbah medis bisa memperparah krisis iklim akibat polusi dan emisi yang dihasilkan oleh alat tersebut.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Masih Dilematis

Petisi Mendesak Pengelolaan Limbah Medis yang Transparan, Cepat, dan Ramah Lingkungan. (Liputan6.com/Henry)

Mengenai krisis limbah B3 medis ini, Medrilzam mengatakan bahwa persoalan limbah medis memang masih menjadi permasalahan besar, termasuk penggunaan alat insinerator yang dianggap dilematis.

"Ada lima jenis alat pengelola limbah medis, dan semuanya sudah proven/terbukti. Insinerator, teknologinya kalau diterapkan dengan baik bisa bekerja dengan baik. Namun kalau di Indonesia, sampai hari ini saya belum pernah lihat ada yang dijalankan dengan benar. Dari segi manajemen masih banyak persoalannya, malah jadi seperti tungku. Jadi, dilematis bagi fasyankes untuk menerapkan insinerator," tutur Medrilzam.

Menurut dia, harus ada reformasi besar-besaran dalam pengelolaan persampahan di Indonesia karena kondisinya sudah darurat. Bukan hanya darurat limbah medis, tapi darurat sampah.

Medrilzam memaparkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) total timbulan limbah medis sejak Maret 2020 hingga Agustus 2021 meningkat signifikan sebesar 20.110,585 ton per kubik. "Timbulannya begitu tinggi, timbulan sampahnya itu naik signifikan, ini jujur saja di luar perkiraan. Siapa yang menyangka ada Covid. Ini tentunya membuat repot semua pihak tidak hanya pihak rumah sakit," kata Medrilzam.


Gerakan Memilah Sampah

Sampah medis memenuhi Sungai Cisadane, Kota Tangerang. (Liputan6.com/Pramita Tristiawati)

Dalam kondisi seperti ini, kata dia, pemerintah tentu tidak tinggal diam. Beberapa rumah sakit memiliki insinerator atau alat pengelolaan limbah yang berizin sampai jasa pengolah limbah B3 medis tersebut.

"KLHK juga membangun berbagai insinerator-insinerator di 32 provinsi. Sekarang ini baru sekitar 10 yang dibangun di seluruh provinsi. Sederhananya harus ada 1 unit pengolah limbah B3 medis setiap provinsi. Jangan sampai tidak ada," kata dia.

Medrilzam menambahkan, bukan hanya limbah B3 medis, limbah domestik pun demikian. Gerakan memilah sampah sudah didengung-dengungkan sejak puluhan tahun lalu tapi masih sulit diterapkan.

"Saya tidak tahu berapa generasi lagi sampai kita betul-betul bisa memilah sampah dengan baik. Kalau itu terwujud, pengurangan sampah yang sedang kita dorong di hulu bisa mengurangi beban pengolahan sampah yang ada di hilir," pungkasnya.


Senjata pengolah limbah Pemprov DKI

Infografis senjata pengolah limbah Pemprov DKI (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya