Bu Sri Mulyani, Pengusaha Minta Kenaikan PPN Ditinjau Ulang

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah meninjau ulang peningkatan biaya pajak pertambahan nilai dan penetapan pajak multi tarif.

oleh Andina Librianty diperbarui 26 Agu 2021, 11:30 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah meninjau ulang peningkatan biaya pajak pertambahan nilai (PPN) dan penetapan pajak multi tarif.

Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan peningkatan tarif maupun penerapan multi tarif pajak pertambahan nilai saat pandemi kurang tepat lantaran sektor ritel modern sedang terpuruk.

"Hampir 1.500 gerai ritel modern berhenti beroperasi dalam kurung waktu 18 bulan terakhir," kata Roy dikutip dari Antara, Kamis (26/8/2021).

Aprindo menilai kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen akan berdampak terhadap penurunan daya beli masyarakat, sehingga memupuskan upaya menjaga konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.

Pada kuartal II 2021, konsumsi rumah tangga masih dominan dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dengan sumbangan mencapai 55,07 persen pertumbuhan domestik bruto.

"Kenaikan tarif pajak akan meningkatkan laju inflasi seiring dengan kenaikan harga barang," ujar Roy.

Lebih lanjut dia menambahkan situasi itu akan lebih tergerus lagi saat dikenakan sistem multi tarif terendah lima persen dan tertinggi 15 persen.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Beban Masyarakat

Suasana deretan kios yang tutup di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Minggu (8/8/2021). Pemerintah akan memberikan insentif berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa sewa kios, gerai, dan toko di pusat perbelanjaan selama Juni-Agustus 2021. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Peningkatan pajak multi tarif akan membebani masyarakat berpenghasilan rendah atau marginal senilai lima persen, padahal sebelumnya mereka tidak terkena pajak.

Selain itu, dampak perbedaan multi tarif berpotensi membangunkan pasar gelap yang menjadi pilihan utama konsumen maupun peningkatan belanja barang di luar negeri yang harganya lebih bersaing.

Roy meminta penangguhan pemberlakuan pajak penghasilan minimal satu persen terhadap pendapatan kotor perusahaan yang berstatus rugi.

"Pajak minimal ini akan menambah beban tambahan bagi berbagai sektor termasuk peritel yang mengalami kerugian, sehingga melakukan langkah kebijakan strategis dalam hal penutupan gerai yang berdampak hilangnya investasi hingga PHK massal," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya