Liputan6.com, Jakarta Erik Prince, pendiri perusahaan militer swasta AS bernama Blackwater mematok tarif Rp 93,7 juta (USD 6.500) satu kursi penerbangan untuk mengevakuasi warga Afghanistan dari Bandara Kabul.
“Biaya itu akan mencakup biaya masuk ke bandara dan penerbangan keluar, tetapi dia akan membebankan biaya lebih kepada penumpang jika memerlukan transportasi ke bandara, dari ibu kota,” ujar Prince melansir businessinsider, Kamis (26/8/2021).
Advertisement
Keterlibatan AS dalam perang di Irak dan Afghanistan telah memberikan keuntungan miliaran dolar bagi perusahaan milik Prince.
Seperti kondisi saat ini di Afghanista yang dikuasai Taliban seakan menjadi peluang bagi Prince mengantongi keuntungan dengan cara menjual tiket pesawat.
Keputusan yang diberikan tentunya mendapatkan banyak kecaman dan kritik dari pengamat dan media di AS.
Salah satunya editor dari New York Times Maria Abi-Habib yang mengunggah cuitannya yang berisikan, “Setelah menghasilkan jutaan dolar dari perang Afghanistan, Erik Prince kembali melakukannya dan mengeksploitasi keputusasaan orang demi uang,” tulis Maria.
Tak hanya itu, pengamat dan aktivis lainnya menilai dan beranggapan bahwa apa yang dinyatakan Prince sangatlah tidak berempati karena tidak dapat melihat krisis dari sekutunya.
Namun, ternyata dari pihak Erik Prince sendiri masih belum memberikan respons apapun terkait kritikan dan kecaman dari warga AS.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah AS dalam konferensinya menyatakan bahwa White House tidak mendukung kelompok yang mengambil keuntungan dari keputusasaan ini. Oleh karena itu, AS bersedia menyediakan penerbangan gratis.
“Ini adalah langkah yang tepat untuk diambil,” ujar Sekretaris White House Jen Psaki.
Evakuasi Afghanistan
Puluhan ribu warga Afghanistan, AS, dan warga negara asing lainnya telah dievakuasi dari negara tersebut ketika rezim dari otoriter Taliban kembali bangkit. Presiden AS Joe Biden menyatakan janjinya untuk memindahkan seluruh warga.
“Saya bertekad untuk memastikan bahwa kami menyelesaikan misi kami,” jelas Biden, Kamis (26/08/2021).
Tenggat waktu yang diberikan sampai 31 Agustus mendatang ini untuk berfokus pada pemindahan seluruh pasukan militer AS.
Meskipun ada berbagai tekanan dari pemimpin G7 lainnya untuk memberi lebih banyak waktu, Biden sepertinya tidak memberikan respons apapun.
Tak adanya keberpihakan pada Afganistan untuk memberikan dukungan, melansir dari insider, sejumlah kelompok swasta termasuk organisasi nirlaba kini telah membantu warga lokal di Afghanistan yang termasuk kelompok rentan untuk pergi.
Namun, masih ada beberapa penerbangan dari Kabul dengan kursi yang masih kosong karena Afghanistan dan warga negara asing lainnya terhambat karena adanya pos pemeriksaan Taliban⎼pos pemeriksaan laut AS di bandara.
Sampai saat ini, menurut laporan dari Departemen Luar Negeri AS, sejak penguasaan wilayah terjadi, pasukan AS telah mengevakuasi 82.300 orang dan sudah bertambah 19.200 orang dari sebelumnya yang berhasil keluar dari bandara internasional di Kabul.
Advertisement
Jaminan Kewarganegaraan Masih Buram
Ketidakpastian akan syarat evakuasi dari warga Afghanistan belum kembali dikonfirmasi oleh Komite Penyelamatan Internasional. Namun, mereka memprediksi bahwa 300 ribu warga Afghanistan memiliki risiko tinggi menjadi sasaran Taliban karena pekerjaan mereka dengan AS.
Kemudian, pemerintah AS sendiri menjelaskan bahwa puluhan ribu warga Afghanistan sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan visa imigran khusus karena beberapa dari mereka masih terikat pekerjaan sebagai militer untuk AS.
AS telah memberlakukan operasi khusus untuk mengambil orang Amerika di daerah tertentu di Kabul yang dikuasai Taliban. Sayangnya, ada banyak militer yang tersebar di seluruh daerah sehingga memakan waktu evakuasi yang lebih lama.
Reporter: Caroline Saskia