Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan kendaraan listrik di dunia, khususnya Indonesia, telah menjadi keniscayaan. Berbagai faktor melatarbelakangi hal tersebut, mulai dari kondisi iklim yang semakin buruk hingga ketersedian bahan bakar fosil yang semakin menipis.
Berbagai pabrikan mobil dunia kini sudah sangat serius mengembangkan kendaraan ramah lingkungan. Tidak hanya itu, ekosistem pendukungnya seperti ketersediaan bahan pembuat baterai, produksi baterai, serta infrastruktur pengisian baterai juga terus dikembangkan.
Advertisement
Namun, para pembuat mobil ini tidak bisa sendiri. Mereka butuh dukungan dan kerjasama dengan pemerintah atau instansi terkait.
Indonesia sendiri memiliki rencana dan target kendaraan listrik yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menargetkan adopsi 2.200 mobil listrik dan 2,1 juta motor listrik pada 2025.
Melihat kondisi tersebut, tentu saja roadmap Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) harus segera diselesaikan. Hal ini disampaikan Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
Menurutnya, industri ini membutuhkan persiapan agar bisa mulai bergerak.
"Roadmap ini perlu segera dirumuskan dan diimplementasikan sesuai dengan tahapan," ujar Moeldoko saat memimpin Rapat Koordinasi Percepatan Implementasi Kebijakan KBL-BB di Gedung Bina Graha Jakarta, ditulis Kamis (26/8/2021).
Sedangkan Kementerian Perindustrian di dalam peta jalan sektor otomotif, dimana produksi LCEV3 (termasuk kendaraan listrik di dalamnya) dipatok untuk mencapai 20 persen dari total produksi kendaraan di tahun 2025 (400.000 kendaraan roda empat LCEV dan 1.760.000 motor listrik) hingga 30 persen pada tahun 2035 (1.200.000 kendaraan roda empat LCEV dan 3.225.000 motor listrik).
Untuk memuluskan target tersebut, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) baru, hasil dari revisi PP Nomor 41 tahun 2013, tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), sebagai payung hukum mobil ramah lingkungan.
Targetkan 15 Juta Kendaraan Listrik
Pengembangan pasar kendaraan listrik di Tanah Air juga masih terus berjalan. Pasalnya, hal ini juga sebagai upaya meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan untuk mengatasi persoalan persoalan lingkungan, dengan salah satunya melalui kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) di Indonesia.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah menargetkan 2 juta mobil listrik siap mengaspal pada 2030 mendatang.
Sedangkan, untuk motor listrik diproyeksikan mencapai 13 juta unit. "Proyeksi kendaraan baterai listriknya seperti apa? Kita menargetkan 2 juta mobil (listrik) di 2030, dengan 13 juta sepeda motor listrik," terangnya dalam acara diskusi panel virtual.
Kendati demikian, Dadan mengakui dibutuhkan pasokan listrik yang besar untuk mendukung ambisi tersebut. Yakni mencapai 113 juta kwh baterai listrik.
"Jadi, yang dibutuhkan 113 juta kwh kapasitas baterai. Tapi kalau ini basisnya lithium kita membutuhkan 758 ribu ton lithium. Ini adalah untuk kebutuhan baterai mobil listrik dan motor sepeda motor listrik berdasarkan grand strategi energi nasional," tekannya.
Advertisement
Perbandingan Biaya Pengeluaran
Penggunaan mobil listrik, baik hybrid, plug-in hybrid (PHEV), dan baterai murni bertujuan untuk menghemat penggunaan bahan bakar serta emisi gas buang. Jika dilihat dari penggunaan energinya, memang penggunaan mobil listrik di Indonesia, tentu saja akan lebih hemat dibanding mobil yang masih menggunakan bahan bakar bensin atau diesel.
Mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 28 Tahun 2016, tarif listrik Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPTU) termasuk ke dalam penggunaan listrik untuk keperluan khusus dengan biaya Rp 1.650 per Kwh.
Seandainya melakukan perjalanan sejauh 100 km, maka berapa pengeluarannya?
0,154 Kwh/km, 100 km = 15,4 Kwh.
15,4 Kwh x Rp 1.650 = Rp 25.410
Artinya, biaya yang perlu dikeluarkan untuk perjalanan sepanjang 100 km setara dengan Rp 25.410.
Bandingkan dengan kendaraan yang menggunakan BBM. Sebagai contoh penggunaan Pertalite yang dibanderol Rp 7.650 per liter.
Apabila 1 liter mampu menjangkau jarak 10 km maka dengan jangkauan jarak 100 km, maka menghabiskan sebanyak 10 liter atau Rp 76.650.
Perbandingan Emisi Gas Buang
Sementara itu, untuk perbandingan emisi gas buang mobil listrik (hybrid, PHEV, dan baterai) dengan konvensional (bensin dan diesel) memang terpaut jauh.
Data ini, didapat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2017. Untuk mobil hybrid, emisi karbon CO2 yang dihasilkan berkisar antara 70 sampai 80 gram/km.
Memang masih cukup tinggi, pasalnya jenis kendaraan ini masih menggunakan mesin konvensional sebagai penggerak roda, ataupun meng isi daya baterai. Jadi, ketika mesin konvensionalnya bekerja, maka akan menghasilkan emisi yang cukup besar.
Sedangkan mobil PHEV, merupakan kombinasi antara mesin konvensional dengan small electric motor dan small high voltage battery. Artinya, kendaraan ini masih bisa menggunakan bahan bakar petrol, namun juga menggunakan baterai elektrik. Emisi karbon CO2 yang dihasilkan berkisar antara 45-50 gram/km.
Sementara mobil listrik dengan menggunakan baterai murni, menghasilkan emisi karbon CO2 yang berkisar antara 0 sampai 5 gram/km. Bandingkan dengan mobil konvensional, baik yang menggunakan mesin bensin atau diesel, dengan menyumbang 125 gram/km emisi CO2.
Advertisement
Pekerjaan Rumah Pemerintah
Untuk menumbuhkan pasar kendaraan listrik, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pemerintah dapat mengambil beberapa langkah berikut seperti menerapkan sejumlah insentif misal dengan diskon pajak dan keleluasaan untuk memakai rute tertentu.
Tidak hanya itu, edukasi tentang teknologi dan keuntungan secara ekonomi dari memiliki kendaraan listrik perlu semakin digalakkan. Teknologi yang relatif baru ini masih belum dikenal masyarakat dengan baik.
Di kalangan pemilik maupun peminat kendaraan listrik pun ada semacam range anxiety, yakni perasaan kuatir tidak bisa sampai di tujuan dengan daya baterai yang dimiliki mobilnya. Keberadaan fasilitas pengisian daya yang belum merata antar satu tempat dengan tempat lain juga menjadi pertimbangan tersendiri. Memastikan ketersediaan fasilitas pendukung yaitu stasiun pengisian daya juga menjadi hal penting untuk mendukung adopsi kendaraan listrik.
Selain mengenalkan teknologi dan memastikan ketersediaan fasilitas pendukung, masyarakat perlu juga diajak membandingkan ongkos kepemilikan kendaraan (total ownership cost) antara kendaraan konvensional dan kendaraan listrik.
"Perbedaan signifikan ada pada biaya perawatan dan biaya bahan bakar per kilometer yang terhitung lebih hemat pada kendaraan listrik. Namun seringkali calon konsumen tidak menghitung sampai sejauh itu sebelum membeli kendaraan. Hal ini baik untuk mengedukasi masyarakat sekaligus promosi kendaraan listrik," ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dikutip dari laman iesr.or.id.
Terkait dengan insentif yang akan diberikan pada pemilik kendaraan listrik, Fabby menekankan pemerintah harus memikirkan sungguh-sungguh bentuk insentif yang akan diberikan pada kendaraan listrik, mengingat kendaraan listrik ini sebenarnya tergolong barang mewah. Indonesia dapat merujuk pada beberapa negara seperti Cina dan Norwegia terkait jenis insentif yang diberikan untuk kendaraan listrik.
Insentif
Selain Perpres No. 55/2019, beberapa peraturan turunan dan peraturan lain yang sudah lebih dulu dikeluarkan pemerintah telah memberikan beberapa insentif bagi pengguna maupun produsen kendaraan listrik di tanah air.
Meskipun beberapa insentif telah diberikan oleh pemerintah, namun harga kendaraan listrik di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan konvensional.
Menggunakan skema insentif dan perpajakan kendaraan listrik yang ada saat ini serta adanya pembebasan bea masuk, mobil listrik memiliki harga jual 20 persen lebih tinggi dibandingkan mobil konvensional dengan tipe yang sama.
Walaupun telah diberikan fasilitas pembebasan PPNBM dan BBNKB, harga kendaraan listrik masih kurang terjangkau bagi sebagian besar pembeli kendaraan bermotor. Hal ini disebabkan tingginya harga baterai dan adanya beberapa pajak, seperti PPN dan PPh impor yang masih melekat.
Pemerintah perlu memberikan dukungan fiskal yang lebih signifikan untuk membuat harga kendaraan listrik lebih kompetitif. Studi lain oleh IESR pada 2020 mengindikasikan bahwa konsumen mobil di Indonesia akan lebih tertarik membeli mobil listrik bila harganya minimal hanya lebih tinggi 10-15% dari harga mobil konvensional, disertai aspek pendukung lainnya, seperti ketersediaan SPKLU, diskon tarif charging, dan lainnya.
Advertisement
Pembangunan Ekosistem
Dalam studi "Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina" yang dikeluarkan IESR, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekosistem kendaraan listrik meliputi: (1) infrastruktur pengisian daya; (2) model dan pasokan kendaraan listrik; (3) kesadaran dan penerimaan publik; (4) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik; (5) insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah. Studi ini secara khusus melihat strategi dan kebijakan yang dipakai tiga negara, Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina dalam membangun ekosistem kendaraan listriknya.
Dalam publikasi tersebut, dijelaskan bahwa kunci keberhasilan ketiga negara dalam meningkatkan penetrasi kendaraan listrik adalah dengan menyediakan ekosistem pendukung yang memadai. Mengingat target pemerintah untuk capaian kendaraan listrik yang cukup ambisius, perlu untuk segera membangun ekosistem yang memadai untuk kendaraan listrik.
Alief Wikarta, dosen dan peneliti di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, menyatakan bahwa pembangunan ekosistem kendaraan listrik tidak bisa dilakukan dengan skema business as usual. Perlu peran investor swasta untuk ikut serta menyediakan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
Salah satu kendala kendaraan listrik saat ini terkait harganya yang masih lebih mahal daripada kendaraan konvensional. Komponen yang membuat mahal kendaraan listrik adalah baterai. "40-50% harga EV dialokasikan untuk harga baterai. Jika ada skema bisnis yang bisa mengeluarkan biaya baterai dari harga yang harus ditanggung konsumen, harga kendaraan listrik akan turun drastis," jelas Alief, dikutip dari iesr.or.id.
Berbagai skema untuk menekan harga kendaraan listrik diperkenalkan salah satunya yang diperkenalkan oleh kementerian ESDM yaitu skema battery swap. Dalam skema ini biaya baterai dapat ditekan, dengan syarat ada investor yang mau berinvestasi untuk membuka swap station.
Skema apapun nanti yang diambil sebagai solusi, pemerintah perlu mencari investor yang siap untuk lari marathon dalam membangun ekosistem battery swap ini yaitu menanggung biaya baterai dan membuat swap stationnya. Komitmen jangka panjang dari investor ini penting karena yang akan dibangun adalah ekosistem pendukung supaya industri kendaraan listrik dalam negeri dapat bersaing di kancah global.
"Tentu kita berharap industri kita tidak hanya dipasarkan untuk segmen pasar dalam negeri, namun juga dapat diterima pasar global. Maka kita harus memastikan kualitas kendaraan listrik yang kita buat itu baik dan memiliki ekosistem pendukung yang memadai," katanya.
Komitmen jangka panjang dari investor ini termasuk juga kemampuan penelitian dan pengembangan (research & development) dari investor tersebut. Kemampuan penelitian dan pengembangan ini penting karena yang ingin diwujudkan adalah lahirnya ekosistem secara keseluruhan bukan sekedar capaian produksi yang meningkat.
"Saya coba berpikir searah dengan agenda pemerintah saat ini yang sedang memberikan perhatian pada baterai. Kita perlu lebih menyuarakan lagi tentang second-life battery. Baterai-baterai yang kapasitasnya sudah di kisaran 80% mungkin sudah tidak optimal lagi untuk digunakan di mobil/motor listrik, namun baterai tersebut masih dapat digunakan untuk bidang lain misalnya PLTS atap atau turbin angin."
Artinya apa? Kita dapat mengintegrasikan kendaraan listrik dan energi terbarukan menjadi satu ekosistem yang utuh, yang lebih bersih dan secara ekonomi menguntungkan. Kesempatan untuk menggunakan kembali (reuse) ini tidak dapat dilakukan pada kendaraan konvensional.
"Di kendaraan konvensional kan hasil pembakaran BBM berupa polusi. Kita sudah nggak bisa apa-apakan lagi. Berbeda dengan kendaraan listrik yang baterainya dapat digunakan lagi untuk keperluan lain," jelas Alief.
Sampai saat ini kebijakan yang ada dan cara pemerintah melihat kendaraan listrik ini sebagai komponen yang terpisah-pisah, juga aspek circular ekonomi belum banyak dipertimbangkan.
"Sampai saat ini hanya dikatakan bahwa jika kita banyak memakai kendaraan listrik, maka impor BBM kita akan berkurang. Ya itu memang benar, tapi ada hal yang jauh lebih besar lagi yang bisa kita capai jika kita mengembangkan ekosistem kendaraan listrik ini dengan serius," Alief memungkasi.