Liputan6.com, Jakarta Ekonomi global berpotensi menanggung kerugian hingga USD 2,3 triliun atau setara Rp 33.174 triliun akibat penundaan dan ketidamerataan pemberian vaksinasi Covid-19 ke warga dunia. Negara-negara berkembang di Asia disebut yang paling terdampak hal ini.
Melansir dari CNBC, Jumat (27/8/2021), laporan Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi, kerugian akan ditanggung negara-negara yang tidak dapat menginokulasi 60 persen populasinya pada pertengahan 2022 hingga 2025.
Advertisement
“Negara yang termasuk negara berkembang akan menanggung biaya sekitar dua pertiga dari kerugian ini, jika mereka semakin menunda program ini,” ujar Direktur Global EIU Agathe Demarais, Jumat (27/08/2021).
Wilayah Asia diperkirakan akan menjadi benua yang paling ‘parah’ terkena dampak secara absolut karena kerugian yang ditangguhkan mencapai USD 1,7 triliun (Rp 24.543 triliun) atau setara dengan 1,3 persen perkiraan dari PDB kawasan Asia.
Tak hanya itu, “negara dan wilayah di sekitar Afrika seperti subsahara akan kehilangan sekitar 3 persen dari perkiraan PDB, termasuk dalam kelompok dengan persentase tertinggi”, demikian yang tertulis pada laporan tersebut.
“Perkiraan ini mungkin terdengar mengejutkan, tetapi hanya menggambarkan peluang ekonomi yang akan terjadi, khususnya dalam jangka panjang,” ujar EIU.
Menurut studi, hasil prediksi dari ekonomi global akibat pandemi ini belum melibatkan sektor pendidikan.
Negara-negara kaya yang mulai menerapkan pembelajaran jarak jauh selama pembatasan sosial mungkin bisa dapat dikendalikan. Sayangnya, untuk negara berkembang, pilihan tersebut tidak dimiliki.
Berdasarkan laporan vaksinasi covid-19 secara global oleh Universitas Johns Hopkins, menunjukkan lebih dari 213 juta orang telah terinfeksi COVID-19, dan jumlah yang meninggal sudah mencapai 4,4 juta orang.
Negara Maju dan Negara Berkembang
Negara-negara kaya sudah lebih cepat dan maju memiliki tingkat inokulasi COVID-19 lebih tinggi dibandingkan negara berkembang. Pergerakkan yang begitu cepat menuju dosis pertama dan kedua membuat pemerintah semakin gencar juga membuka kembali ekonomi di masing-masing wilayah.
Sementara itu, hal tersebut berbanding terbalik dengan negara berkembang dan negara miskin yang masih tertinggal cukup jauh dari tingkat inokulasi COVID-19. Bahkan masih ada beberapa wilayah yang belum mendapatkan vaksin secara merata.
Wilayah tersebut masih berlomba antara satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan vaksinasi. Melihat fenomena ini, ketimpangan yang terjadi tidak hanya berimbas pada satu negara saja, tetapi global.
Menurut Our World in Data, sekitar 5 miliar dosis vaksin COVID-19 telah diedarkan secara global sejak 23 Agustus, tetapi hanya 15,02 juta dari dosisi saja yang berada di negara berpenghasilan rendah.
Menanggapi hal tersebut, EIU menginginkan adanya kampanye vaksinasi yang harus lebih didorong agar negara-negara berpenghasilan rendah dapat mempercepat program vaksinasi mereka. Kemudian, laporan yang dilakukan menunjukkan adanya ketidakadilan dalam peredaran vaksin.
Ketidakadilan tersebut meliputi kekurangan kapasitas produksi secara global, bahan baku pembuatan vaksin, kesulitan logistik dalam mengangkut dan menyimpan vaksin, dan keraguan/ketidakpercayaan terhadap vaksinasi.
Faktor-faktor tersebut sebenarnya yang menghambat tercapainya tingkat inokulasi yang sudah ditetapkan secara global.
Namun, hal tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena masih banyak negara berkembang yang tidak mampu membeli vaksin untuk penduduknya.
Upaya-upaya yang dilakukan selama ini adalah mencari bantuan sumbangan dari negara-negara kayanya. Adapun inisiatif dari global yang belum sepenuhnya berhasil dalam memasok suntikan kepada mereka yang membutuhkan.
“Ada sedikit kemungkinan kalau kesenjangan akses ke vaksin akan dijembatani,” ujar Demarais.
COVAX, salah satu inisiatif dari WHO untuk mengirimkan vaksin ke negara-negara berkembang yang telah gagal melakukan program vaksinasi kepada penduduknya. Tercatat oleh UNICEF, inisiatif tersebut akan mengirimkan 2 miliar dosisi tahun ini, tetapi yang baru sampai 217 juta dosis yang berhasil diedarkan.
“Terlepas dari siaran pers yang memberikan janji yang bermurah hati, sumbangan dari negara kaya hanya memenuhi sebagian kecil persyaratan atau bahkan seringkali mereka tidak dikirimkan,” papar Demarais.
Advertisement
Efek dari Ketidakmerataan Vaksin
Pemulihan ekonomi yang dialami negara-negara berkembang dan negara miskin mungkin akan lebih lama dan lambat dibandingkan negara maju. Apalagi jika negara tersebut harus kembali melakukan pembatasan sosial karena rendahnya tingkat vaksinasi (inokulasi).
Kedua, lambatnya pemulihan tentunya juga akan berpengaruh pada sektor pariwisata karena membuat masalah keamanan lebih dikhawatirkan. Sementara itu, mungkin dapat terjadi konflik antar wilayah karena ketidakmerataan dari pembagian vaksin ini.
“Serangan kerusuhan sosial sangat mungkin terjadi dalam beberapa bulan dan tahun mendatang,” papar Demarais.
Selanjutnya, perkembangan varian virus yang terus berkembang berada di luar jangkauan setiap negara dapat menimbulkan peningkatan kasus, jumlah pasien yang dirawat inap, hingga kasus kematian.
“Perlu ditegaskan lagi bahwa perbedaan antara negara kaya dan miskin sangat kontras dan mencolok. Negara kaya akan memiliki lebih banyak pilihan, sementara negara yang vaksinasinya masih rendah, tidak memiliki pilihan yang banyak,” tutup Demarais
Reporter: Caroline Saskia
Baca Juga