Liputan6.com, Jakarta Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) memberikan masukannya terkait Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Ketua Umum IKPI Mochamad Soebakir mengatakan jika sebelum RUU KUP disahkan menjadi UU, saat ini IKPI telah melakukan kajian internal di departemen Litbang dan FGD IKPI.
Advertisement
"Dan dilanjutkan dengan melakukan diskusi internal secara intensif dengan pengurus harian pusat IKPI pada tanggal 12 dan 16 Agustus 2021 untuk mendapatkan pemahaman serta memberikan masukan terhadap RUU KUP," jelas dia.
IKPI yang sedang merayakan HUT IKPI ke-56 juga mengadakan “Diskusi Panel RUU KUP” serta memberikan masukan yang bersifat positif dan membangun terhadap RUU KUP dari sudut pandang pelaku usaha, DPR, dan konsultan pajak pada Jumat (27/8/2021).
RUU KUP yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah bersama DPR, tidak hanya berisi substansi materi tentang perubahan UU KUP itu sendiri, namun juga terdapat: UU Pengampunan Pajak, perubahan UU PPh, perubahan UU PPN, perubahan UU Cukai, dan UU Pajak Karbon.
IKPI sebagai mitra strategis Direktorat Jenderal Pajak, apalagi sudah menandatangani MOU, terpanggil untuk berkontribusi dan memberikan masukan yang bersifat positif dan membangun terhadap RUU KUP.
"IKPI mengapresiasi dan menyambut baik terhadap RUU KUP yang sedang dibahas, namun IKPI juga mempunyai beberapa catatan sebagai bahan masukan dalam penyusunan RUU KUP kepada Pemerintah dan DPR agar RUU KUP yang dihasilkan kelak lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi Wajib Pajak," jelas dia.
Adapun pokok-pokok masukan IKPI atas RUU KUP sebagai berikut:
1. Judul RUU KUP harus disesuaikan kembali, karena di dalamnya juga termasuk UU Pengampunan Pajak, perubahan UU PPh, perubahan UU PPN, perubahan UU Cukai dan UU Pajak Karbon. Hal ini guna terjadi harmonisasi antara judul Undang-Undang dengan materi muatan di dalamnya.
2. Pendelegasian yang tepat dari UU adalah ke Peraturan Pemerintah. Hal ini sesuai dengan Lampiran II angka 211 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan s.t.d.d. UU 15 Tahun 2019, diatur bahwa pendelegasian kepada Menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administrasif.
Kemudian terkait Perubahan UU KUP
1. Pasal 20A, disarankan untuk bantuan yang diberikan atau bantuan yang dimintakan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada negara mitra perlu dipertegas dan dibatasi hanya terhadap utang pajak yang belum daluwarsa penagihannya. Pelaksanaan penagihan hendaknya harus sesuai dengan UU tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
2. Pasal 27, ketentuan pengaturan sanksi denda 100 persen dalam Pasal 27 ayat (5d) dan ayat (5f) disarankan untuk dihapus, karena Wajib Pajak yang mencari keadilan tidak sepatutnya dikenakan sanksi denda.
Namun jika tetap ingin dipertahankan, maka demi keadilan, Wajib Pajak juga diberikan imbalan atas kesalahan fiskus dalam menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Besarnya imbalan dan persyaratannya sama persis dengan ketentuan dalam pengenaan sanksi denda.
3. Pasal 32A, disarankan khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi tidak perlu ditunjuk sebagai pemotong dan pemunggut pajak, karena hal ini akan membebani administrasi Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang memilih menyelenggarakan pembukuan atau diwajibkan untuk menyelenggaran pembukuan.
Kemudian pengaturan penunjukan pemotong pajak disarankan diatur dalam UU PPh dan pengaturan penunjukan pemunggut PPN disarankan diatur dalam UU PPN.
4. Pasal 37B s.d. 37I, yang mengatur tentang UU Pengampunan Pajak. Guna keberhasilan program Pengampunan Pajak ini, disarankan perlu memberikan fasilitas sebagaimana yang telah diberikan dalam Pasal 11 jo Pasal 15 jo Pasal 21 UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pengampunan Pajak.
Perlu juga penegasan atas perlakuan untuk harta yang diperoleh sebelum 1 Januari 1985 dan mekanisme untuk masuk ke sistem perpajakan agar dapat dikontrol oleh Direktorat Jenderal Pajak.
5. Pasal 44, disarankan untuk dihapus karena penangkapan telah diatur dalam KUHAP dan penyitaan telah diatur dalam UU tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
6. Pasal 44B, dalam mengutamakan ultimum remedium, penghentian perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan, disarankan agar membebaskan juga dari sanksi “Pidana denda”, namun tetap diharuskan untuk membayar denda “pajak yang seharusnya terutang ditambah dengan sanksi denda sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan”.
Label “pidana” dalam putusan hakim berupa “pidana denda” dapat merusak reputasi pengusaha dan akan dapat berimplikasi pengusaha tersebut tidak mempunyai prosfek bisnis yang baik ke depannya.
7. Pasal II angka 1, disarankan agar mengatur peraturan peralihan terhadap UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pengampunan Pajak dan bukan terhadap Peraturan Pelaksanaan dari UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Saran lainnya terkait UU KUP
8. Pasal 8 ayat (1a), disarankan untuk mengubah batas waktunya untuk menyampaikan SPT Tahunan yang menyatakan rugi atau lebih bayar yang saat ini adalah 2 tahun sebelum daluwarsa penetapan, diubah menjadi 1 (satu) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
9. Pasal 17B, disarankan untuk mengubah jangka waktu untuk memproses restitusi yang saat ini adalah 12 bulan, diubah menjadi 6 bulan.
Hal ini karena sejak 1 Januari 1995 sampai saat ini belum pernah diubah atas ketentuan jangka waktu untuk memproses restitusi lebih bayar adalah 12 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap dari Wajib Pajak.
Padahal saat ini DJP sudah didukung dengan kemajuan komputerisasi, sehingga sudah waktunya untuk diubah dengan dipersingkat.
10. Pasal 25 ayat (9), disarankan untuk menghapus sanksi denda 50 persen di tingkat keberatan, karena Wajib Pajak yang mencari keadilan tidak sepatutnya dikenakan sanksi denda.
Jika tetap ingin dipertahankan, maka demi keadilan, Wajib Pajak juga diberikan imbalan atas kesalahan fiskus dalam menerbitkan SKP. Besarnya imbalan dan persyaratannya sama persis dengan ketentuan dalam pengenaan sanksi denda terhadap Wajib Pajak.
11. Pasal 26, disarankan untuk mengubah jangka waktu proses penyelesaian sengketa keberatan yang saat ini adalah 12 (dua belas) bulan, diubah menjadi 6 bulan sejak permohonan diterima dengan lengkap.
12. Pasal 29, dalam ketentuan pemeriksaan terdapat prasa “untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak”.
Prasa ini disarankan untuk dihapuskan dan diganti dengan “bila Direktur Jenderal Pajak mempunyai bukti yang kuat bahwa Wajib Pajak keliru, maka Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan untuk menetapkan jumlah pajak yang seharusnya terutang dan seharusnya dibayar oleh Wajib Pajak dan ditambah sanksi pajak”.
Hal ini sesuai dengan sistem perpajakan Indonesia yang menganut sistem self assessment. Pemeriksaan pajak dengan tujuan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak tidak ada batasannya, oleh karena itu perlu diubah.
Advertisement
Perubahan UU PPh
1. Pasal 4 ayat (3) huruf d angka 1 dan Pasal 6 ayat (1) huruf n, disarankan untuk mengatur dengan tegas dalam Peraturan Pemerintah kelak untuk definisi dan penjelasan atas makna “seluruh pegawai”.
2. Pasal 4 ayat (3) huruf g, disarankan untuk diganti menjadi “disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau lembaga yang berwenang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku”, karena saat ini wewenang pengesahan telah dialihkan dari Menteri Keuangan kepada OJK.
3. Pasal 17 ayat (3), disarankan untuk wewenang mengubah besarnya Lapisan Penghasilan Kena Pajak orang pribadi juga perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana wewenang untuk mengubah tarif pajak orang pribadi.
4. Pasal 18 ayat (1a) dan ayat (1b), disarankan untuk menghapus prasa dari “maksud dan tujuan”, karena ini akan sangat subjektif dalam menginterprestasikannya, atau menyebutkan secara spesifik peraturan lainnya yang dimaksudkan, sehingga jelas bertentangan dengan peraturan yang mana.
5. Pasal 18 ayat (1), ayat (3e), dan ayat (3f), disarankan untuk mengatur dengan jelas dalam Undang-Undang PPh mengenai perbandingan atau parameter yang digunakan sebagai dasar yang jelas dalam menghitung biaya bunga yang dapat dibiayakan secara fiskal.
6. Pasal 31F, disarankan untuk mengatur dengan jelas Wajib Pajak “yang mempunyai karakteristik tertentu” dan “mempunyai penghasilan yang sangat besar”, khususnya yang mempunyai hubungan affiliasi dengan luar negeri yang dapat dikenai pajak minimun.
Hal ini agar sesuai dengan prinsip dasar dari sistem pengenaan pajak minimum yang berlaku secara terbatas, yaitu hanya terhadap pihak-pihak tertentu yang memang nyata-nyata memiliki instrumen untuk memodifikasi penghasilannya.
Kemudian Pasal 31F letaknya agar didekatkan dengan Pasal 18. Hal ini agar masih berada dalam satu klaster.Saran Lainnya di UU PPh:
7. Pasal 31E, disarankan untuk dipertahankan karena masih dibutuhkan dalam pertumbuhan UMKM.D. Perubahan UU PPN1.
Pasal 4A, dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, telah diamanahkan kepada Negara diantaranya untuk: “…untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,…”, oleh karena itu disarankan untuk tetap mempertahankan BKP dan JKP yang bukan sebagai objek PPN, yakni sebagai berikut:
Barang Kena Pajak:
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Jasa Kena Pajak:
a. jasa pelayanan kesehatan medis, kecuali yang bukan bersifat memulihkan kesehatan
b. jasa pelayanan sosial
g. jasa Pendidikan
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, kecuali yang premium; dan
k. jasa tenaga kerja.
2. Pasal 7 dan 7A, disarankan untuk tetap mempertahankan Tarif Tunggal PPN 10%. Tetap menggunakan metode PPnBM untuk pemunggutan PPN tambahan, yang secara substansi juga akan menimbulkan multitarif PPN secara tidak langsung.
Bila ada kelemahan dalam pelaksanaan pemunggutan PPnBM selama ini, maka yang perlu dievaluasi adalah metode dan mekanisme yang lebih tepat dan efektif dalam pemunggutan PPnBM, namun tidak membuat multitarif dalam pemunggutan PPN.
Multitarif akan sangat membebani administrasi Wajib Pajak dan akan berpotensi menimbulkan kesalahan Wajib Pajak dalam pemunggutan PPN yang berimplikasi dikenakan sanksi pajak oleh DJP.
Saran Lainnya di UU PPN
3. Pasal 1 UU PPN, disarankan untuk mengubah Pasal 1 UU PPN dengan mencantumkan definisi Pajak Pertambahan Nilai sebagai “pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi” sebagaimana yang saat ini dijelaskan di penjelasan umum UU PPN.
Dalam hal ini hanya memindahkan definisi PPN yang semula dijelaskan dalam memori penjelasan umum ke batang tubuh UU PPN tepatnya di Pasal 1 UU PPN.
4. Pasal 13 ayat (1) jo Pasal 13 ayat (1a), disarankan untuk memberikan fleksibelitas penerbitan Faktur Pajak atas penyerahan BKP menjadi diterbitkan paling lambat akhir bulan dilakukannya penyerahan.
Ini hanya kemudahan administrasi saja dan tidak ada kerugian negara. Hal ini untuk mendukung kelancaran proses bisnis.
Bila Wajib Pajak juga menerbitkan Faktur Komersial secara terpisah dari Faktur Pajak, maka penerbitan Faktur Pajak harus bersamaan dengan saat diterbitkannya Faktur Komersial.
5. Pasal 13 ayat (2), disarankan untuk memberikan fleksibelitas penerbitan Faktur Pajak Gabungan sesuai dengan kebutuhan Wajib Pajak yang penyerahannya dilakukan di Masa Pajak yang sama, yaitu dengan menerbitkan satu Faktur Pajak Gabungan atas beberapa surat jalan, sehingga dalam satu masa pajak boleh menerbitkan lebih dari satu Faktur Pajak Gabungan.
Saat ini fasilitas hanya diberikan untuk menerbitkan satu Faktur Pajak Gabungan untuk seluruh penyerahan dalam satu bulan kalender. Ini hanya kemudahan administrasi saja dan tidak ada kerugian negara. Hal ini untuk mendukung kelancaran proses bisnis.
6. Pasal Pasal 11 ayat (1) huruf f jo Pasal 1 angka 11 jo 13 ayat (6), disarankan untuk dibuat penegasan dan pengaturan dalam UU PPN yang menetapkan tanggal ekspor adalah tanggal saat barang naik ke atas kapal (tanggal bill of loading) dan tanggal BL disamakan dengan tanggal Faktur Pajak.
Ini sehingga tanggal pendaftaran PEB bukanlah tanggal Faktur Pajak, melainkan tanggal BL. Sehingga tanggal Faktur Pajak adalah tanggal sesuai barang dimuat dan dilaporkan di Masa Pajak sesuai bulan barang dimuat ke atas kapal.
Hal ini agar pelaporan ekspor sesuai saat barang meninggalkan Indonesia dan sesuai dengan pencatatan di akuntansi serta untuk menghilangkan rekonsiliasi omset penjualan yang disebabkan beda waktu ekspor seperti yang terjadi saat ini.
7. Pasal 12 jo Pasal 1A ayat (1) huruf f jo Pasal 1A ayat (2), disarankan untuk diubah “penyerahan antar cabang” menjadi “penyerahan internal” dan tidak termasuk dalam pengertian penyerahan kena pajak.
Kemudian perlu menerapkan sistem sentralisasi saja untuk tempat pajak terutang PPN, agar lebih sederhana administrasi PPN perpajakan Indonesia.
Advertisement