Liputan6.com, Jakarta - Flo (33 tahun), ibu dari seorang siswa kelas 3 SD, masih enggan merelakan anaknya mengikuti sekolah tatap muka. Kalau pun mesti ke sekolah, sederet persyaratan dia minta ke pihak sekolah.
Flo berharap anak-anak bisa memperoleh vaksin terlebih dahulu sebelum mengikuti sekolah tatap muka. Protokol kesehatan yang ketat di sekolah juga jadi harga mati baginya.
Ia menyarankan agar jam belajar di sekolah tidak lebih dari empat jam dan siswa yang masuk ke sekolah jumlahnya hanya 25 sampai 50 persen. Flo berharap ada opsi yang diberikan kepada orangtua untuk memilih kelas daring atau tidak, untuk anak-anak mereka.
Baca Juga
Advertisement
"Jika anak-anak belum divaksin, sekolah harus memastikan lingkungan sekolah aman dan bersih. Setiap hari ruangan harus didisinfektan dan disemprot uap disinfektan. Ruangan kelas ada filtrasi hepa filter," ucap Flo kepada Liputan6.com.
Berbeda dengan Flo, Ari (38 tahun), orangtua dari siswa kelas 5 SD ini mengaku kewalahan dalam mendampingi putrinya ketika sekolah daring selama pandemi. Ia juga merasa anaknya tidak serius belajar dan lebih banyak menonton video KPop di YouTube.
Maka itu, saat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, mendesak penerapan kembali Pembelajaran Tatap Muka (PTM) untuk para pelajar, Ari salah satu orangtua siswa yang menyambut antusias. Dia percaya sekolah tatap muka lebih maksimal untuk anaknya belajar.
"Pasti kan nanti sekolahnya juga ada prokes (protokol kesehatan) yang ketat. Katanya juga kan tidak semua murid hadir di kelas, cuma 50 persen, gantian ke sekolahnya," kata Ari kepada Liputan6.com.
Tak dipungkiri, salah satu masalah terbesar PJJ adalah ketidaksiapan sebagian orang tua menggantikan posisi guru dalam proses belajar-mengajar anak.
Di awal pandemi, tidak sedikit orang tua yang tertekan dan jenuh dalam mendampingi pendidikan anak ketika belajar di rumah. Kondisi nyata di lapangan yakni terdapat keluarga atau orangtua siswa yang diketahui tidak well educated, sehingga kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) malah menghadirkan masalah. Keterbatasan sarana penunjang PJJ juga menjadi masalah lain.
Masalah Anak
Masalah PJJ sebenarnya tidak hanya dirasakan orangtua. Ken, seorang siswa kelas 2 di sebuah sekolah dasar swasta di Harapan Indah Bekasi bahkan mengaku tidak tahu bagaimana rasanya sekolah tatap muka.
Sebab, selama ini, sekolahnya hanya memberlakukan PJJ. Tak heran, Ken pun tak bisa memilih saat ditanya apakah lebih enak sekolah tatap muka atau daring.
"Enggak tahu, aku kan gak pernah sekolah tatap muka, aku sekolahnya online terus," ujarnya, polos.
Saat disebutkan bawah di sekolah tatap muka, dia bisa lebih banyak mendapat teman, Ken menjawab, "Sekolah di rumah juga aku ada teman."
Beda Nadiem, Beda Jokowi
Nadiem Makarim mengkhawatirkan kondisi yang terlalu lama menjalani sekolah daring atau PJJ membuat para pelajar ketinggalan pembelajaran atau learning loss. Sikap Nadiem ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Nadiem, yang akrab disapa Mas Menteri, menekankan, rencana menerapkan kembali PTM di tengah pandemi COVID-19 sudah dipersiapkan pihaknya sejak jauh-jauh hari. Bahkan, sebenarnya telah berjalan sekitar 30 persen. Tapi, proses itu mesti terhenti karena serangan varian Delta di Indonesia. Ketika kasus COVID-19 mulai sedikit melandai, Nadiem tetap melanjutkan upaya menerapkan PTM.
Dia juga menilai, tidak mungkin terus melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sampai semua pelajar mendapat vaksin COVID-19. Sebab, butuh waktu setidaknya 2,5 tahun untuk menyelesaikan vaksinasi seluruh pelajar di tanah air.
Berdasarkan data Kementrian Kesehatan per 27 Agustus 2021, baru 2,5 juta anak usia 12-17 tahun yang saat ini telah menerima suntikan vaksin COVID-19 dosis pertama. Angka tersebut baru 9,5 persen dari total target 26,7 juta anak yang harus divaksin. Sementara anak yang telah mendapat suntikan vaksin dosis kedua baru mencapai 1,5 juta atau 5,9 persen.
"Setiap rapat dengan kementerian lain, posisi kami sama. Ini sudah terlalu lama, kondisi psikologis dan cognitive learning loss anak-anak kita sudah terlalu kritis. Kita harus secepat mungkin membuka dengan protokol kesehatan yang ketat," ujar Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, dalam rapat bersama Komisi X DPR RI, Senin (23/8/2021).
Pernyataan Nadiem berbeda dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang masih menginginkan PTM terbatas. Jokowi juga memberi syarat, PTM boleh dilaksanakan jika seluruh pelajar harus divaksinasi COVID-19 terlebih dahulu.
"Untuk semuanya pelajar di seluruh Tanah Air kalau sudah divaksin silakan dilakukan langsung belajar tatap muka," kata Jokowi di Madiun, Jawa Timur, Kamis (19/8/2021).
Tapi, menurut Nadiem, vaksinasi siswa bukan menjadi kebutuhan dan kriteria untuk penerapan kembali PTM. Dia lebih mengutamakan syarat untuk sekolah yang membuka pembelajaran tatap muka, gurunya telah divaksin. Bahkan, bila berdasarkan syarat itu, kata dia, 63 persen sekolah di Indonesia seharusnya sudah bisa menggelar PTM terbatas.
Sekolah-sekolah itu berada di daerah yang PPKM-nya di level 1 sampai 3, syarat lain untuk melaksanakan PTM. Sosok kelahiran Singapura 37 tahun silam itu optimistis persentase daerah yang level PPKM-nya 1-3 kian bertambah seiring dengan jumlah kasus COVID-19 yang menurun di Indonesia.
Kendati demikian, dari 63 persen sekolah yang sudah bisa menggelar PTM, baru 26 persen di antaranya yang melaksanakannya di lapangan. Sebab, PTM terbatas ini kebanyakan terbentur masalah pemberian izin dari Pemda dan Satgas Penanganan COVID-19 setempat.
Dalam rencana menerapkan PTM kembali, Nadiem mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 03/KB/202l, Nomor 384 Tahun 2021, Nomor HK.01.08/MENKES/4242/2021, Nomor 440-717 Tahun 2021 tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Nadiem mengklaim potensi penularan di sekolah lebih kecil dibanding yang dibayangkan. Dia berpedoman pada laporan penularan satuan pendidikan ketika PTM terbatas mulai dibuka bertahap pada Januari 2021 lalu. Bapak dua anak ini menyadari laporan itu tidak 100 persen akurat, tapi hal tersebut menunjukkan indikasi.
"Kami sudah verifikasi pola klaster di sekolah, bukan suatu hal dibanding tempat-tempat lain," ungkap Nadiem.
Advertisement
Membahayakan Keselamatan Anak?
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sangat menyayangkan rencana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas di sekolah yang berada di wilayah PPKM Level 1-3. Sebab, masih banyak siswa yang belum divaksinasi.
Progres vaksinasi anak usia 12-17 secara nasional masih lambat, baru mencapai 9,57% untuk dosis pertama dan 5,93% untuk dosis kedua. Sasaran vaksinasi anak usia 12-17 tahun sebanyak 26.705.490 orang. Artinya meskipun sekolah dibuka di wilayah PPKM Level 1-3, tapi vaksinasi anak masih banyak yang belum terpenuhi.
Sekretaris Nasional (Seknas) P2G, Afdhal, menyoroti perbandingan kuantitas siswa yang sudah divaksinasi dengan yang belum.
“Dari data vaksinasi anak ini, perbandingannya 10:100. Seandainya satu kelas terdiri dari 30 siswa, hanya 3 orang saja yang sudah divaksinasi dan 27 siswa yang belum. Perbandingan siswa yang sudah divaksinasi dengan yang belum sangat jauh. Jadi herd immunity di sekolah saja belum terbentuk. Tentu ini sangat membahayakan keselamatan anak," kata Afdhal kepada Liputan6.com.
Afdhal juga menyebut, sebagian besar guru juga masih was-was terhadap Covid-19 ini. "Sebaiknya pemerintah jangan memaksakan untuk PTM Terbatas karena akan membahayakan guru dan siswa. Pendidikan memang penting, tapi keselamatan jiwa jauh lebih penting," ujarnya, lagi.
P2G sebenarnya mendukung rencana Kemdikbudristek berkomitmen membuka sekolah atau melaksanakan PTM, tapi hanya setelah vaksinasi anak dan guru tuntas, minimal 80 persen dari populasi warga sekolah.
PTM di Negara Lain
Di negara-negara lain, saat ini pun sudah banyak yang membuka kembali ruang-ruang kelas mereka. Sebut saja Jepang, Vietnam, Laos, Australia, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa seperti Prancis, Swedia, Swiss, Denmark, Norwegia, dan beberapa negara lainnya.
Paling akhir Araba Saudi, yang telah kembali membuka sekolah-sekolah mereka, mulai Minggu (29/8). Mulainya kelas tatap muka itu juga menandai awal tahun ajaran baru mereka setelah 17 bulan sekolah secara online.
Dikutip dari Xinhuanet, Senin (30/8/2021) murid yang diizinkan menghadiri kelas tatap muka adalah mereka yang sudah divaksinasi lengkap, dan berusia di atas 12. Sementara itu, murid SD dan prasekolah belum dianjurkan untuk kembali ke kelas tatap muka.
Pelajar sekolah di Arab Saudi, yang belum divaksinasi lengkap atau berusia di bawah 12 tahun masih memulai tahun ajaran secara online.
Izin Orang Tua
Syarat penting PTM Terbatas adalah persetujuan atau izin dari orang tua. Sekolah diharapkan jujur dan terbuka mengenai kesanggupan mereka untuk melaksanakan PTM Terbatas sesuai prokes.
Sekolah mesti menyampaikan data pemenuhan minimal 11 item daftar periksa pendukung PTM. Di antaranya seperti data warga sekolah yang punya komorbid, masih terinfeksi Covid-19, sedang isoman atau dirawat di rumah sakit.
Selan itu juga data mengenai ketuntasan vaksinasi warga sekolah. Semua data di atas harus disampaikan kepada orang tua/wali murid apa adanya.
"Jika orang tua atau wali murid sudah mendapatkan informasi jelas dan komperhensif mengenai kesiapan sekolah untuk PTM, data ini dapat dijadikan rujukan dan pertimbangan empiris bagi orang tua menentukan anaknya diizinkan PTM atau tetap PJJ," ucap Afdhal.
Berikut lima syarat penerapan pembelajaran tatap muka (PTM).
1. Bagi satuan pendidikan yang melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas dilaksanakan dengan kapasitas maksimal 50 persen.
2. Bagi satuan pendidikan SDLB, MILB, SMPLB, SMLB, dan MALB kapasitas maksimal 62 persen sampai dengan 100 persen.
3. Untuk tingkat PAUD, jumlah siswa dibatasi hingga 33 persen dari kapasitas maksimal per kelas.
4. Pelaksanaan pembelajaran harus menjaga jarak minimal 1,5m dan maksimal 5 peserta didik per kelas.
5. Durasi pembelajaran setiap harinya dibatasi antara 3-4 jam dengan materi pembelajaran yang akan diajarkan hanyalah materi-materi esensial.
Hybrid Learning
Mendikbudristek Nadiem Makarim sebelumnya juga berencana menerapkan pembelajaran tatap muka berbasis sistem hybrid learning. Hybrid learning merupakan pembelajaran dengan sistem daring yang dikombinasikan dengan pertemuan tatap muka untuk beberapa jam.
Hybrid yang dimaksud adalah pembelajaran tatap muka dilakukan secara rotasi dengan jumlah siswa 50 persen. Misalnya, dari jumlah siswa 32 orang menjadi 16 orang per pertemuan tatap muka di kelas. Sisanya mengikuti kelas pembelajaran daring atau luring, dan bergantian. Akan tetapi hal tersebut dinilai memberatkan dari sudut pandang guru.
"Kalau sebagai guru ya capeklah kita mengajar model seperti itu. Mengajar siswa di dalam, tapi juga di luar kelas. Ini kurang efektif dan menjadi beban ganda bagi guru. Kami jadi tak fokus dan konsentrasi terpecah. Harus mengajar di kelas, tapi juga memperhatikan yang online," ujar Afdhal.
Kesan Buruk Sekolah Daring
Sikap ngotot Nadiem untuk menggelar sekolah tatap muka di tengah pandemi COVID-19 dinilai Praktisi Pendidikan, Indra Charismiadji, malah seolah mengesankan sekolah daring atau PJJ merupakan hal yang buruk dan berpotensi memengaruhi anggapan orang lain.
Padahal, kata Indra, seharusnya pemerintah mempromosikan dan terus-menerus mendorong sekolah daring supaya masyarakat beradaptasi. Dia menyarankan pemerintah mengubah pola pikir bahwa tanpa sekolah tatap muka pun, dampaknya terhadap para pelajar tetap positif.
"Tentunya cara belajar, cara mengajarnya beda antara pembelajaran tradisional dengan yang digital," ucap Indra kepada Liputan6.com.
Alih-alih memaksakan sekolah tatap muka terbatas kepada para pelajar, Indra menyarankan pemerintah mendukung program sekolah daring dan perlahan menjadikannya kebiasaan atau kenormalan baru. Sekolah tatap muka menurut Indra masih sesuatu yang tidak pasti dan ada risiko terpapar, yang kemudian kembali lagi ke sekolah daring. "Yang menjadi problem adalah mindset," ucapnya.
Pria kelahiran Bandung, 9 Maret 1976 ini optimistis dengan potensi keberhasilan sekolah daring di Indonesia. Indra menambahkan, untuk sukses menggelar sekolah daring, pelajar dan guru perlu mengubah cara belajar, yakni dari cara tradisional ke cara belajar digital sehingga tidak terjadi learning loss.
Sementara itu, Pengamat Pendidikan, Darmaningtyas, menyayangkan kebijakan pemerintah sekolah tatap muka yang terkesan tunggal. Menurut dia, Kemendikbud Ristek bisa menyesuaikan kebijakannya dengan kondisi geografis dan insfrastruktur di setiap daerah. Sejumlah wilayah di daerah kepulauan atau yang jauh dari perkotaan dan zona hijau, kata Darmaningtyas, lebih baik sekolah tatap muka daripada daring.
Sebab, ketika tidak berada di sekolah pun, anak-anak di wilayah tersebut bermain bersama-sama tanpa memakai masker. Jadi, ketika tidak boleh berangkat ke sekolah, hal itu membingungkan mereka, karena di luar sekolah pun mereka bergaul seperti biasa.
Di beberapa daerah terpencil dan yang akses internet serta listriknya minim bahkan tidak ada, seperti di wilayah Papua, dia menganjurkan untuk tatap muka. Namun, kalau di Jakarta atau kota-kota besar lainnya yang level PPKM-nya masih 3-4, Darmaningtyas berpendapat, sebaiknya sekolah daring atau mengikuti protokol kesehatan yang ketat.
"Jadi harus dipisah-pisahkan. Jangan semua kebijakan tunggal mengacu di Jakarta, nah itu yang keliru. Kalau Jakarta dan kota-kota lain yang kasus COVID-nya tinggi, ya mau tidak mau mengikuti perkembangan," tuturnya kepada Liputan6.com.
"Selama kasus COVID-nya masih tinggi, ya jangan main api," pungkasnya.
Advertisement