3 Fakta Tunggakan BLBI, Dikejar Sampai Anak Cucu

Pemerintah terus mengejar aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

oleh Andina Librianty diperbarui 28 Agu 2021, 11:31 WIB
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/4/2021). Mereka mempertanyakan penerbitan SP3 terkait kasus dugaan korupsi BLBI untuk Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus mengejar aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), terutama setelah dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pun berjanji akan mengejar aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 110,45 triliun.

Komitmen untuk terus mengejar aset BLBI terus digaungkan oleh pemerintah. Penagihan bahkan akan terus dilakukan hingga ke para keturunan pihak pengutang.

"Saya akan terus meminta kepada tim untuk menghubungi semua obligor ini, termasuk kepada para turunannya. Karena barangkali ada mereka yang sekarang usahanya diteruskan oleh para keturunannya," kata Sri Mulyani pasca pengambilan aset tanah eks BLBI di Perumahan Lippo Karawaci, Tangerang, Jumat (27/8/2021).

Ia menegaskan negosiasi dan komunikasi juga akan terus dilakukan dengan para obligor dan debitur BLBI.

"Saya harap obligor dan debitur tolong penuhi semua panggilan, dan mari kita segera selesaikan obligasi atau kewajiban anda semua yang sudah 22 tahun merupakan kewajiban yang belum diselesaikan," sambungnya.

Langkah penagihan utang BLBI ke depan disebut akan lebih sulit. Hal in karena aset eks BLBI saat ini ada yang berlokasi di luar negeri seperti Singapura.

"Seperti yang dikatakan Wakil Ketua Jaksa Agung, kita mungkin akan berhadapan dengan aset-aset yang berada di luar negeri, yang yurisdiksi dan sistem hukumnya akan berbeda. Pasti membutuhkan proses hukum yang lebih kompleks," ungkap Sri Mulyani.

Namun ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menyerah. Pemerintah dan Satgas BLBI akan terus berusaha mendapatkan kembali hak negara.

Upaya Satgas BLBI mulai menunjukan hasil. Pemerintah akhirnya resmi mengambil alih hak penguasaan set eks BLBI milik para debitur dan obligor. Penguasaan aset ini dilakukan untuk 49 bidang tanah yang tersebar di seluruh kawasan Indonesia, dengan total luas 5,2 juta meter persegi.

Prosesi tersebut dilakukan secara serentak dengan melakukan pemasangan plang pengawasan fisik, dan penguasaan aset pada aset yang diambil Satgas Penanganan Hak Tagih Dana Negara BLBI.

Pengesahan dilakukan secara seremonial oleh Menko Polhukam Mahfud MD dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, terhadap sebidang tanah yang terletak di kawasan Perumahan Lippo Karawaci, Kecamatan Kelapa Dua, Tangerang, dan disiarkan secara virtual pada Jumat (27/8/2021).

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Banyak Obligor BLBI di Singapura

Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/4/2021). Mereka mempertanyakan penerbitan SP3 terkait kasus dugaan korupsi BLBI untuk Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Fakta lain mengenai kasus BLBI adalah banyaknya obligor damm debitur yang ternyata saat ini tinggal di Singapura. Selama 22 tahun, obligor tersebut tak pernah memberikan kabar bakal melunasi utang BLBI.

Satgas BLBI terus melakukan pemanggilan kepada obligor atau debitur yang ada di Singapura untuk menyelesaikan kewajiban mereka. Pemanggilan tersebut dilakukan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura.

"Pemanggilan telah dilakukan untuk yang di luar negeri, kebanyakan di Singapura. Dan kita berkoordinasi dengan duta besar kita di Singapura," kata Ketua Harian Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI), Rionald Silaban.

Untuk saat ini, Satgas BLBI masih fokus mengejar para obligor BLBI atau debitur di Indonesia. Sebab, aset-aset di dalam negeri diyakini masih banyak yang belum ditemukan.

Rionald Silaban berjanji untuk terus pengejaran para obligor atau debitur dana BLBI di luar negeri. Pihaknya juga akan terus melakukan penagihan terhadap mereka.

"Itu merupakan langkah lanjutan yang akan dilakukan. Dan kalaupun dilakukan, maka itu akan di lead oleh kejaksaan lewat Jamdatun (Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara)," katanya.

 


Tommy Soeharto Mangkir

Komisaris Utama PT Berkarya Makmur Sejahtera Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto mengecek produk saat meresmikan gerai Goro di Cibubur, Bogor, Rabu (17/10). Tommy menjelaskan, Goro akan membina UMKM yang ada di sekitarnya. (Liputan6.com/HO/Dana)

Sejauh proses pemanggilan dilakukan hingga saat ini, beberapa obligor dan debitur BLBI kerap mangkir hadir meski telah diundang hingga tiga kali. Salah satunya adalah Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto.

Jika terus tidak memenuhi pemanggilan, pemerintah tak sungkan mempublikasikan nama yang bersangkutan kepada publik bahwa dirinya tak mau mengembalikan utang negara. Seperti dilakukan pada Tommy Soeharto, yang kembali mangkir pada pemanggilan ketiganya Kamis (26/8/2021) kemarin.

Dua kali proses pemanggilan akan dilakukan secara personal atau tidak akan dipublikasikan. Namun jika sudah dua kali tidak merespons, maka pemanggilan ketiga akan diumumkan ke publik.

Sebelumnya, Satgas BLBI telah memanggil Tommy Soeharto melalui iklan pengumuman. Selain Tommy, Satgas BLBI juga memanggil pengurus PT Timor Putra Nasional (TPN) dan Ronny Hendrarto Ronowicaksono. PT Timor Putra Nasional diketahui milik Tommy Soeharto.

Agenda pemanggilan tersebut adalah untuk menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI berdasarkan Penetapan Jumlah Piutang Negara Nomor PJPN-375/PUPNC.10.05/2009 tanggal 24 Juni 2009, setidak-tidaknya sebesar Rp 2.612.287.348.912,95.

 


Beban 22 Tahun

Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/4/2021). Mereka mempertanyakan penerbitan SP3 terkait kasus dugaan korupsi BLBI untuk Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Skandal BLBI dengan total nilai Rp110,45 triliun ini berawal dari krisis keuangan 1997 yang berlanjut pada 1998, kemudian 1999. Negara sudah menanggung beban utang BLBI selama 22 tahun.

Krisis keuangan yang sering disebut dengan krisis moneter ini, berdampak besar kepada industri perbankan. Saat itu, nilai tukar rupiah yang semula di kisaran 2.500 per dolar AS melonjak menjadi 15.000 per dolar AS. Kemudian perbankan banyak mengalami kesulitan hingga pemerintah dipaksa untuk melakukan blanket guarantee.

"Krisis keuangan tersebut mengenai perbankan yg menyebabkan banyak bank-bank mengalami kesulitan, dan pemerintah dipaksa untuk melakukan apa yang disebut penjaminan blanket guarantee kepada seluruh perbankan Indonesia saat itu. Dalam situasi itu, banyak bank yang mengalami penutupan atau merger atau akuisisi," jelas Sri Mulyani.

Dalam proses itu, dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan maka Bank Indonesia (BI) melakukan apa yang disebut bantuan likuiditas kepada bank yang mengalami kesulitan. Bantuan likuiditas itu dibiayai dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN), yang diterbitkan pemerintah dan sampai sekarang masih dipegang BI.

"Pemerintah selama 22 tahun, tentu dalam hal ini membayar pokoknya, juga membayar bunga utangnya. Karena sebagian BLBI itu ada yang menggunakan tingkat suku bunga yang sebagian memang dinegosiasikan," kata Sri Mulyani.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya